Upaya Hidupkan Kembali Orde Baru, Kritikan Rektor IFTK Ledalero terkait Usulan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Usulan itu tidak dapat diajukan hanya atas dasar pertimbangan nasionalisme dan heroisme sempit

Floresa.co – Pastor Otto Gusti Madung, SVD, rektor sekaligus dosen hak asasi manusia di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero (IFTK) di Flores menyebut usulan untuk memberi gelar pahlawan nasional bagi mantan presiden otoriter Soeharto merupakan bagian dari tendensi rezim saat ini untuk kembali ke Orde Baru.

Selain itu, katanya, hal ini adalah bagian dari niat “membunuh demokrasi” dan paham hak asasi manusia atau HAM.

“Kita semua tahu bahwa rezim Orde Baru ditandai dengan sejumlah pelanggaran HAM berat yang diduga melibatkan Soeharto,” katanya kepada Floresa pada 11 April.

Otto menanggapi usulan yang diterima Kementerian Sosial untuk memberi gelar pahlawan nasional bagi Soeharto yang juga dikritik oleh aktivis HAM dan korban pelanggaran HAM masa lalu.

Nama Soeharto merupakan salah satu yang diusulkan ke Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pahlawan (TP2GP).

Penerimaan usulan dibatasi sampai 11 April sebelum kemudian diverifikasi lalu direkomendasikan kepada Presiden Prabowo Subianto yang menjadi pengambil keputusan.

Di Jakarta, para aktivis dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto atau GEMAS telah menyampaikan surat penolakan terbuka kepda Kementerian Sosial.

Surat itu diantar pada 10 April oleh Maria Catharina Sumarsih, ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan, mahasiswa yang ditembak mati saat unjuk rasa pada 1998 dan Suciwati, istri dari Munir Said Thalib, aktivis yang tewas usai diracuni pada 2004.

Penolakan juga disuarakan dalam Aksi Kamisan di depan istana presiden di Jakarta.

GEMAS menyatakan, “penolakan ini kami dasarkan pada rekam jejak buruk dan berdarah Soeharto.”

“Ia telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, pelanggaran HAM bahkan pelanggaran berat terhadap HAM, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme,” menurut GEMAS.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina, berkata, usulan pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto “merupakan upaya penghapusan sejarah dan pemutihan atas berbagai kejahatan yang ia lakukan.”

Padahal, kata dia, Indonesia pasca-reformsi 1998 telah mengakui rekam jejak berdarah dan buruk Soeharto yang dituangkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) No. IV/MPR/1999.

Karena itu, kata dia, belajar dari sejarah, rezim saat ini seharusnya mengurus negara “dalam semangat anti korupsi, mengedepankan penguatan demokrasi dan rule of law, serta berpijak pada nilai HAM.”

“Hal ini penting demi hak dan harkat martabat keluarga korban pelanggaran HAM yang menanti keadilan, serta masa depan generasi muda yang tidak menormalisasi kekerasan,” katanya.

Suharto, mantan mertua Presiden Prabowo Subianto, memimpin Indonesia hingga hingga 1998.

Pemimpin berlatar belakang militer tersebut, yang mulai berkuasa pada tahun 1966 setelah pembantaian mereka yang disebut sebagai simpatisan antikomunis yang dikenal G30S/PKI, dituduh membunuh sekitar 500.000 hingga 1 juta orang dan pada tahun 1998 menyetujui kekerasan terhadap mahasiswa dan aktivis yang menuntut pelengserannya.

Selain itu, ia juga dituduh melakukan pelanggaran HAM dalam peristiwa pendudukan di Timor Leste, peristiwa Tanjung Priok dan sejumlah kasus lainnya.

Namun, ia tidak pernah diadili, hingga meninggal pada 2008.

Tanggung Jawab Moral

Otto berkata, sebagai sebuah bangsa, “kita secara moral bertanggung jawab menegakkan keadilan bagi para korban kekerasan terhadap kemanusiaan pada zaman Orde Baru. “

“Proses menegakkan nilai-nilai kemanusiaan ini tidak akan berjalan jika seorang yang bertanggung jawab terhadap kejahatan kemanusiaan itu diglorifikasi sebagai seorang pahlawan,” katanya.

“Ini bukan pendidikan yang baik untuk generasi muda masa depan bangsa ini karena kita terkesan bersikap permisif terhadap kejahatan,” tambahnya.

Ia juga mengaku “heran mengapa para politisi begitu terobsesi dengan pahlawan?”

Ada semacam ”penjungkirbalikan nilai-nilai” pada tataran etis, katanya, merujuk pada konsep filsuf Friedrich Nietzsche, di mana “perbedaan antara kebaikan dan kejahatan menjadi kabur.”

Ia menegaskan bahwa usulan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional tidak dapat diajukan hanya atas dasar pertimbangan nasionalisme dan heroisme sempit.

“Validitasnya perlu diuji di hadapan nilai-nilai kemanusiaan universal,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, Anda bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA