BerandaREPORTASEMENDALAMPeneliti: Regulasi Permanen di...

Peneliti: Regulasi Permanen di Tingkat Lokal Penting demi Lindungi Satwa di Flores

Ketidakpedulian pemerintah lokal untuk melindungi satwa di Flores yang dilaporkan terus diburu dan diselundupkan ke berbagai wilayah mesti segera diakhiri, jika kita menginginkan agar satwa-satwa ini masih tetap bertahan di tahun-tahun mendatang.

Floresa.co – Kasus penyelundupan satwa dari Pulau Flores ke wilayah lain kembali menjadi sorotan pasca diamankannya 280 ekor burung dari Kabupaten Ende oleh Balai Karantina Besar Pertanian (BKBP) Surabaya, Jawa Timur pada 25 Januari 2021.

Menurut Yovie Jehabut, peneliti burung asal Ruteng, Kabupaten Manggarai, kekosongan hukum di level pemerintah daerah (Pemda) menjadi salah satu penyebab sehingga perburuan dan perdagangan satwa di dalam maupun ke luar wilayah Flores tidak pernah bisa teratasi dengan baik.

“Kita memang tidak punya regulasi permanen di tingkat lokal yang mendorong lahirnya kebijakan pro pada perlindungan flora dan fauna di Flores,” katanya kepada Floresa.co baru-baru ini.

Peristiwa perdagangan satwa, termasuk burung yang digagalkan oleh BKBP Surabaya itu bukan kasus pertama.

BACA: Badan Karantina Surabaya Gagalkan 380 Burung dari Ende

Kasus serupa sudah terjadi beberapa kali, setidaknya yang berhasil diungkap oleh pihak berwajib.

Dari data yang dihimpun Floresa.co, selain penyelundupan burung, binatang purba komodo juga pernah menjadi sasaran. Salah satunya yang diungkap oleh Polda Jawa Timur pada tahun 2019, kasus yang disebut melibatkan sebuah jaringan perdagangan hewan.

Polda Jawa Timur berhasil mengamankan 41 ekor komodo yang hendak diterbangkan ke tiga negara Asia Tenggara melalui Singapura. Satu ekor komodo dihargai mencapai 500 juta rupiah.

Tak hanya menjual komodo, polisi menyebut jaringan tersebut juga terlibat dalam penjualan satwa-satwa lain seperti Burung Binturong, Kakatua Jambul Kuning, Kakatua Maluku, Buru Nuri Bayan, Burung Perkicing, Trenggiling dan Berang-berang.

Setelah itu, pada Mei 2020 lalu, digagalkan juga penyelundupan sekitar 204 ekor burung Anis Kembang atau Geokichla Interpres oleh petugas di Pelabuahan Tanjung Perak, Jawa Timur.

Dua bulan setelahnya, burung-burung itu dilepaskan di Taman Wisata Alam Ranamese di Kabupaten Manggarai Timur.

Sebelumnya pada 2018, di Ruteng, pernah juga ditemukan belasan ekor burung yang disekap oleh pekerja bangunan Puskesmas Kota Ruteng.

BACA:  Perburuan Satwa Masif, Warga Kota Ruteng: Pemda Segera Buatkan Perda

Menurut Yovie yang juga Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia Kabupaten Manggarai itu, terkuaknya kasus penyelundupan komodo dari daratan Flores seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah setempat untuk mengambil langkah antisipatif guna mencegah terjadinya masalah serupa di kemudian hari.

BACA: BKSDA: Burung yang Disekap Pekerja Bangunan di Ruteng Tidak Dilindungi Undang-undang

Namun, pasca deretan kasus tersebut hingga terungkapnya kasus penyelundupan terhadap 380 ekor burung dari Kabupaten Ende, hampir tidak ada terobosan baru yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya melindungi satwa Flores dari perburuan dan perdagangan.

Pemerintah daerah di delapan kabupaten di Pulau Flores, sebut Yovie, seakan tidak menempatkan kasus perburuan dan perdagangan satwa ke luar wilayah sebagai isu yang membutuhankan perhatian dan penanganan serius.

“Isu-isu ini benar-benar tidak pernah disentuh,” katanya.

Ia menyebut pasca penyelundupan komodo dari Pota, Kabupaten Manggarai Timur dan Riung-Kabupaten Ngada yang sempat ramai beberapa tahun lalu, seharusnya sudah cukup untuk melahirkan peraturan perlindungan pada satwa.

“Tapi, kenyataannya memang bagi pemerintah-pemerintah lokal di Flores, ini bukan isu, bukan soal,” katanya.

BACA: Penyelundupan Komodo ke Luar Negeri: Satu Ekor Dijual Rp 500 Juta

Pernyataannya Yovie setidaknya terbukti dari bagaiamana pemerintah merespon berbagai kasus ini.

Pada 29 Januari lalu, Foresa.co misalnya sempat berupaya menghubungi Kepala Bidang Wilayah II BKSDA Ruteng, Heri Suheri terkait penyelundupan 380 ekor burung dari Ende ke Surabaya.

Namun, ia tidak langsung menjawab sendiri dan meminta stafnya bernama Stef untuk merespons.

Dalam penjelasannya, Stef mengatakan pihaknya tidak memiliki wewenang untuk memberikan pernyataan kepada media dan meminta Floresa.co untuk menghubungi Humas BKSDA NTT di Kupang.

“Kami sangat berterima kasih bahwa bapak mempunyai atensi. Kemudian kami juga belum sempat memastikan apakah burung itu berasal dari Flores atau berasal dari mana,” begitu kata Stef.

“Terkait untuk memberikan keterangan lebih lanjut, kami tidak berwenang memberikan keterangan pers. Mungkin nanti bisa, karena kami ada bagian-bagiannya,” tambahnya.

Saat menghubungi Humas BKSDA NTT di Kupang, Floresa.co juga tidak mendapatkan jawaban.

Ketika kembali mencoba menghubungi Kabid Heri pada 10 Februari 2021, ia masih tidak menjawab.

Humas Pemda Kabupaten Ende, Ignas juga demikian. Ia masih belum memberikan tanggapan apapun terkait dengan kasus penyelundupan burung tersebut.

Masalah Serius yang Butuh Perhatian Segera

Kasus perburuan dan perdagangan satwa memang menjadi masalah serius di berbagai tempat.

Jeremy Hance, salah satu koresponden media lingkungan mongabay.co.id dalam laporannya pada Desember 2019 misalnya menyebutkan bahwa wilayah Asia Tenggara sebagai wilayah dengan laju kepunahan satwa tertinggi di dunia.

Ia menyebutkan bahwa beberapa spesies dan subspesies telah punah dalam 100 tahun terkhir dan laju kepunahannya masih terus berlangsung hingga saat ini.

Deforestasi dan perburuan, katanya, menjadi penyebab utama hilangnya satwa endemik, termasuk satwa berukuran kecil.

Burung Opior Paruh Tebal, burung endemik, menjadi salah satu yang paling dicari untuk diperdagangkan. (Foto: Yovie Jehabut).

Perdagangan satwa liar ilegal ini sangat masif yang selanjutnya digunakan untuk obat tradisional Cina, konsumsi daging hewan, hewan peliharaan, dan pernak-pernik organ satwa.

Dalam laporannya itu, ia menyebut ada berbagai cara untuk mendapatkan satwa tersebut, baik dengan menggunakan senjata dan peluru maupun jerat. Jutaan jerat itu, lapornya, membunuh tanpa pandang bulu satwa di taman nasional di beberapa kawasan di Asia Tenggara yang disebutnya sebagai hutan belantara terakhir yang masih ada.

“Mungkin tidak cukup banyak waktu yang tersisa lagi. Tidak ada spesies, tidak peduli sekuat apapun mereka yang dapat bertahan dengan kehancuran yang tak kunjung henti ini. Jumlah korban naik lebih besar setiap tahunnya, dan banyak yang belum teridentifikasi,” demikian laporannya.

Ia juga menyebut, kerusakan hutan dan hilangnya satwa tidak banyak berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat lokal. Sebagian besar uang dari perburuan satwa liar dinikmati oleh para pedagang dan penadah.

BACA: Kisah Poco Ndeki Yang Hampir Usai

Yovie, yang banyak melakukan penelitian tentang spesies burung di daratan Flores dan NTT secara umum sebenarnya sangat berharap agar pemerintah kabupaten di seluruh daratan Flores memberikan perhatian lebih kepada isu perlindungan satwa di wilayah itu.

“Kita merasa biasa-biasa saja kala sesuatu yang menjadi harta tak ternilai dari pulau ini secara bebas dirampas dan dibawa pergi. Jika dalam satu kali penangkapan berjumlah lebih dari 200 ekor, maka bisa dipastikan ribuan ekor burung dari tanah ini telah dirampas pergi tanpa ada yang menghalanginya,” tambahnya.

Ia menegaskan, jika pemerintah sungguh memiliki komitmen terhadap masalah ini, harus dituangkan dalam bentuk regulasi agar bisa mengikat semua pihak, baik pemerintah sebagai alat kontrol maupun masyarakat umum.

“Kita berharap saja, jika Pemda diam, maka gerakan-gerakan di kalangan bawah seperti pemuda bisa membantu menekan perburuan dan jual beli satwa ini,” tambahnya.

Ia menambahkan, diperlukan kesadaran dan gerakan bersama untuk menyelamatkan satwa Flores dari kepunahan yang diakibatkan oleh ulah masyarakat Flores sendiri.

“(Ketika) orang-orang menangkap burung di kebun-kebun kopi dan di sawah-sawah, kita menontonnya seperti sebuah hiburan. Kita tidak pernah merasa bahwa satwa yang dibawa pergi adalah mereka yang selama ini bekerja untuk kita, membantu kita memberikan hasil panen yang baik,” kata pemilik blog www.jagarimba.id ini.

“Semoga mata kita terbuka untuk bersama-sama menghentikan semua praktik penangkapan dan jual beli burung-burung di Flores. Ini harta kita, yang sekali hilang tak kan bisa kembali,” pungkasnya.

ARJ/Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga