Buru Rente Proyek: Infrastrukturnya Mangkrak, Warga yang Selalu Kalah

Mengambil contoh kasus Terminal Kembur di Manggarai Timur yang mengkrak dan upeti ’50 kilogram kemiri’ dalam proyek APBD di Manggarai, penulis menguraikan bagaimana praktik berburu rente dalam proyek-proyek infrastruktur bekerja.

Oleh: Anno Susabun

Tampaknya sudah jadi rahasia umum bahwa pengerjaan proyek—proyek infrastruktur menjadi lahan basah mengeruk untung bagi penguasa, termasuk di level lokal, bersama kroni-kroni mereka.

Ini memang salah satu dari ironi desentralisasi dalam sistem demokrasi. Alih-alih menjadi angin segar yang berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan warga, di mana daerah menjadi mandiri atau otonom dan pelayanan terhadap warga makin didekatkan, dalam model tata kelola pemerintah yang makin terdesentralisasi, praktik mengeruk untung semacam ini malahan semakin marak. Padahal, ini adalah salah satu masalah yang hendak dilawan ketika reformasi didengungkan pada 1998.

Sementara elit makin untung, yang jadi korban adalah infrastruktur yang dikerjakan asal-asalan, asal jadi. Warga yang kemudian selalu dalam posisi sebagai orang-orang yang kalah.

Inilah yang saya maksudkan dengan buru rente proyek dalam tulisan ini, istilah yang dipakai oleh Mancur Olson (1932-1998) perihal bagaimana politik dipakai oleh kelompok elite untuk memanipulasi pembangunan demi kepentingan pribadi dan golongannya (Wibowo, 2011).

Dua Contoh Kasus

Saya mengambil dua contoh kasus untuk menjelaskan fenomena ini, yang terjadi di dua kabupaten di Manggarai Raya.

Pertama, adalah pembangunan Terminal Kembur di dekat ibukota Kabupaten Manggarai Timur. Kasus ini ramai dibicarakan karena telah menyeret dua orang ke balik jeruji besi. Dibangun sejak tahun 2012, terminal itu kemudian tidak dipakai. Kini sejumlah fasilitasnya rusak. Anggaran 4 miliar rupiah yang digelontorkan daerah jadi sia-sia.

Kasus ini menjadi pelik karena bukan terminal mangkrak itu yang kemudian diusut oleh penegak hukum, tetapi pengadaan tanahnya. Pemilik tanah itu lantas diseret ke jeruji besi karena menjual tanah yang tidak bersertifikat. Staf biasa di dinas terkait juga diseret.

Sementara itu, pejabat tinggi yang bertanggung jawab atas pembangunan infrastruktur mubazir itu juga mereka yang mengerjakannya masih aman-aman saja.

Para ahli hukum, warga, dan aktivis menganggap kasus ini aneh dan tidak masuk akal karena menjebloskan pemilik lahan sebagai tersangka, sedangkan elite atau pejabat Pemda ‘selamat’.

Kedua, adalah dugaan suap untuk mendapat jatah proyek APBD di Kabupaten Manggarai yang menyeret istri Bupati Herybertus GL Nabit, kerabat dekat, pegawai kontrak pada dinas PU, dan tim pemenangan Pilkada.

Kasus ini pertama kali dibongkar oleh kontraktor yang juga menjadi tim pemenangan Pilkada 2020. Ia mengaku dipaksa oleh Meldy Hagur, istri Bupati Hery untuk menyerahkan fee proyek sebesar 5 persen, dengan sandi ‘50 kilogram kemiri’ atau 50 juta rupiah.

Kasus ini memang dihentikan penyelidikannya oleh polisi dengan alasan tidak cukup bukti. Namun, tidak adanya upaya mempersoalkan pengakuan kontraktor itu kiranya menjadi isyarat bahwa praktek itu bukan tidak mungkin memang terjadi. Hanya saja, tidak ada bukti hukum untuk diproses.

Elite Berburu Rente

Dua kasus di atas memberi gambaran bagaimana perburuan rente dalam praktik politik lokal itu berlangsung.

Maraknya praktik ini erat kaitannya dengan dominasi logika kapitalistik yang mementingkan akumulasi kekayaan kelompok penguasa-pengusaha.

Di samping itu adalah kuatnya koalisi orang-orang kuat lokal [local strongman] yang memiliki akses untuk menguasai sebagian besar sumber daya publik.

Bagaimana praktik itu terjadi?

Pertama, dari kasus dugaan suap proyek di Kabupaten Manggarai, mahalnya ongkos politik Pilkada menjadi akar masalah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para kandidat bupati akan menggelontorkan uang dalam jumlah banyak untuk membeli suara pemilih, membiayai kampanye di setiap kecamatan, mendanai kerja tim yang bergerak di lapangan, termasuk mendanai tim influencer – mungkin lebih pas disebut penghasut – di media sosial.

Menurut Kementerian Dalam Negeri, calon bupati di Indonesia menghabiskan 25 hingga 30 miliar rupiah dalam Pilkada. Dari uang tersebut, yang berasal dari kantong pribadi kandidat hanya sekitar 500 juta hingga 1 milyar, sedangkan sisanya dari pihak sponsor, pemodal atau investor.

Untuk di Manggarai, mereka adalah kontraktor dan orang-orang kaya tertentu. Kontraktor Adrianus Fridus yang membongkar kasus ’50 kg kemiri’ di Kabupaten Manggarai mengakui kontribusinya sebagai penyandang dana kampanye di salah satu kecamatan dalam Pilkada 2020.

Kedua, kontribusi kontraktor dan orang-orang kaya lokal ini harus dibayar oleh bupati terpilih. Caranya adalah memberikan jatah proyek APBD. Nama-nama para pemodal yang membiayai pemenangan si bupati dicatat dengan baik untuk memudahkan distribusi tender proyek infrastruktur di masing-masing kecamatan.

Di sini tentu praktik ­mark-up anggaran proyek APBD sulit dihindari, demi keuntungan si kontraktor, ditambah lagi upeti untuk bupati dan koleganya, seperti dalam kasus ’50 kg kemiri.’

Pilkada, politik uang, dan janji proyek adalah cara bagaimana koalisi birokrat/pemerintah dengan pengusaha/kontraktor dipelihara sedemikian kuatnya. Birokrat dan kontraktor dalam hal ini adalah kelompok yang mendapat untung paling besar dari akses atas sumber daya daerah, terutama APBD.

Selain itu, sebagian besar proyek infrastruktur juga dikerjakan oleh anggota DPRD, orang-orang yang dipilih untuk menjadi wakil rakyat.

Itulah kiranya alasan mengapa banyak kontraktor ingin menjadi anggota DPRD; supaya keuangan daerah yang mereka rencanakan bersama eksekutif dikelola oleh mereka juga.

Ketiga, mekanisme ­perburuan rente kemudian tampak dalam hasilnya yang mudah ditebak; infrastruktur yang dibangun asal-asalan, mubazir atau tidak bermanfaat, cepat rusak, bahkan tidak bertahan hingga akhir masa jabatan lima tahun si bupati.

Cerita tentang infrastruktur yang dibangun asal-asalan sudah jadi biasa. Ada jalan yang umurnya tidak sampai sebulan, jembatan, instalasi air minum bersih, gedung-gedung publik yang mubazir, dan lain-lain.

Dari kasus korupsi yang ‘aneh’ di Terminal Kembur Manggarai Timur, kita menyaksikan bahwa penggunaan anggaran dari APBD hanya demi ‘proyek,’ bukan demi fasilitas publik yang bermanfaat bagi warga.

Warga Jadi Tumbal

Siapa yang jadi korban dari praktik seperti ini? Ya, warga. Akses warga atas manfaat dari sarana publik menjadi terbatas. 

Jalan, misalnya dibangun untuk memudahkan mobilisasi hasil bumi dari kampung ke kota, lalu dikorupsi, kemudian rusak, dan menghambat roda ekonomi warga.

‘Warga jadi tumbal’ juga sangat gamblang dalam kasus Terminal Kembur. Gregorius Jeramu, warga yang menjual lahannya kepada Pemda Manggarai Timur tahun 2012 menjadi terpidana karena menjual tanah tanpa sertifikat.

Kasus itu menjadi aneh, karena sejak awal bau korupsi tercium dari bangunan terminal yang mubazir, namun malah fokus ke soal pengadaan tanah. Dan, yang lebih penting, kendati belum memiliki sertifikat, tanah itu adalah memang milik Gregorius. Ia membayar pajak atasnya dan tidak pernah ada pihak yang menggugat kepemilikannya. Tanah itu pun sudah jadi milik pemerintah setelah dibeli darinya.

Kontrol Publik

Bagaimana mencegah hal-hal seperti agar tidak terjadi lagi, atau minimal diminimalisasi, menjadi pertanyaan penting. Jalannya menurut saya adalah dengan meningkatkan kontrol publik atas manajemen pemerintahan dan penggunaan anggaran daerah.

Di era demokrasi yang ditandai oleh keterbukaan informasi, publik berhak tahu tentang gerak-gerik pembangunan daerahnya, mulai dari usulan proyek pembangunan, jumlah anggaran, pelaksana proyek, hingga kualitas proyek yang dikerjakan.

Lebih dari itu, publiklah yang paling berhak menyuarakan apa yang menjadi kebutuhan prioritas mereka, bukan melulu proyek infrastruktur [yang paling marak dikorupsi] melainkan juga pembangunan sumber daya manusia, termasuk peningkatan kualitas hasil bumi sebagai mata pencaharian utama orang Manggarai.

Kontrol publik di era demokrasi juga dilakukan melalui pers yang kritis, lembaga swadaya masyarakat, kelompok pelajar dan mahasiswa, juga lembaga agama. Media sosial saat ini juga bisa terus dimaksimalkan untuk mengontrol kinerja pemerintah. 

Keterlibatan semua elemen ini amat penting agar elite bisa selalu mawas diri bahwa gerak-gerik mereka sedang diawasi, dipantau oleh pihak yang seharusnya mereka abdi: warga.

Anno Susabun adalah peneliti, anggota tim Litbang Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya