Floresa.co – Floresa menggelar pelatihan jurnalistik selama tiga hari bagi jurnalis dan warga, bagian dari upaya memperkuat peran dan kapasitas mereka dalam mengawal berbagai Proyek Strategis Nasional [PSN] di Flores.
Berlangsung di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai pada 11-13 Maret, kegiatan ini diadakan dalam kolaborasi dengan Sunspirit for Justice and Peace, Rumah Baca Aksara [RBA] dan Jaringan Advokasi Tambang [Jatam].
Ryan Dagur dan Anastasia Ika, keduanya editor Floresa, menjadi fasilitator. Sementara 15 orang peserta berasal dari sejumlah media lokal, seperti Krebadia.com, Ekorantt.com, Jurnalflores.com dan Lumen2003.com serta perwakilan warga terdampak PSN dan aktivis dari RBA dan Rumah Tenun Baku Peduli.
Pada hari sebelum pelatihan, peserta juga mengikuti diskusi publik yang membahas sejumlah masalah dalam implementasi PSN dan tantangannya pasca Pemilu 2024.
Ryan, yang juga Pemimpin Umum Floresa berkata, pelatihan ini penting karena dalam prosesnya PSN memicu berbagai persoalan serius, seperti pengabaian hak-hak masyarakat, upaya penghancuran terhadap ekosistem dan kehidupan sosial mereka.
“Untuk jurnalis, pelatihan ini membekali mereka kemampuan untuk menulis berita yang mengedepankan kepentingan publik,” katanya.
Sementara bagi warga, jelasnya, pelatihan ini membekali mereka kemampuan untuk menulis sehingga “bisa memberikan informasi dan laporan-laporan yang memadai tentang situasi di lokasi mereka.”
Laporan demikian, jelas Ryan, “bisa dimanfaatkan untuk laporan jurnalistik maupun bahan kampanye dan riset sehingga suara-suara mereka dapat terus tersampaikan ke ruang publik.”
Jalan Pulang Jurnalisme
Dalam paparannya Ryan juga menekankan jurnalisme sebagai elemen penting dalam memperjuangkan kehidupan masyarakat yang sehat.
Hal ini, kata dia, hanya bisa berjalan jika jurnalisme melayani kepentingan publik, alih-alih kepentingan kekuasaan.
“Jurnalisme membantu publik mengetahui masalah dan membantu mereka melakukan sesuatu karena menyadari bahwa masalah yang diulas juga terkait dengan hidup mereka,” katanya.
Ia menyoroti kecenderungan jurnalis dan media yang kerap kali menyajikan konten “yang disukai”, ketimbang “yang dibutuhkan dan penting bagi publik.”
Akibatnya, kata dia, terdapat gap antara jurnalisme dan publik, karena laporan-laporan jurnalistik “tidak menjawab apa yang mereka butuhkan.”
“Selama ini, banyak jurnalis yang hanya mengerjakan yang rutin, seperti menulis laporan harian tentang peristiwa yang sedang terjadi, tetapi tidak paham betul cara menulis yang mendalam, melihat kaitan satu isu dengan isu lainnya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik,” katanya.
Karena itu, ia mengajak jurnalis dan warga untuk kembali pada roh jurnalisme yang sesungguhnya, yaitu melayani kepentingan publik.
“Jurnalisme tidak melayani kekuasaan, tetapi menjadi pengontrol, pengawas, watchdoc. Alasannya jelas, penguasa menjalankan mandat melayani rakyat, yang sekaligus berpotensi untuk disalahgunakan. Tugas jurnalisme adalah memastikan bahwa kekuasaan itu dijalankan dengan sebaik-baiknya,” katanya.
Dengan melihat panggilan dasar jurnalisme, kata Ryan, “saatnya untuk mencari jalan pulang, yaitu melayani kepentingan publik.
“Merekalah tuan yang mesti dilayani,” katanya.
Sementara itu Anastasia Ika mengingatkan kendati jurnalisme diyakini sebagai landasan demokrasi, namun nilai dan etika yang terkait dengannya “cepat menghilang.”
Jurnalis dan kantor media, kata dia, acapkali menghadapi tantangan konflik kepentingan ketika melaporkan kasus-kasus yang berkaitan dengan pemegang kekuasaan.
“Etika merupakan pilar penting bagi jurnalis. Namun, ketika meliput kasus-kasus tersebut, mereka berada dalam dilema bagaimana menangani konflik kepentingannya,” ungkapnya.
Ia mengatakan konflik kepentingan dapat mempengaruhi kemampuan jurnalis untuk menyelidiki suatu kasus secara efektif.
Hal ini, kata dia, mungkin memengaruhi kebenaran atau menimbulkan bias ketika melaporkan suatu kasus.
Kepada peserta pelatihan, Ika menekankan lima prinsip dasar jurnalisme, yakni mengungkap kebenaran, independen, seimbang, berpihak kemanusiaan dan akuntabel.
Ia juga membahas secara khusus terkait kemampuan wawancara para jurnalis, yang ia sebut mesti didahului riset dan menyiapkan pertanyaan yang tepat dan tidak berbelit-belit.
Jurnalis, kata dia, juga harus menjadi pendengar, alih-alih berdebat dengan narasumber.
“Terhadap pemangku kepentingan, cek nama lengkap dan posisi. Utamakan informasi, bukan opini atau reaksi. Jangan hanya berhenti pada satu jawaban, dapatkan lebih banyak, alih-alih kekurangan informasi,” katanya.
Selama pelatihan ini, selain pemaparan sejumlah teori, peserta juga mengerjakan latihan membuat berita, yang kemudian dievaluasi bersama-sama.
“Karena waktu yang terbatas, kami memang mendorong agar peserta lebih banyak praktik, lalu mereka bisa belajar dari hasil praktik untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan,” kata Ryan.
Ia menambahkan, sejumlah penekanan selama pelatihan adalah penulisan kepala berita atau lead yang tegas dan tajam, memastikan ada kohesi antarbagian dalam berita, menulis kutipan secara tepat dan melengkapi konteks setiap berita secara memadai.
“Evaluasi kami, para peserta memang masih menemui sejumlah kendala. Namun, kami berharap mereka bisa belajar dari kekeliruan-kekeliruan,” katanya.
Apa Kata Peserta?
Emerensiana Jebarus, warga Poco Leok, salah satu lokasi konflik PSN geotermal mengatakan “kami datang ke sini dalam keadaan seperti kertas kosong, belum tahu apa-apa tentang jurnalistik.”
“Melalui kegiatan ini, kami mendapatkan banyak ilmu dan mengetahui tentang dasar-dasar jurnalistik,” katanya.
Poco Leok merupakan salah salah satu dari beberapa titik pengembangan proyek geotermal di Flores oleh PT Perusahaan Listrik Negara, yang masuk kategori PSN di bidang energi.
Sementara Inn Afrida dari Rumah Tenun Baku Peduli mengatakan “kegiatan ini sangat bermanfaat karena sebelumnya saya belum pernah belajar tentang jurnalistik – cara menulis dan membuat berita.”
Ia berharap ke depan pelatihan jurnalistik tetap dilakukan, terutama bagi warga yang terdampak PSN.
Hal senada disampaikan Jonaldi Mikael, aktivis dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang yang mengatakan “kegiatan ini menjadi modal awal bagi “masyarakat tertindas” untuk melawan segala bentuk pembangunan yang mengancam ruang hidup mereka.”
Sementara itu Ruy Nubarani dari Ekspedisi Indonesia Baru yang sedang berada di Flores dan ikut dalam kegiatan ini mengatakan mendapat pengetahuan baru.
Isu-isu yang diangkat dalam kegiatan ini, kata dia, sesuai kebutuhan dan sangat kontekstual dengan situasi di Flores.
“Saya memang bukan background [berlatar belakang] jurnalis, tapi senang banget bisa diizinkan ikut dan dapat banyak hal juga dari sini,” ungkapnya.
Hal senada diungkapkan Tony Jedoko dari Rumah Tenun Baku Peduli karena mendapat banyak hal baru.
Ia berharap semoga dengan kegiatan ini “kita bisa terlibat dan berjuang bersama warga di lingkar lokasi PSN dalam mempertahankan ruang hidup mereka.”
Kegiatan ini adalah juga sesi akhir dari program penguatan kapasitas jurnalis di Flores, di mana Floresa melakukan lokakarya untuk jurnalis dan menyediakan beasiswa liputan bagi sepuluh jurnalis terkait kasus-kasus korupsi dan tata kelola pemerintahan.
Program tersebut, yang didukung dana hibah melalui Alumni Thematic International Exchange Seminar [TIES] dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, dimulai sejak Agustus tahun lalu.
Editor: Herry Kabut