Siapa di balik Dua Perusahaan Baru yang Gantikan PT Flobamor di TN Komodo?

Kedua perusahaan belum berusia setahun. Warga Ata Modo cemas tentang kelanjutan pengelolaan TN Komodo karena pergantian perusahaan tanpa alasan jelas

Floresa.co – Belum genap dua tahun menjadi pengelola jasa wisata alam di Taman Nasional Komodo, BUMD milik Provinsi Nusa Tenggara Timur, PT Flobamor angkat kaki pada bulan lalu.

Kini, perusahaan tersebut digantikan oleh dua perusahaan swasta domestik yang berbasis di Kupang.

Keduanya, PT Nusa Digital Creative dan PT Pantar Liae Bersaudara, telah mengantongi “izin yang sama dengan PT Flobamor, yakni pengelolaan jasa pemanduan wisata alam di TN Komodo,” kata Hendrikus Rani Siga, Kepala Balai TN Komodo.

Izin tersebut masing-masing diperoleh pada 24 dan 26 April.

PT Flobamor pergi dari TN Komodo sejak 22 Mei. Perusahaan itu mulai masuk ke wilayah itu pada akhir 2022, yang diwarnai protes warga dan pelaku wisata karena sejumlah kebijakan kontroversialnya.

PT Nusa Digital Creative

Floresa menelusuri jejak kedua perusahaan baru ini lewat dokumen pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Dari salinan dokumen itu, PT Nusa Digital Creative disahkan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum lewat SK AHU-0070790.AH.01.02.Tahun 2023, bertanggal 16 November 2023.

Perusahaan ini dipimpin oleh Varel Tristan Ayub Laiskodat. Ia menjadi direktur sekaligus pemegang saham terbanyak.

Penelusuran Floresa menemukan nama Varel sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta angkatan tahun 2017.

Ia pernah menjadi staf Biro Pengendalian dan Pengembangan Internal Badan Eksekutif Mahasiswa kampus tersebut.

Nama lain pada perusahaan tersebut adalah Lieliyana Octavia, dengan jabatan sebagai komisaris.

Lieliyana sempat maju sebagai calon legislatif Partai Nasional Demokrat [Nasdem] dalam pemilihan legislatif 2024 untuk calon anggota DPRD Kota Kupang. Ia tidak terpilih.

PT Nusa Digital Creative, beralamat di Jalan Maumere Nomor 13, Kelurahan Nefonaek, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang. 

Perusahaan ini memiliki lima belas bidang usaha, yakni kehutanan, penerbitan piranti lunak [software], pengolahan data, perusahaan modal ventura konvensional, dan periklanan.

Usaha lainnya adalah desain konten kreatif, penyewaan dan sewa guna usaha jasa transportasi darat, jasa penyelenggara pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran [MICE], jasa penyelenggara event khusus, dan jasa penunjang usaha lainnya.

Adapun bidang yang secara eksplisit menyebut usaha wisata adalah agen perjalanan wisata, biro perjalanan wisata, jasa informasi wisata, jasa pramuwisata, dan “wisata budaya lainnya” yang meliputi “sejarah, religi, tradisi, desa adat, kampung adat, dan seni budaya.”

PT Pantar Liae Bersaudara

Sementara itu, PT Pantar Liae Bersaudara disahkan melalui SK AHU-0039311.AH.01.02.Tahun 2023 bertanggal 11 Juli 2023.

Nikson Pandu, Ketua Ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu NTT [GRIB NTT] duduk sebagai direktur perusahaan, dengan komisaris David Manno. 

Nama Nikson dan David tampak ada dalam satu organisasi lain, yakni Ikatan Persaudaraan Flobamora yang berbasis di Kupang, di mana David menjadi Penasehat III dan Nikson sebagai Bendahara I. 

Sedangkan direktur utama sekaligus pemegang saham terbanyak adalah Maryanto Kore Mega.

Perusahaan tersebut memiliki total 398 total bidang usaha, yang mencakup pertanian, peternakan, perhutanan, dan perikanan.

Usaha lainnya di bidang pertambangan batu bara, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tambang pasir besi, tembaga, nikel dan mangan, tambang emas dan perak, tambang logam mulia, tambang batu gamping, serta penggalian lainnya.

Ada pula industri furnitur kayu, barang dari semen, pemotongan dan pengolahan daging, ikan, hingga roti, tempe dan tahu.

Di bidang kelistrikan, perusahaan ini mengerjakan sektor pembangkitan tenaga listrik, termasuk energi panas bumi atau geotermal, transmisi, hingga distribusi dan penjualan tenaga listrik.

Selain itu adalah konstruksi bangunan gedung, jalan, terowongan, irigasi, pengolahan limbah, telekomunikasi, hingga perdagangan obat, produk pertanian dan mobil serta motor, baik baru maupun bekas.

Ada juga usaha jasa aktivitas pengacara, konsultasi hukum, dan penempatan tenaga kerja dalam dan luar negeri.

Sementara itu, di bidang pariwisata, perusahaan ini mencatat secara eksplisit usaha di bidang Taman Wisata Alam, baik penyediaan jasa maupun sarana, taman laut, taman rekreasi, wisata pantai, klub malam, karaoke dan diskotik.

Floresa menghubungi perwakilan dua perusahaan itu pada 13 Mei.

Namun, baik Varel Tritan Ayub Laiskodat dari PT Nusa Digital Creative maupun Nikson Pandu dari PT Pantar Liae Bersaudara tidak merespons pesan dan telepon via WhatsApp.

Warga Adat Ata Modo Bingung

Rusdin, warga adat Ata Modo dari Pulau Komodo berkata pergantian perusahaan pengelola jasa naturalist guide di TN Komodo membuat warga adat merasa bingung karena tiba-tiba PT Flobamor “mundur tanpa ada pemberitahuan alasannya.”

Eks Koordinator Lapangan PT Flobamora juga berkata mereka berhadapan dengan ancaman soal ketidakpastian lapangan kerja masyarakat Ata Modo “yang selama ini hanya punya mimpi di tanah kelahirannya sendiri.”

“Kasihan masyarakat Komodo yang cukup lama, puluhan tahun menderita,” kata Rusdin yang kini menjadi Koordinator Lapangan PT Nusa Digital Creative.

Ia berkata mimpi warga mendapat lapangan kerja sektor wisata di pulau itu baru terjawab setelah masuknya PT Flobamor, tetapi “banyak sekali gangguan karena persaingan bisnis di antara perusahaan-perusahaan.”

PT Nusa Digital Creative, kata dia kepada Floresa pada 13 Juni, sudah menemui warga dan pelaku wisata di Pulau Komodo “sebelum berakhirnya masa kontrak PT Flobamor.”

Para petugas lapangan PT Flobamor, kata dia, secara otomatis menjadi petugas perusahaan baru tersebut, dengan penambahan beberapa orang lagi yang semuanya berasal dari warga adat Ata Modo.

Terkait sistem penggajian, ia mengaku masih sama dengan PT Flobamor dan “belum tahu soal perubahannya.”

Namun, kata dia, perusahaan baru ini “sistemnya lebih disiplin, lebih peduli pada warga Ata Modo dan pada konservasi.”

Ia berharap ada upaya untuk “duduk bersama dan tata konsep yang baik” dengan para pelaku wisata di Labuan Bajo dan pihak lainnya yang peduli untuk membahas persoalan ketidakpastian akibat gonta-ganti perusahaan tersebut.

Ali Mudin, warga adat Ata Modo lainnya  membenarkan informasi terkait PT Nusa Digital Creative yang beberapa pekan terakhir sudah langsung beroperasi menggantikan PT Flobamor.

Ia berkata perusahaan itu menggaet “personil lapangan yang sama dengan PT Flobamor”, tetapi dengan penambahan sebanyak 15 orang.

Ia  mengaku ikut membantu membuat kartu identitas para naturalist guide perusahaan baru itu.

“Untuk saya, terlepas dari sistemnya yang amburadul, yang penting dia [PT Nusa Digital Creative] tetap mengutamakan warga setempat sebagai pegawainya,” lanjutnya.

Meski sama seperti Rusdin yang mengaku belum mendengar kabar terkait PT Pantar Liae Bersaudara, ia mengatakan pengelolaan jasa pemandu wisata di Pulau Padar telah diambil alih oleh Koperasi Serba Usaha milik Balai TN Komodo dan Koperasi Serba Usaha Tiba Meka Mandiri dengan sistem shift “per sepuluh hari”.

Rusdin mengatakan KSU Tiba Meka Mandiri belum mulai mengelola jasa wisata di Pulau Padar bagian selatan, tetapi “mereka sudah dapat izin.”

Aloysius Suhartim Karya, ketua KSU Tiba Meka Mandiri membantah informasi yang disampaikan Ali.

Sebagai koperasi jasa, kata dia, pihaknya memang “telah memenuhi semua persyaratan untuk terlibat dalam penyediaan jasa komersial di TN Komodo.”

“Dari enam unit usaha yang mendapatkan legalitas atau izinan lengkap dari KLHK, yang intens kami komunikasikan dengan Balai TN Komodo adalah jasa kepemanduan wisata atau naturalist guide,” katanya kepada Floresa pada 13 Juni.

Meski demikian, lanjutnya, dalam pertemuan terakhir dengan Kepala BTNK pada 20 Mei, “belum ada arah yang pasti, site mana yang akan diberikan ke Koperasi Tiba Meka Mandiri.”

“Belum ada petunjuk yang pasti. Perihal itu yang sesungguhnya kami tunggu dari BTNK,” katanya.

Wajah Lama

Rusdin berkata petugas PT Nusa Digital Creative yang menemui warga di Pulau Komodo juga termasuk orang-orang lama yang sebelumnya bekerja di PT Flobamor.

“Ada juga yang dari Flobamor, Pa Yanto, yang sebenarnya sifatnya membantu komunikasi saja kemarin,” katanya.

Yanto, kata dia, “mempunyai keahlian dari segi kedekatan dengan masyarakat.”

Selain Yanto, nama lainnya yang disebut Rusdin adalah Naya.

Yanto yang dimaksud adalah Meryanto Kore Mega, yang selain pernah menjadi staf PT Flobamor, kini tercatat sebagai direktur utama PT Pantar Liae Bersaudara.

Ia juga tercatat pernah menjadi Manajer Hotel Nembrala Beach di Kabupaten Rote Ndao, Direktur Sasando Hotel Kupang, dan Direktur PT Flobamora Bangkit Internasional [FBI] yang merupakan anak perusahaan PT Flobamor.

PT FBI adalah perusahaan yang diberi hak pengelolaan Pantai Pede di Labuan Bajo oleh Pemprov NTT setelah perusahaan sebelumnya PT Sarana Investama Manggabar [PT SIM] diprotes publik karena dianggap melakukan privatisasi pantai hingga terjerat dugaan korupsi. 

Selain itu pada 2020 Yanto terpilih menjadi Ketua DPD Asosiasi Desa Wisata Indonesia [Asidewi] Provinsi NTT.

Floresa menghubungi Yanto pada 13 Juni, tetapi ia tidak merespons pesan dan panggilan telepon Whatsapp.

Tidak Ada Jaminan

Yuven Nonga dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang Nusa Tenggara Timur berkata, kehadiran dua perusahaan baru tersebut “sama saja dengan PT Flobamor.”

“Skemanya sama yaitu privatisasi, dan aktornya sama-sama perusahaan,” katanya.

Ia berkata pemerintah seharusnya berangkat dari pengalaman kegagalan PT Flobamor untuk mempertimbangkan “dua kali lipat ketika memberi izin kepada perusahaan.”

“Izinnya sama, maka pola privatisasinya juga sama. Tidak ada jaminan bahwa perusahaan baru itu mampu memegang mandat publik terkait pengelolaan konservasi di cagar biosfer itu,” lanjutnya.

Ia mengatakan mundurnya PT Flobamor karena kerugian bisnis membuktikan bahwa “sejak awal tujuannya bukan untuk fungsi konservasi, tetapi privatisasi bisnis wisata.”

“Karena itu, seharusnya tidak ada perusahaan apapun di kawasan cagar biosfer itu. Seharusnya warga sendiri yang didorong untuk mandiri mengembangkan konservasi, tentu dengan pendampingan pemerintah,” lanjutnya.

Ia juga menyinggung tiga perusahaan swasta lainnya yang mengantongi Izin Usaha Pengelolaan Sarana Wisata Alam [IUPSWA] di kawasan tersebut, yakni PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Komodo dan Pulau Padar, PT Segara Komodo Lestari di Pulau Rinca, dan PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa.

Senada dengan Yuven, Doni Parera, aktivis yang juga terlibat dalam berbagai protes publik terkait pengelolaan TN Komodo mengatakan kehadiran dua perusahaan pengganti tersebut, yang “sama seperti PT Flobamor tidak punya pengalaman mengelola taman nasional” hanya membuat kawasan tersebut “jadi lahan perampokan dengan izin resmi.”

Perihal dugaan keterhubungan pemilik perusahaan baru ini dengan Partai Nasdem, “tampaknya mereka memanfaatkan Menteri KLHK yang juga orang Nasdem untuk dapat konsesi merampok TN Komodo,” katanya kepada Floresa pada 13 Juni.

Sementarab terkait PT Flobamor, ia berkata perusahaan itu “tidak terlihat melakukan apa-apa dalam kawasan TNK.”

“Hanya tampak rekrut naturalist guide, naikkan harga tiket masuk, kemudian mengaku alami kerugian, lalu mundur begitu saja,” katanya. 

Sebagai pemilik TN Komodo, kata dia, publik seharusnya “mendapatkan informasi yang fair dan jujur, apakah benar PT Flobamor alami kerugian selama dua tahun belakangan.”

“Hitungan secara kasar saja, ada ratusan ribu wisatawan yang masuk ke TN Komodo tahun lalu, yang membayar ratusan ribu rupiah untuk jasa wisata kepada PT Flobamor, bisa raup puluhan miliar, praktis dengan modal surat izin belaka. Kemana perginya dana itu hingga mengaku alami kerugian,” katanya.

Ia menuntut DPRD Provinsi NTT meminta pertanggungjawaban keuangan perusahaan tersebut.

“Belajar dari pengalaman selama ini, keberadaan perusahaan-perusahaan yang mendapat konsesi tidak membawa perubahan berarti bagi konservasi dalam kawasan. Malah cenderung merusak landscape alaminya,” ungkapnya.

PT Flobamor yang mengantongi izin usaha pengelolaan jasa wisata alam [IUPJWA] di TN Komodo menyatakan mundur dari aktivitas wisata tersebut pada 22 Mei, akibat mengalami kerugian bisnis.

Sebelumnya perusahaan yang mengadakan Perjanjian Kerja Sama [PKS] dengan Balai Taman Nasional Komodo pada 2022, yang diperkuat dengan Nota Kesepahaman [MoU] antara Direktorat Jenderal KSDAE dan Pemprov NTT itu mendapatkan hak pengelolaan di atas lahan seluas 712,12 hektar yang meliputi Pulau Komodo, Pulau Padar dan perairan sekitarnya.

Selama sekitar dua tahun terakhir, perusahaan tersebut mengelola jasa pemandu wisata alam atau naturalist guide di Loh Liang, gerbang wisata Pulau Komodo dan Pulau Padar bagian selatan.

Sejak awal beroperasi, perusahaan tersebut selalu mendapat protes publik, terutama karena di bawah kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat perusahaan itu beberapa kali hendak menerapkan kebijakan kenaikan tarif masuk dan tarif jasa pemandu wisata alam.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA