ReportaseMendalamTak Cukup Proses Etik, Harus Dipidana dan Dipecat; Aktivis Perempuan NTT Merespons Pelecehan Seksual oleh Polisi di Sumba

Tak Cukup Proses Etik, Harus Dipidana dan Dipecat; Aktivis Perempuan NTT Merespons Pelecehan Seksual oleh Polisi di Sumba

Pembenahan dalam tubuh Polri menjadi pintu masuk pencegahan kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, kata mereka

Floresa.co Aktivis perempuan di NTT mendesak Polres Sumba Barat Daya mengambil sikap tegas terhadap anggotanya yang melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan korban pemerkosaan.

Bagi mereka, polisi berinisial PS tersebut tidak cukup hanya mendapat sanksi etik, tetapi perlu dipidana dan dipecat dari institusinya.

“Saya turut prihatin dan marah atas kejadian ini. Tugas aparat penegak hukum seharusnya memberikan perlindungan dan penegakkan hukum bagi korban yang melaporkan kasus pemerkosaan,” kata Linda Tagie dari Solidaritas Perempuan Flobamoratas, organisasi advokasi perempuan di NTT.

Ia berkata, seharusnya Polres Sumba Barat Daya memproses PS secara pidana tanpa menunggu sidang kode etik.

Sanksi yang paling tepat, kata Linda kepada Floresa pada 10 Juni, adalah  pemecatan karena perbuatan PS telah “mencederai kemanusiaan dan menyebabkan trauma berlapis pada korban.” 

Polres Sumba Barat Daya telah menahan PS pada 7 Juni, setelah hasil penyelidikan Divisi Profesi dan Pengamanan menemukan bahwa ia melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan yang sebelumnya melaporkan kasus pemerkosaan.

Pelecehan seksual itu terjadi pada 2 Maret, namun baru terekspos ke publik usai korban menceritakannya dalam video yang viral di Facebook pekan lalu.

Ia mengaku diajak PS ke kantor Polsek Wewewa Selatan dengan dalih untuk dimintai keterangan terkait kasus pemerkosaan yang ia laporkan.

Namun, setibanya di Polsek, PS malah meminta korban membuka baju dan celana dengan alasan untuk pemeriksaan. Selama beberapa menit PS meraba organ vitalnya. 

Setelah itu, PS memintanya untuk “tidak memberitahukan perbuatannya ke orang lain.” Korban mengaku tidak bisa melawan karena pelecehan itu terjadi kantor polisi. 

Kapolres Sumba Barat Daya AKBP Harianto Rantesalu menyesalkan perbuatan PS yang “telah melanggar kode etik kepolisian.”

“Kami atas nama institusi Polri, khususnya Polres Sumba Barat Daya, menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat atas kejadian ini,” katanya.

Ia menyatakan komitmen untuk menangani kasus ini “secara profesional, objektif dan sesuai prosedur hukum yang berlaku.”

“Tidak ada yang ditutup-tutupi. Proses hukum akan ditegakkan,” katanya.

PS ditahan selama 30 hari sejak 7 Juni, menanti proses sidang Kode Etik Profesi.

Ketua Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan) NTT, Yustina Dama Dia, yang berbicara kepada Floresa pada 10 Juni, berkata, pemidanaan dan pemecatan adalah “langkah yang tepat” agar “tidak memperburuk keadaan korban dan keluarganya.”

Pemecatan itu, katanya, juga bisa memberi “efek jera” bagi  Polres Sumba Barat Daya “yang terkesan sengaja mengulur waktu dan bisa saja membuat masalah pelecehan seksual ini hilang.”

Senada dengan Yustina, Fransiska Heldiana Juita dari Komunitas Puan Floresta Bicara berkata, “selain sanksi administratif berupa pemberhentian secara tidak hormat, pelaku harus diadili di pengadilan umum dan bukan diselesaikan secara internal kepolisian.”

Sanksi yang tegas ini, katanya, adalah bentuk pertanggungjawaban aparat negara bahwa kekerasan seksual tidak bisa ditoleransi di institusi manapun, termasuk di kepolisian.

Siska menyebut PS mesti dipidana sesuai pasal 6 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasal itu mengatur sanksi untuk pelaku tindak pidana kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual fisik. 

Sanksi dalam pasal 6 meliputi penjara antara 4-12 tahun dan denda antara  Rp50 juta-Rp300 juta. 

Polri Segera Berbenah

Siska juga mendorong agar Polri segera melakukan reformasi internal secara serius, termasuk “tidak tebang pilih” dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan atau anak yang melibatkan anggota institusi.

Jika kasus seperti ini tak ditangani secara serius, terbuka dan adil, maka akan melanggengkan praktik impunitas dan pembiaran, katanya. 

Ia menyebutkan kasus serupa pernah terjadi di Polres Ngada, Alor dan Sikka, yang pelakunya adalah polisi aktif.

Sementara Linda Tagie berkata, dalam penanganan berbagai kasus kekerasan seksual yang melibatkan anggota polisi, warga NTT tidak butuh sekadar janji transparansi yang kerap disampaikan di depan publik. 

Yang terpenting bagi para korban adalah “mereka berhak atas keadilan, perlindungan, dan pemulihan menyeluruh, terutama kesehatan mental korban.”

Karena itu, kata Linda, pembenahan di tubuh Polri menjadi penting, termasuk pengusutan secara tuntas setiap kasus dan berani memecat pelaku sehingga memberi efek jera bagi yang lain.

“Dari kasus di Sumba, Ngada, Sikka, dan Alor, seharusnya Polri berbenah diri dengan mengambil sikap tegas agar dapat mengembalikan marwah Polri sebagai institusi penegak hukum,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA