ReportaseMendalamPelapor Khusus PBB Kunjungi Poco Leok, Janji Suarakan Keluhan Masyarakat Adat NTT di Level Internasional

Pelapor Khusus PBB Kunjungi Poco Leok, Janji Suarakan Keluhan Masyarakat Adat NTT di Level Internasional

Masyarakat Adat memiliki hak-hak inheren yang tidak bergantung pengakuan pemerintah, wajib diakui dan dilindungi

Floresa.co – Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi urusan Masyarakat Adat berdialog dengan perwakilan berbagai Komunitas Adat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam kunjungan ke Poco Leok, Kabupaten Manggarai pada 7 Juli.

Dalam pertemuan selama sehari yang difasilitasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) itu, Albert Kwokwo Barume menegaskan komitmennya untuk mendengarkan langsung dan menyuarakan aspirasi Masyarakat Adat dari NTT di level internasional, sebagaimana mandat yang dipegangnya sebagai pelapor khusus.

Ratusan perwakilan yang hadir dalam pertemuan yang digelar di Rumah Adat Gendang Tere, Desa Mocok itu berasal dari komunitas adat di Pulau Sumba, Timor, Lembata dan sepanjang daratan Flores. Sebagian besar merupakan Masyarakat Adat dari sepuluh kampung adat di Poco Leok.

Kedatangan Albert merupakan kunjungan tidak resmi atau biasa disebut “kunjungan akademik” karena tidak melalui undangan resmi oleh Pemerintah Indonesia.

Kendati kunjungan akademik memiliki porsi yang terbatas karena ia “hanya bisa mendengar, mencatat dan melihat,” Albert menegaskan bahwa sudah menjadi tugasnya untuk “mengamplifikasi suara Masyarakat Adat agar didengarkan pemerintah.”

“Saya berjuang sebisanya untuk mengunjungi sebanyak mungkin komunitas untuk mendengarkan dan terhubung dengan mereka. Memahami masalah Masyarakat Adat adalah hal yang sulit, terutama jika tidak pernah bertemu mereka,” kata Albert yang mulai menjadi pelapor khusus pada Januari.

“Tim saya menerima lima sampai sepuluh pengaduan setiap hari dari (berbagai komunitas Masyarakat Adat) di seluruh dunia dengan persoalan-persoalan yang berbeda,” katanya, lalu “tim mengeceknya satu per satu.”

Pengaduan tersebut kemudian ditulisnya dalam bentuk laporan resmi PBB untuk diserahkan kepada pemerintah masing-masing negara melalui perwakilan mereka di markas besar di Jenewa, Swiss.

Konflik dengan Pemerintah dan Gereja

Umbu Pajaru Lombu, Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kabupaten Sumba Timur dan Umbu Ndeha, pemuda dari Desa Patawang, Kecamatan Umalulu melaporkan ekspansi perusahaan perkebunan tebu milik PT Muria Sumba Manis (PT MSM).

Keduanya menceritakan aksi PT MSM menggusur paksa lahan Masyarakat Adat Umalulu dan Rindi seluas 7.879 hektare.

Lahan itu mencakup tempat penggembalaan ternak, sawah dan situs-situs adat tempat ritual berdasarkan agama asli mereka. 

“Pada 2016, pemerintah memberi izin lokasi seluas 52 ribu hektare kepada PT MSM, yang mencakup lima wilayah kecamatan. Setelah itu perusahaan mendekati masing-masing kecamatan, lalu ke tingkat pemerintah desa,” kata Umbu Ndeha.

Ia melanjutkan, protes terbuka Masyarakat Adat terjadi setelah situs adat mereka rusak dan padang rumput terhimpit perkebunan tebu, hal yang “memaksa orang menjual ternak-ternaknya.”

“Ada juga petani yang protes karena hanya dapat air sisa dari bendungan privat perusahaan. Selain itu, mereka juga melakukan pengeboran sumur air di beberapa titik, sementara perkebunan tebu berada di sebelah atas (ketinggian) dan lahan pertanian (di dataran yang) lebih rendah,” katanya.

“Kami tidak bisa masuk ke lokasi itu karena benar-benar privat dan dijaga ketat,” lanjutnya, untuk memuluskan aktivitas pabrik yang memproduksi 21 ribu ton gula per hari. 

Sementara itu, Marsel Bala Bawin, perwakilan Masyarakat Adat Suku Tukan dari Kabupaten Flores Timur melaporkan konflik yang tengah mereka hadapi dengan PT Rero Lara terkait Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan perusahaan yang terkait dengan Keuskupan Larantuka.

Antonius Toni, perwakilan Masyarakat Adat Nangahale, Kabupaten Sikka saat memberikan kesaksian di hadapan pelapor khusus PBB di Poco Leok pada 7 Juli 2025. (Dokumentasi Floresa)

Hal yang hampir sama dilaporkan empat korban penggusuran paksa oleh PT Krisrama, perusahaan milik Keuskupan Maumere di Nangahale, Kabupaten Sikka.

Keempatnya – Antonius Toni, Ignasius Nasi dan Riky Fernandes dari Suku Soge Natarmage, serta Leonardus Leo – dari Suku Goban Runut menceritakan perampasan lahan Masyarakat Adat oleh korporasi.

Hal itu bermula dari penguasaan lahan oleh perusahaan kolonial Belanda pada 1912, yang lalu diserahkan ke PT Diag milik Keuskupan Agung Ende. Belakangan, setelah terbentuk Keuskupan Maumere, HGU di wilayah itu dikuasai PT Krisrama.

“Masyarakat mulai berjuang sejak penjajahan Belanda. Tetapi karena Masyarakat Adat ini belum tahu bagaimana menulis dan mencatat, maka hanya cerita lisan. Tapi mereka memiliki bukti teritorial, sejarah asal-usul, bukti struktur adat. Bukti-bukti itu tetap ada, (misalnya) tempat ritual adat, struktur adat dan kepala adat yang disebut Tana Puan,” kata Antonius Toni.

Dalam catatan Floresa, empat perwakilan tersebut kini bersama belasan lainnya tengah menghadapi kriminalisasi oleh PT Krisrama, menyusul pelaporan oleh dua pastor pimpinan perusahaan itu atas tudingan pengancaman dan penyerobotan lahan.

Sementara itu, delapan anggota Masyarakat Adat dari dua suku itu dipenjara pada Maret atas laporan seorang pastor.

Konflik Tata Batas Hutan

“Pada 1999, tambang marmer masuk, bawa alat berat untuk cincang batu-batu, padahal itu semua adalah batu keramat kami,” kata Nefron Mbaun yang mewakili Masyarakat Adat Mollo dari Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Nefron melaporkan serangan-serangan perusahaan tambang yang mengancam Pegunungan Mutis-Timau di masa lalu, yang kini berlanjut dengan privatisasi pengelolaan kawasan tersebut sebagai taman nasional di bawah kendali Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT.

Netron Mbaun sedang berbicara mewakili Masyarakat Adat Mollo di sekitar Pegunungan Mutis-Timau, Pulau Timor. (Dokumentasi Floresa)

Silvester Melo, wakil Masyarakat Adat Suku Kende di Kalang Maghit, Desa Gunung, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur menceritakan konflik menahun mereka dengan pemerintah daerah sejak pembukaan kampung itu pada 1970-1972, berpindah dari kampung lama yang tak jauh dari lokasi itu.

Silvester berkata, komunitas mereka melakukan ritual peresmian kampung Kalang Maghit pada 1976. Namun, wilayah adat mereka seluas 600,29 hektare, termasuk lahan pertanian dan situs-situs adat, terancam oleh klaim sepihak pemerintah yang memasang plang bertulis Tanah Milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur pada 2022.

Saling klaim lahan antara Masyarakat Adat dengan BBKSDA NTT juga terjadi berkepanjangan sejak era kolonial Belanda di beberapa wilayah di Manggarai Timur, di antaranya Ngkiong, Lawi, Kigit dan Golo Munde.

Ferdinandus Dance dari Golo Munde, Kecamatan Elar berkata, tanah adat mereka seluas 500 hektare diklaim sebagai hutan lindung dalam Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng. Luas keseluruhan TWA Ruteng adalah 32.360 hektare, yakni 8.000 hektare di wilayah Kabupaten Manggarai dan 24.360 hektare di Manggarai Timur.

Mikael Ane, anggota Masyarakat Adat Ngkiong yang dua kali dipenjara karena dituding menyerobot kawasan TWA Ruteng berkata, dirinya “tidak putus asa dan tidak mundur satu langkah.”

“Pengalaman saya selama di atas bumi ini memang luar biasa dan menyedihkan. Penangkapan saya pada 8 September 2012 (oleh) petugas TWA dan aparat tentara merampas semua barang saya, yakni balok, papan, gergaji mesin serta uang sejumlah Rp28.850.000,” kisahnya.

Penangkapan kedua terhadap Mikael terjadi pada 28 Maret 2023, berujung penjara selama 14 bulan di Lapas Kelas II B Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. 

Kendati divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Ruteng pada 5 September 2023 lantaran membangun rumah di kawasan TWA Ruteng, putusan kasasi Mahkamah Agung pada 6 Mei 2024 menyatakan dia tidak melakukan tindak pidana dan harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Sementara itu, pelaporan lainnya kepada Albert datang dari Masyarakat Adat Ndekododo, Kabupaten Nagekeo.

Kristian Tara, wakil komunitas itu berkata, mereka memprotes sertifikasi sepihak atas tanah ulayat seluas 9.048 meter persegi pada 2018 dan 34.483 meter persegi pada 2021 untuk investasi pariwisata oleh PT Proffestama Teknik Cemerlang.

Infrastruktur dan Energi Geotermal yang Terus Dipaksakan

“Masyarakat Adat, mama-mama, kaum muda gencar melakukan protes, tetapi pemerintah juga begitu gencar menggunakan alat-alat negara yaitu polisi dan TNI terus mengintimidasi dan mengkriminalisasi,” kata Christian Minggu, perwakilan Masyarakat Adat Rendu Butowe yang terdampak proyek Bendungan Lambo di Kabupaten Nagekeo.

Infrastruktur yang didorong secara masif sejak masa Presiden Joko Widodo itu, kata Kristian, menyasar “tanah Rendu yang sangat subur, tempat kami bertani dan beternak.”

“Dengan kehadiran bendungan ini, Masyarakat Adat tidak tahu mau ke mana lagi,” katanya.

Andreas Baha Ledjap, wakil Masyarakat Adat Kampung Watuwawer, Desa Atakore, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata melaporkan proyek geotermal milik PT PLN yang kini tengah dipaksakan di wilayah itu.

“Penetapan WKP (Wilayah Kerja Panas Bumi) seluas 31.200 hektare itu pada 2008 tidak diketahui oleh seluruh warga Atadei dan semua warga Kabupaten Lembata. Ini dirancang oleh negara melalui Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dan kami dipaksa untuk menerima saja,” kata Ance, sapaannya.

Antonius Anu, pemuda dari Mataloko yang terdampak proyek PLTP yang gagal berulang sejak pengeboran pertama pada 1998 berkata, proses jual beli lahan di wilayah itu tidak lagi dilakukan dengan mekanisme adat, tetapi “lebih pada sistem pemerintah.”

“Pemerintah turun langsung ke lokasi, menanyakan ini lahan siapa, lalu segala proses pembebasan lahan, jual beli, kesepakatan dan lainnya itu dibuat, mengabaikan yang lain yang sebenarnya punya hak yang sama (atas lahan itu),” kata Antonius. 

Yosef Erwin Rahmat dari komunitas Masyarakat Adat Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat berkata, perjuangan mereka melawan rencana proyek geotermal “sudah berjalan selama delapan tahun.”

“Kami menolak geotermal dengan alasan rencana itu ada di ruang hidup kami,” katanya, karena “dalam ruang hidup itu, apa yang diwariskan nenek moyang kami sudah sarat dengan hak asasi manusia.”

“Kami berharap Albert sebagai pelapor khusus dari PBB bisa mengambil sikap dengan kondisi yang sedang kami hadapi di Indonesia, Flores maupun Wae Sano sekarang ini,” katanya.

Sementara itu, Servasius Masyudi Onggal, pemuda asal Poco Leok mengadukan pemerintah dan PT PLN yang memaksakan proyek geotermal tanpa menghiraukan alasan perlawanan mereka terkait keutuhan ruang hidup.

“Masyarakat Adat Poco Leok sudah eksis jauh sebelum negara ini lahir,” katanya.

Masyudi berkata, sebagai orang Manggarai, mereka memiliki lima pilar yang menggambarkan ruang hidup, yakni gendang atau rumah adat; lingko atau kebun komunal; mata wae atau mata air; natas labar atau halaman tempat bersosialisasi; dan compang atau altar penyembahan kepada leluhur dan Wujud Tertinggi yang diyakini secara tradisional.

Ia juga menyoroti upaya pemaksaan dalam proyek tersebut yang dilakukan dengan beragam cara, misalnya pengerahan polisi, TNI dan Pol PP, termasuk mobilisasi preman oleh pemerintah dan perusahaan.   

“Ada media-media juga yang bermain, yang selalu menyampaikan isu dan memberitakan dan membeberkan hoaks tentang situasi yang terjadi di sini,” katanya.

Elisabeth Lahus, perempuan asal Poco Leok menambahkan, selama hampir tiga tahun belakangan, mereka “hidup sengsara” dan “terus berusaha menjaga tanah.”

“Aparat keamanan terus turun (ke sini), kami diinjak-injak, dihina-hina,” katanya.

Sambil menangis, Elisabeth juga mengisahkan aksinya menanggalkan baju dalam pengadangan aktivitas PT PLN dan Badan Pertanahan Nasional di salah satu tanah ulayat pada Juni 2023.

Pelaporan lainnya datang dari Lukas Lawa, perwakilan Masyarakat Adat Detusoko di Kabupaten Ende terkait rencana proyek geotermal di wilayah itu. 

Selain itu, ia melaporkan kondisi proyek serupa di Sokoria yang diwarnai konflik akibat dampak buruknya bagi tanah adat dan mata air.

Respons Pelapor Khusus

“Saya datang untuk mendengar dan melihat (kondisi Anda),” kata Albert Kwokwo Barume dari PBB.

Sebagai respons atas berbagai laporan Masyarakat Adat, kata dia, “hal yang sangat penting adalah mengingatkan pemerintah tentang apa yang harus mereka lakukan.”

Sebelumnya, dalam kunjungan yang sama ke Jayapura, Papua pada 4-5 Juli, Albert menegaskan bahwa hak masyarakat adat tidak bergantung pada pengakuan negara.

Seperti dikutip dari Tempo.co, ia berkata, Masyarakat Adat adalah bangsa yang sudah ada jauh sebelum negara terbentuk. Hak mereka juga diakui secara tegas oleh hukum internasional.

“Saya tidak menyebut nama negara Anda di sini, ada negara yang terus melakukan kesalahan itu. Mereka terlambat memenuhi kewajiban mereka, tapi itu tidak menghalangi Anda untuk mendapatkan hak-hak Anda,” katanya.

Beberapa perwakilan komunitas Masyarakat Adat tengah mendengarkan respons Albert Kwokwo Barume terhadap laporan mereka. (Dokumentasi Floresa)

Ia juga mengucapkan terima kasih karena para perwakilan komunitas di NTT menceritakan kondisinya secara langsung, ketimbang hanya dengan bersurat kepada pelapor khusus.

“Kami dapat terhubung dengan lebih baik pada sesuatu yang kami lihat langsung, ketimbang membaca cerita yang tertulis di atas kertas,” katanya.

“Saya menyatakan dengan yakin kepada Anda untuk melakukan mandat ini sebisa mungkin,” katanya, “sebab bukan hakim” dan “tidak dapat menghukum pemerintah.”

Ia berjanji mencatat poin-poin laporan Masyarakat Adat secara detail untuk dirumuskan sebagai laporan resmi “dan membawanya ke level yang lain (internasional).”

Albert juga mengingatkan, selain dirinya sebagai pelapor khusus Masyarakat Adat, “ada lebih dari 20 pelapor khusus”, termasuk “isu air, perubahan iklim, kekerasan terhadap perempuan dan lain-lain.”

“Jadi jangan ragu untuk menghubungi pelapor lainnya. Jangan lelah mengirimkan surat kepada mereka,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA