Dewi Sukur tidak hanya mengisi liburan panjang tahun ini untuk bertemu keluarga. Mahasiswi Universitas Sanata Darma, Yogyakarta ini yang bergabung dalam grup akademik Kelompok Studi Tentang Desa (KESA) juga memilih menimbah pengalaman dengan berkunjung ke Desa Bangka Kantar di Manggarai Timur.
Dalam kunjungan pada Rabu, 8 Juli 2015 itu, Dewi bersama tujuh rekannya belajar banyak tentang persoalan yang dihadapi desa itu.
Kegiatan kunjungan itu merupakan bagian dari rangkaian acara tur akademik KESA tahun ini. Selain menyasar beberapa desa, mereka juga mendatangi sejumlah sekolah di Manggarai Raya untuk memberi pelatihan jurnalistik.
Berikut catatan perjalanan Dewi:
Hari itu, Rabu, 8 Juli 2015 itu cukup cerah. Saya beserta teman-teman KESA dalam agenda assessment untuk sosialisasi UU tentang Desa menelusuri dengan semangat setiap titik perjalanan menuju sebuah desa kecil hasil pemekaran.
Bangka Kantar adalah satu diantara desa-desa asuhan Kabupaten Manggarai Timur (Matim), yang letaknya cukup jauh dari pusat kota.
Panorama sawah dan gunung di dalam saat memasuki Borong, ibukota Matim memanjakan mata saya dalam setiap tangkapannya. Semua terlihat selaras dengan jalan yang tidak perlu diragukan kualitasnya.
Namun, laju kendaraan kami serta merta melambat ketika mulai memasuki Desa Bangka Kantar. Saya yang tadinya hanya membonceng manis,harus memegang erat pengendara motor agar tidak terlempar oleh guncangan motor kami.
Serakan batu hasil pecahan aspal yang terlihat diabaikan berbulan-bulan, menyambut kami pada pelataran selamat datang di desa ini. Itu tidak cukup membuat saya tercengang sampai akhirnya saya menemui kenyataan bahwa ada lebih banyak pecahan aspal parah sepanjang desa ini.
Beberapa dari pecahan yang membentuk lubang besar sepertinya sengaja ditumpuki dengan batu untuk mengurangi volume lubang-lubang tersebut. Alhasil kendaraan roda dua mengalami kesulitan melewati batu-batu ini.
Padahal, dari kursi boncengan motor, saya bisa melihat dengan jelas ratusan rumah warga berdiri berjejer rapi di pinggiran jalan.
Itu berarti, jalan ini memfasilitasi ratusan nyawa setiap harinya untuk keperluan intra maupun antar desa.
Namun, kelelahan kami terbayar lunas dengan suguhan kopi panas khas Bangka Kantar. Dinyatakan lunas karena kopi ini disuguhi dengan senyum ramah anggota Kelompok Tani desa Bangka Kantar.
Kelompok tani di desa ini terdiri dari 10 kelompok. Sembilan diantaranya adalah Kelompok Tani Dewasa dan 1 lainnya adalah Kelompok Wanita Tani ( KWT).
Dalam obrolan hangat di siang itu, beberapa anggota kelompok tani dewasa menuturkan usaha serta kendala yang mereka jalani dalam pengembangan kelompok mereka sendiri.
Pada beberapa masalah intern kelompok seperti pengelolahan bantuan, mereka mengakui bahwa tidak ada kendala yang cukup besar. Secara mandiri, semangat pemberdayaan kelompok sudah mereka terapkan.
Hasilnya pun berimbas pada terpenuhinya kebutuhan sehari-hari para anggota kelompok. Namun, kelancaran pengelolahan bantuan juga bergantung pada jenis bantuan itu sendiri. Jika bantuannya berupa hewan, pengelolahannya tidak rumit.
Namun akan menjadi masalah ketika bantuannya berupa bibit yang perlu perawatan intens dengan air. Salah satu contohnya adalah bibit sayur.
“Susah kalau disuruh budidaya tanaman. Kesadaran anggota kelompok untuk datang siram tumbuhannya yang setengah mati. Kami sudah pernah coba. Dan hasilnya ya begitu”, tutur salah satu perwakilan KWT di desa ini.
Kesadaran anggota kelompok tani tentu berhubungan erat dengan fasilitas desa. Air adalah salah satunya. Aliran air yang tidak memadai bisa saja menjadi salah satu faktor kemalasan anggota tani menjalankan tugasnya dalam pembudidayaan tumbuhan.
Untuk mendapatkan air, masyarakat desa harus melewati beberapa dusun hingga ke dusun paling ujung dari desa. Jangankan untuk menyirami tumbuhan, untuk memenuhi keperluan sehari-hari seperti mandi, minum dan masak pun mereka mengalami kesulitan.
Ditambah lagi kondisi jalan yang sangat parah. Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengakui bahwa sejauh ini, konsentrasi pengembangan Desa Bangka Kantar memang masih bergulat pada penataan administrasi belum menyentuh masalah infrastuktur desa.
Hal ini meyakinkan saya bahwa dalam pengelolahan infrastrukturnya nanti, desa ini akan menemui sedikit saja masalah. Sebab pemerintah pasti sudah menyiapkan waktu yang khusus untuk penataan infrastruktur seperti halnya dengan penataan administrasi.
Bagi saya, desa ini bukan sekedar desa biasa. Jika pengelolahan jalan serta masalah air bisa diatasi oleh yang berwajib, desa ini menjanjikan banyak hal.
Bukan hanya dari pemberdayaan masyarakat yang terampil dan mandiri tetapi juga dari pemberdayaan wisata. Secara kasat mata kita bisa melihat bahwa desa ini diapiti oleh bentangan gunung yang indah yang terlihat sangat dekat dengan desa.
Keaslian alamnya masih bisa dilihat dan dirasakan dengan jelas. Beberapa lapangan kosong terlihat begitu indah mempesona dengan latar belakang gunung serta pepohonan yang asri. Menjadi desa wisata bisa menjadi pilihan pengelolahan desa ini.
Semua kembali kepada kerjasama antara pemerintah dan warga desa. Kemandirian masyarakat serta campur tangan pemerintah Kabupaten Matim akan menjadi kombinasi yang baik dalam proses penataan desa ini.