Sekolah Bebas Plastik, Wujud Peduli Lingkungan

Sampah plastik menjadi masalah global, termasuk di lingkungan sekolah. Langkah mengatasinya bisa dilakukan lewat berbagai hal konkret, demi mendukung keberlanjutan lingkungan.

Baca Juga

Saban hari, aktivitas di sekolah kami dibuka dengan membersihkan halaman sekolah. Peserta didik diarahkan untuk memungut sampah yang berserakan. Tujuannya untuk menanamkan dalam diri mereka kebiasaan peduli terhadap lingkungan.

Jenis sampah yang dipungut umumnya plastik, bekas kemasan jajanan peserta didik. Ada juga sampah bekas botol minuman yang kadar gulanya amat tinggi. Sayangnya, minuman semacam itu jadi salah satu jajanan favorit mereka.

Dua jenis sampah ini termasuk sampah anorganik, sulit terurai kembali, yang memerlukan ratusan bahkan ribuan tahun. Ini berbeda dengan sampah organik seperti dedaunan, yang justru bisa membantu menyuburkan tanah.

Keprihatinan terhadap sampah plastik adalah keprihatinan global, tidak hanya di  negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, dan Jepang.

Dikutip dari Indonesia Solid Waste Assosicaion, penggunaan material plastik di negara-negara Eropa Barat mencapai 60kg/orang/tahun dan di Amerika Serikat mencapai 80kg/orang/tahun.

Sampah plastik menempat 57 persen jenis sampah yang ditemukan di pantai dan 46 ribu sampah plastik mengapung di setiap mil persegi samudera. Bahkan, kedalaman sampah plastik di Samudera Pasifik sudah mencapai hampir 100 meter. 

Di Indonesia, menurut data Statistik Persampahan Domestik, sampah plastik mencapai 5,4 juta ton per tahun atau 14 persen dari total produksi sampah. 

Di sekolah kami, SDI Muku Jawa di Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur yang memiliki 288 peserta didik, memang tidak ada perhitungan pasti jumlah sampah plastik. Namun, perkiraan kasar saya, bisa mencapai 30 kilogram setiap bulan. 

Di Manggarai Timur terdapat 330 SD, swasta dan negeri. Bayangkan jika setiap sekolah itu menghasilkan 30 kilogram sampah setiap bulan, maka totalnya adalah 9,9 ton. Itu baru dari SD, belum dari TK/PAUD, SMP dan SMA/SMK.

Peserta didik bersama salah seorang guru di SDI Muku Jawa sedang memungut sampah plastik. (Foto: Aleksius Frederikus Jumpar)

Sampah Plastik di Sekolah dan Kemandirian Pangan

Banyaknya sampah plastik di sekolah, yang umumnya bekas kemasan jajanan sebetulnya ada hubungannya dengan kemandirian pangan kita yang perlahan melemah.

Hubungannya kira-kira seperti apa?

Saya mulai dengan kenangan saat mengenyam pendidikan SD di kampung saya Golo Mongkok di Kabupaten Manggarai Timur pada awal milenium kedua. Salah satu pengalaman terindah pada masa-masa itu adalah membawa bekal ke sekolah. Biasanya ubi jalar dan singkong, kadang juga jagung rebus.

Orang-orang kota menyebut makanan tradisional seperti itu sebagai pangan lokal. 

Kemasannya tidak menggunakan plastik, tetapi anyaman yang terbuat dari daun pandan. Luni, demikian Orang di Manggarai Timur menyebut anyaman berbentuk tas itu.

Sayangnya, semakin ke sini praktik baik semacam itu sudah sirna. Anak-anak di kelas kami sudah tidak mau lagi membawa ubi atau jagung rebus ke sekolah.

Mengapa ini bisa terjadi? Tentu bukan karena tidak ada lagi pangan lokal itu di kebun-kebun kita. Tetapi tampaknya karena muncul anggapan atau cap kolot bagi mereka yang membawa makanan lokal semacam itu ke dalam kelas. Itu sudah dianggap bukan zamannya lagi.

Yang dipilih sekarang adalah membawa uang jajan, lalu membeli makanan-makanan ringan hasil produksi dari kota-kota yang telah masuk sampai ke wilayah pelosok.

Entah disadari atau tidak, praktik jajan di sekolah itu ikut membuat ancaman terhadap lingkungan menjadi semakin besar. 

Semangat Merdeka Belajar

Apakah hal ini dibiarkan atau kita perlu bergerak bersama mengatasinya?

Dalam Program Merdeka Belajar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi saat ini ada konsep Profil Pelajar Pancasila, dengan inovasi yang sangat menarik lewat Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Salah satu tema P5 adalah mengusung keberlanjutan lingkungan hidup, yang lebih dikenal dengan tema Gaya Hidup Berkelanjutan.

Bagi saya, gaya hidup berkelanjutan semestinya tidak semata hanya lewat aksi memanfaatkan lahan tidur di sekolah, misalnya. Tidak. Lembaga pendidikan perlu melakukan inovasi lain dalam rangka keberlanjutan lingkungan hidup itu.

Dan, satu hal yang menurut saya  penting dan mendesak adalah mewujudkan sekolah bebas plastik.

Di Kabupaten Manggarai Timur, daerah dengan jumlah sekolah penggerak sebanyak 57 di Provinsi Nusa Tenggara Timur, wacana sekolah bebas plastik memang belum dipercakapkan dengan serius.

Padahal, berangkat dari uraian di atas, hal ini mendesak untuk dilakukan. Saya mengusulkan beberapa ide berikut untuk mendukung terwujudnya hal ini.

Pertama, mendorong peserta didik untuk membawa bekal dari rumah. Mereka perlu diberi pemahaman mengenai pentingnya membawa bekal, termasuk makanan-makanan lokal. Langkah ini lebih ramah lingkungan, juga lebih menyehatkan.

Untuk mendukungnya, orang tua juga perlu diberi pemahaman pentingnya partisipasi mereka dalam mengontrol gizi anak. Jika menerapkan gaya hidup seperti ini, orang tua sebetulnya tidak dirisaukan dengan jajanan yang mungkin tidak sehat bagi anak mereka saat berada di lingkungan sekolah.

Sekolah juga dapat melibatkan pihak kesehatan untuk memberikan pemahaman kepada orang tua dan peserta didik mengenai gizi. Kolaborasi lintas sektor ini penting.

Kedua, membawa botol minum sendiri. Dalam praktik baik ini anak-anak diarahkan untuk memiliki botol minum sendiri. Bila orang tua keberatan, pihak sekolah dapat mendorong peserta didik untuk cukup mengumpulkan uang. Sekolah yang memfasilitasi membeli botol minum.

Selain akan mengurangi sampah plastik, terutama kemasan air mineral, jika hal ini dipraktikkan saya jamin orang tua tidak dirisaukan dengan kualitas air yang diminum anak mereka selama berada di sekolah.

Saya jadi teringat dengan pengalaman ketika tahun lalu ikut dalam pagelaran Flores Writers Festival di Kabupaten Ende, di mana panitia mengarahkan peserta  membawa botol minum dari rumah. Di tempat kegiatan, panitia cukup menyiapkan air yang siap diisi ke botol-botol peserta.

Cara ini saya pikir akan sangat mungkin untuk diterapkan dalam kegiatan-kegiatan yang menghadirkan banyak orang, termasuk saat ada kegiatan peserta didik atau guru-guru di sekolah, tingkat gugus maupun kecamatan.

Ketiga, membuat prakarya dari bahan plastik. Anak-anak dapat diarahkan untuk mengumpulkan barang-barang bekas, seperti plastik, kemudian difasilitasi untuk membuat berbagai jenis prakarya.

Hasil prakarya dapat dipamerkan di depan orang tua murid. Kegiatannya dapat dilakukan di akhir semester, lewat kegiatan gelar karya untuk internal sekolah.

Apresiasi dari orang tua dan lembaga pendidikan akan meningkatkan kepercayaan diri peserta didik.

Keempat, kampanye progresif di sekolah untuk menghemat penggunaan plastik. Pihak sekolah dapat mengkampanyekan bahaya plastik untuk lingkungan.

Bentuknya adalah dengan menghadirkan pemerhati atau aktivis lingkungan, lewat seminar atau workshop yang memberikan pemahaman dan menanamkan keterampilan bagi peserta didik dalam mengurangi penggunaan plastik dan mendaur ulang bahan-bahan plastik. Alam bawah sadar peserta didik harus dipengaruhi oleh berbagai sudut pandang positif.

Kelima, membiasakan untuk membawa tas saat berbelanja. Salah satu kebiasaan baik yang kini mulai digalakkan di banyak tempat, bahkan ada pemerintah daerah yang membuat aturan khusus, adalah mengurangi plastik saat berbelanja di warung atau toko.

Sekolah bisa meniru praktik seperti ini dengan mengingatkan peserta didik agar membawa tas sendiri ketika berbelanja. Ini salah satu upaya efektif untuk mengurangi plastik.

Bukan Hanya demi Kurikulum

P5 adalah jalan sunyi yang dibangun oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi demi memuliakan lingkungan hidup.

Proyek Gaya Hidup Berkelanjutan tidak boleh hanya dianggap semata untuk memenuhi tuntutan kurikulum. Lebih dari itu adalah untuk perbaikan lingkungan yang makin hari ancamannya semakin nyata.

Penanaman kesadaran, didukung praktik-praktik baik di lingkungan sekolah menjadi tahap penting menumbuhkan kepedulian dalam diri peserta didik terhadap lingkungan.

Ketika kesadaran demikian tumbuh, mereka juga diharapkan bisa mengambil sikap kritis terhadap berbagai bentuk masalah lingkungan makro saat ini. Beberapa diantaranya adalah perusakan hutan yang berdampak pada krisis air dan bencana banjir atau alih fungsi kawasan konservasi demi investasi yang berdampak serius pada hancurnya keanekaragaman hayati.

Kita sama-sama bergerak dari hal-hal kecil di lingkungan sekolah untuk menyelamatkan bumi ini, yang adalah rumah kita bersama.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini