Paskah Amanue dan “Memoria Passionis” Lembata

Baca Juga

Dia menegaskan bahwa ada yang salah dalam manajemen pembangunan, sehingga melahirkan korban-korban yang dibantai di mesbah pembangunan Lewo tanah. Dia tidak sekedar  tampil beda. Dia bukan sedang mencari sensasi dan kemasyuran nama. Dia sedang mengajarkan bangsa Lembata ini untuk melek terhadap mesin penghancur yang sistemik serta sadar akan pelecehan hak-hak asasi manusia Lembata.

Hadirnya Amanue dan keterlibatannya yang aktif dalam berbagai kasus yang menimpah orang-orang kecil di bumi Lembata adalah sebuah keniscayaan bagi seorang aktivis religius untuk penegakan HAM. Demi dan atas nama keadilan, Amanue tak pernah surut selangkah pun dalam perjuangan. Meski dia harus menanggung cibiran, perguncingan, penyingkiran, stigma, non-job dan tak jarang sendirian.

Dia tetap konsisten untuk sebuah perubahan. Itu yang diwariskan! Model pastoral kehadiran seperti inilah yang menegaskan Romo Frans Amanue sebagai religius pejuang HAM yang mewujudkan secara nyata apa arti Gereja yang mengutamakan pembelaan terhadap orang-orang kecil dan tersingkir, preferential option for the excluded people.

Di saat Gereja dituntut untuk berani pergi ke “wilayah-wilayah pinggiran”, Tuan Amanue menjelmakan pesan itu dalam tindakan konkret keberpihakan. Hal itu dilakukan hampir tiga tahun aktif terlibat dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran atas kematian tragis Aloysius Laurens Wadu.

Bagi para korban, kehadiran Amanue ibarat embun yang menyejukan, perisai perlindungan yang aman dan meneguhkan. Kritik tajam dan keberanian menggugat kebohongan disuarakan dengan tegas tanpa tedeng aling-aling. Berani berbeda dalam cara pandang demi kebaikan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini