Paskah Amanue dan “Memoria Passionis” Lembata

Baca Juga

Namun, selalu tersisa ruang untuk mendengarkan gagasan dan pikiran orang lain (orang yang lebih muda) dengan rendah hati. Itulah yang saya dapatkan dari perjuangan bersama selama ini.

Bagi saya, Bapa Tuan Amanue sesungguhnya dengan cerdas mengajarkan kaum religius masa kini untuk ambil bagian aktif dalam tindakan dan suara profetis, karena untuk itulah kita dipanggil. Tuan Amanue telah mengajarkan bagaimana berteologi secara kontekstual, membumi dan mengumat, ketika pelayanan altar membekukan roh kepeduliaan dan keberpihakan demi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.

Keterlibatannya pada masalah-masalah kemanusiaan menjadi gugatan tajam bagi model pastoral konvensional di keuskupan Larantuka dan Indonesia, yang tetap berkiblat hanya pada pelayanan liturgis yang nyaman seputar altar. Adalah gugatan cara berteologi ala Tuan Amanue untuk mengajak kita keluar dari bilik-bilik Gereja dan Biara untuk mendengarkan rintihan dan jeritan suara Tuhan dalam wajah-wajah kaum tertindas dan terpinggirkan pada zaman ini. Ingatan akan penderitaan, memoria Passionis (teologi ala J.B. Metz) Lembata mesti mendorong kita untuk terus memperjuangkan Lembata lebih baik di masa depan.

Dalam duka yang menyayat, saya (masyarakat Lembata) hanya dapat berujar “Ama Romo pana peken kame ia, nete lima wutun go sampe hala, bayan tena Ama pana maan sare-sare”. Selamat jalan Bapa Tuan Frans Amanue.

Penulis adalah Koordinator Advokasi JPIC-OFM Indonesia dan Asia Oceania, pernah bekerja sama dengan Romo Frans dalam advokasi sejumlah kasus.

[Tulisan ini telah dipublikasi di Harian Flores Pos, Edisi Rabu, 30 Maret 2016]

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini