Simbiosis Mutualisme: Relasi Ideal Guru dan Murid

Oleh: YULITA HETY SUJAYA

Tulisan ini berawal dari keprihatinan sekaligus kegelisahan penulis akan situasi yang terjadi dalam ranah pendidikan saat ini, khususnya hubungan antara guru dan siswa.

Sebagai seorang guru, tentu saja pengalaman mengajar sekaligus mendidik siswa merupakan pekerjaan pokok, di samping harus mengurus administrasi sebagai tuntutan dari sekolah.

Terlepas dari semuanya itu, tulisan ini bermaksud untuk menggambarkan situasi kekinian dalam dunia pendidikan khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam kaitannya dengan pola interaksi atau hubungan antara guru dan siswa.

Tesis besar dari tulisan ini adalah hubungan antara guru dan siswa harus berbasis pada simbiosis mutualisme (saling menguntungkan).

Realitas Kekinian

Sebagai seorang guru, cukup menarik bagi saya untuk mengkaji sekaligus menalarkan situasi kekinian antara guru dan siswa, baik dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.

Keprihatinan yang paling pertama sekali lahir dari hati penulis adalah ketika menjamurnya perilaku parasit. Sikap ketergantungan yang sangat tinggi, terutama yang ditunjukkan oleh para siswa kepada gurunya merupakan salah satu contoh yang seringkali terjadi dalam dunia pendidikan.

Seorang siswa selalu menganggap gurunya sebagai yang paling benar, mempunyai banyak pengetahuan serta mengetahui semua hal. Anggapan seperti ini tentu saja tidak bisa disalahkan, karena memang sejak lama identitas seorang guru selalu dikonstruksikan seperti itu.

Dalam konteks kebudayaan Manggarai, identitas sebagai guru seringkali disebut “tuang guru”. Istilah tuang di sini menunjukkan orang yang statusnya tinggi dan memiliki pengalaman serta pengetahuan yang banyak.

Anggapan bahwa guru adalah yang paling benar, paling tahu dan (mungkin) paling sempurna, membuat para siswa menggantungkan hidupnya kepada guru. Anggapan seperti ini terus dikonstruksi di tengah ketiadaan sikap kritis yang dibangun oleh para siswa.

Sebagai konsekuensi logisnya, jarang sekali siswa menjadi mandiri, seperti mencari pengetahuan di buku atau di internet. Kalaupun ada siswa yang mandiri, dengan berjuang mencari pengetahuan dari orang lain atau pun dari perpustakaan, jumlahnya pasti sangat sedikit.

Terkontaminasinya sikap dan perilaku mereka yang menganggap gurunya sangat sempurna, membuat hidup mereka terus bergantung pada guru.

Pertanyaannya adalah sampai kapan para siswa harus seperti tu terus?

Jawaban atas pertanyaan di atas sebenarnya bisa ditemukan pada perilaku guru juga. Kehadiran seorang guru dalam ruangan kelas hendaknya tidak memposisikan diri sebagai dewa yang merasa dirinya sempurna.

Seorang guru idealnya hadir untuk merangsang para siswa, membuka jendela pemikiran mereka untuk bersama-sama saling belajar, berdiskusi dan berdialog. Ruangan kelas pertama-tama tidak dimaknai sebagai bangunan fisik saja, tetapi ruang sosial, ruang publik, tempat dimana terjadi pertarungan ide dan gagasan antara guru dan siswa.

Oleh karena itu, jika ruangan kelas merupakan ruang publik, maka nilai keadilan menjadi hal yang paling ditonjolkan. Seorang guru tidak boleh memonopoli atau menguasai seluruh ruang tersebut dengan berbagai macam retorika, tetapi juga memberikan kesempatan kepada para siswa untuk berbicara.

Simbiosis Mutualisme

Penulis di sini melukiskan hubungan antara guru dan siswa yang ideal adalah hubungan yang berbasis pada simbiosis mutualisme.

Mengapa demikian? Hal ini lebih didasarkan pada filosofi dasar dari hubungan tersebut yaitu saling menguntungkan. Baik guru maupun siswa sama-sama mendapatkan keuntungan dari setiap pola interaksi, baik yang terjadi di dalam kelas maupun di luar kelas.

Baik guru maupun siswa tidak ada yang menyebut diri sebagai benalu, dimana kehidupannya sangat bergantung pada kehidupan orang lain.

Logika dari tumbuhan benalu itu sangat jelas. Ketika tumbuhan yang menjadi tempat parasitnya mati, maka ia pun ikut mati. Hal yang sama pun juga terjadi pada guru dan siswa. Ketika hidup seorang siswa terus bergantung pada gurunya, tidak ada kreativitas dan daya inovatif serta kemauan untuk mencari ilmu, maka kecelakaan besar akan terjadi.

Sebaliknya juga, hal yang sama akan terjadi pada guru. Jika seorang guru tidak kreatif dan inovatif, maka niscaya akan sulit baginya untuk bertransformasi menjadi seorang guru yang profesional.

Oleh karena itu, baik guru maupun siswa harus menjalin suatu hubungan yang sama-sama saling menguntungkan.

Guru dan murid harus sama-sama ditempatkan sebagai subyek dalam pendidikan melalui sikap partisipasi aktif, bukan justru bersikap pasif.

Guru dan siswa harus sama-sama membangun sikap kritis untuk mewujudkan pendidikan yang humanis.

Penulis adalah guru Mata Pelajaran Sejarah di SMAK Setia Bakti Ruteng

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA