Oleh: Gregorius Duli Langobelen
Ketika membuat tulisan ini, Gereja Katolik Indonesia, khususnya di wilayah Nusa Tenggara, tengah berduka karena berita ”kepergian” Mgr. Petrus Turang, Uskup Emeritus Keuskupan Agung Kupang. Atensi berbagai pihak terhadap duka Gereja ini begitu besar. Bahkan, Presiden Prabowo Subianto ikut melayat ke Gereja Katedral Jakarta, tempat persemayaman jenazah uskup itu.
Di tengah situasi demikian, saya coba merenungkan kembali apa arti duka bagi Gereja? Apakah atensi yang besar bagi Gereja hanya akan terjadi ketika berduka berarti kehilangan seorang pelayan tertahbis atau klerus?
Saya kira tidak sekadar demikian. Sudah seharusnya atensi yang sama diarahkan juga pada peristiwa duka lain selain kematian jasmani seorang klerus, yaitu ketika Gereja entah sebagai Institusi maupun sebagai kelompok umat peziarah abai atau bahkan terlibat dalam tindakan-tindakan yang ditandai miopia moral.
Miopia moral adalah penurunan kualitas melihat dan mengidentifikasi ”yang lain” (liyan) sebagai sesama yang harusnya ”dekat” dan menjadi bagian dari kehidupannya, yang kepadanya seorang atau sekelompok orang mesti bertanggung jawab secara etis.
Akumulasi dampak miopia moral adalah ancaman terhadap keadilan karena makin suramnya kepedulian, abu-abunya kepekaan, dan terutama pudarnya keberpihakan, khususnya bagi kelompok-kelompok rentan, terpinggirkan dan menderita.
Bagaikan mata yang hanya mampu melihat dekat dan menjadi rabun kalau harus melihat jauh, mata batin orang atau kelompok yang mengidap miopia moral juga tak terbiasa memedulikan perilakunya pada orang-orang yang ”jauh” (Bdk. Alois A. Nugroho, 2016:152).
Dalam tulisan ini saya menggunakan istilah miopia moral untuk menganalisis sikap Gereja dalam konflik agraria di Nangahale, Kabupaten Sikka. Konflik itu melibatkan PT Krisrama, korporasi milik Keuskupan Maumere berhadapan dengan masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai.
Saya melihat, penggunaan hukum positif sebagai asas tunggal yang dipakai Gereja dalam konflik ini sebagai bagian dari miopia moral, yang justru memperkeruh peluang terwujudnya keadilan dan meminggirkan semakin ”jauh” posisi warga.
Lebih dari itu, saya mengkritisi sejauh mana Gereja melalui PT Krisrama hadir sebagai orang dekatnya komunitas warga (umat) di Nangahale.
Jika ketidakberpihakannya pada kelompok rentan semakin besar ditandai oleh praktik-praktik miopia moral, maka semakin mungkin duka Gereja terus bertambah.
Jika hal itu terus memburuk, upaya memulihkannya tentu butuh atensi yang besar juga dari semua pihak.
Melihat Hukum Bekerja: yang Politis dan yang Elitis
Tak dapat dihindari, dengan eufemisme seperti apapun, langkah yang dipegang teguh PT Krisrama dan pejabat lain terkait, apalagi ketika dengan kasarnya menggusur atau membiarkan penggusuran ruang hidup warga di Nangahale lebih-lebih tanpa perintah/keputusan pengadilan, adalah langkah yang semata menggunakan hukum positif murni.
Artinya pihak PT Krisrama tengah mengandalkan logika positivisme hukum belaka, serentak mengabaikan hukum moral. Ini amat disayangkan, sebab logika positivisme yang berlebihan dalam hukum merupakan bentuk anti-kemanusiaan.
Manusia dalam positivisme yang demikian bisa dianggap sama dengan batu, kayu, atau benda mati lainnya. Manusia akhirnya hadir hanya demi hukum, bukan hukum demi manusia. Prinsip ini tentu saja bertentangan dengan jati diri Gereja sebagai institusi iman, harapan dan kasih.
Tidak heran, jika dalam menanggapi kasus di Nangahale, ada pimpinan Gereja yang dengan enteng menggunakan terminologi “pembersihan” untuk aktivitas “penggusuran.” Lebih jahat lagi, ada yang menyebut “sampah” bagi manusia dan bangunan yang “digusur.”
Di balik penggunaan terminologi demikian, dapat dibaca juga bahwa dengan memilih kata-kata eufemis seperti ”pembersihan”, tetapi tetap saja esensinya adalah subversif.
Gereja yang diwakili pemukanya tengah memanipulasi, bahkan membungkam peluang warga yang adalah umatnya sendiri untuk tidak boleh berpikir lebih kritis, apalagi sampai mengoreksi sistem yang ada.
Gereja pun menjadi semakin elitis dan peran profetisnya tak lagi berbeda dengan siasat licik-politis.
Penggunaan logika positivisme hukum itu sangat terang seperti yang dipaparkan Davianus Hartoni Edy dalam tulisan berjudul Klasifikasi Hukum atas Kasus Tanah Nangahale yang dimuat Floresa pada 3 April. Tulisan itu juga makin mengafirmasi posisi Gereja yang elitis dan politis itu.
Meskipun dalam tulisannya Davianus mengaku bukan mewakili pendapat tim kuasa hukum PT Krisrama, tetapi dari judulnya tentu beliau ingin ”membela” dan membenarkan langkah korporasi ini.
Terkait hal tersebut, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan sehingga publik bisa lebih teliti melihat bagaimana de facto hukum bekerja.
Dalam tulisannya, Edy ingin menjuarakan peran hukum positif, tapi pada saat yang sama mengeliminasi signifikansi peran hukum moral.
Penjelasan tentang cara kerja hukum sepertinya tidak datang dari penguasaan akan hal-hal dasar tentang hukum sendiri. Kutipan tentang pemikiran Thomas Aquinas dan Hans Kelsen dalam tulisannya rupanya dipakai dari kekurangpahaman substansi pemikiran kedua tokoh tersebut.
Kecurigaan lain adalah Edy mungkin paham, tapi untuk tujuan tertentu, jangan-jangan hanya ingin mengaburkannya? Ini fatal. Kebiasaan mengutip tanpa mengetahui keutuhan pemikiran orang yang dikutip bisa merusak banyak hal.
Dengan mengatasnamakan Thomas Aquinas, Edy menyatakan bahwa ”dalam hukum positif sudah terkandung nilai-nilai moral, etis dan iman serta kesepakatan, sehingga adalah tidak berdasar jika hukum positif diposisikan sebagai perenggut kebebasan dan hak hidup masyarakat.”
Pernyataan ini bisa menyesatkan publik. Sebab, Aquinas tidak menyamakan begitu saja hukum positif dengan hukum moral, seakan-akan penggunaan hukum positif sudah berarti pada saat yang sama (hic et nunc) ada/hadir legitimasi moral.
Meski keduanya tidak boleh dipisahkan, hukum positif justru tetap berbeda dengan hukum moral.
Aquinas menegaskan bahwa hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh penguasa manusia dan hanya menjadi sah kalau mendapat legitimasi hukum moral (yang selaras dengan hukum alam, yang pada gilirannya berhubungan dengan hukum ilahi).
Sebaliknya, jika hukum positif bertentangan dengan hukum moral, maka tentu saja itu tidak dapat diterima. Telah jadi rahasia umum bahwa, mengutip Lord Acton, “kekuasaan cenderung korup.”
Dengan demikian, jika Edy menganggap produk kekuasan dalam ”hukum positif sudah terkandung nilai-nilai moral, etis dan iman serta kesepakatan,” maka itu adalah kesimpulan yang gegabah dan bermasalah.
Lalu bagaimana de facto hukum bekerja mewujudkan keadilan? Jawabannya adalah dengan tidak mengandalkan atau menjuarakan hukum positif semata. Artinya, keadilan yang sejati hanya mungkin diwujudkan sejauh hukum positif tidak mengabaikan atau menegasi hukum moral.
Dengan kata lain, selalu ada ruang yang lapang untuk mengoreksi bahkan menentang sebuah produk hukum positif, apalagi jika hukum tersebut tidak mencerminkan kebaikan atau tujuan moral yang lebih tinggi (Bdk. Haryatmoko, 2014:207).
Tulisan Edy justru dengan entengnya menganggap hukum positif yang dipakai sudah selalu mewakili kehadiran hukum moral. Itu sesat. Edy tengah menganggap adil sama dengan legal.
Prinsip seperti ini sangat berbahaya dan cenderung korup karena menganggap keadilan menjadi suatu yang semata-mata formal: bentuk yang kehilangan isi, ”persis dengan pengalaman orang-orang munafik semacam para Farisi yang melihat religiusitas hanya sebagai ketelitian menjalankan segala perintah dalam agama tanpa peduli lagi dengan motivasi pribadi atau tanggung jawab etis yang menggerakkan tindakan tersebut” (Bdk. Ignas Kleden, 2004:165).
Dengan demikian, jika Gereja melalui PT Krisrama tetap berpegang teguh pada prinsip legalistik dan secara tunggal melegitimasi perbuatannya––penggusuran ruang hidup warga, pengabaian realitas penderitaan, pengancaman dari mimbar dengan kata-kata kutukan, pemenjaraan, penelantaran suara kelompok rentan, pengabaian sejarah warga yang lebih utuh jauh sebelum kolonialisme––menggunakan hukum positif semata, maka Gereja justru semakin menganggap warga/umatnya sebagai kelompok yang ”jauh,” bukan ”orang dekat” sebagaimana seorang penderita miopia melihat kenyataan.
Lalu, bagaimana kutipan Edy tentang Hans Kelsen? Langkah Edy mengutip Thomas Aquinas lalu seakan dibenarkan dengan mengutip Han Kelsen adalah langkah kontradiktif.
Sebab, dalam The Pure Theory of Law, Hans Kelsen justru ingin menerapkan prinsip hukum murni yang bahkan tidak mau bergantung pada moralitas, politik, atau nilai-nilai sosial lainnya. Artinya validitas hukum bagi Kelsen hanya berdasarkan prosedur, bukan legitimasi moral.
Inilah kelemahan dari teori Kelsen yang terlalu mengutamakan validitas formal (prosedural) daripada keadilan substantif dalam penerapan hukum.
Jelas bahwa dalam beberapa bahkan banyak kasus, undang-undang sebagai produk hukum yang sah secara prosedural bisa saja tidak adil atau bahkan tidak bermoral karena proseduralnya seringkali merupakan hasil rekayasa kekuasaan.
Berikutnya, jika Edy lebih jauh lagi mau menggunakan prinsip equality before the law, harusnya tidak hanya mengerti terjemahannya , tapi terutama sampai pada inti konsepnya, yaitu bukan soal semua setara di hadapan hukum atau tidak, tapi apakah semua orang memiliki akses yang sama terhadap (penegakan) hukum?
Dalam kasus di Nangahale, komunitas warga sebagai korban sudah lemah secara struktural (umat terhadap Gereja atau petani terhadap korporasi). Karena itu, tidak bisa dielak bahwa dibanding komunitas warga Nangahale, Gereja melalui PT Krisrama tentu punya privilese berbeda di hadapan (penegakan) hukum.
Apalagi, Gereja sebagai lembaga agama selalu bisa memiliki sejumlah kekuasaan dalam dirinya dan seringkali terdapat suatu proses sosial dimana kekuasaan agama diperluas menjadi kekuasaan dunia.
Jelas, sejak awal tak ada kesetaraan di situ.
Duka di Nangahale adalah Duka Gereja: Dari Karitas ke Solidaritas
Tentu saja duka di Nangahale adalah duka bagi Gereja. Kesedihan, suara tangisan, dan air mata penderitaan komunitas warga di Nangahale setelah digusur, dipenjarakan dan hingga hari ini belum didengarkan secara sungguh apalagi diakui “status” mereka adalah simbol kematian nurani Gereja.
Dalam Gaudium et Spes atau Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini jelas tertulis “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia zaman ini, khususnya mereka yang miskin atau menderita, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para pengikut Kristus (GS art. 1).”
Namun, jika Gereja lokal kita sulit untuk rendah hati dan mengakui bahwa duka di Nangahale adalah duka Gereja dan menerima bahwa ada langkah yang masih keliru dan abai pada hakikat profetis dan kenabian Gereja, maka coba bercermin pada Paus Fransiskus.
Pada peringatan 100 tahun Surat Apostolik Maximum Illud-yang membahas tentang pentingnya misi Katolik di seluruh dunia dan tugas Gereja untuk mewartakan Injil-paus misalnya mengakui bahwa memang benar dalam satu dan lain cara Gereja adalah agen kolonialisme, suatu praktik yang tentu saja tidak memedulikan pertimbangan moral.
Dalam Anjuran Apostoli, Querida Amazonia (Amazonia Tercinta) yang ditulis pada 2020 menanggapi Sinode Para Uskup untuk wilayah Pan-Amazon, Paus Fransiskus bahkan secara gamblang menulis: “… karena kita tidak bisa menyangkal bahwa biji gandum bercampur dengan ilalang dan bahwa para misionaris tidak selalu berada di samping orang-orang tertindas, maka saya mengungkapkan rasa malu saya dan sekali lagi dengan rendah hati saya minta maaf, tidak hanya untuk pelanggaran-pelanggaran Gereja sendiri, tetapi juga untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan melawan para penduduk asli ….” (QA 19).
Ia melanjutkan bahwa: “Kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa anggota-anggota Gereja pernah menjadi bagian jejaring korupsi, kadang-kadang bahkan sampai mengambil sikap diam sebagai pertukaran atas bantuan ekonomi bagi karya-karya Gereja” (QA 25).
Oleh karena itu, perlu ada retrospeksi yang serius dan radikal, bukan hanya kepada semua pihak yang terlibat, tapi terutama bagi Gereja sendiri sebagai institusi.
Kita mungkin saja seringkali gagap, lebih sensitif, reaktif secara emosional dan karenanya sulit kritis, karena yang terlibat dalam ketimpangan ini adalah Gereja, pemuka agama, pemerintah, dan orang-orang dekat yang sebelumnya kita sanjung dan hormati. Tapi, bukan berarti ada pembiaran atau pembungkaman di sana. Itulah harga yang harus dibayar.
Harus ada langkah yang lebih konkrit dari Gereja yang melampaui khotbah di mimbar, melampaui legalisme hukum positif. Gereja mesti bergerak dari karitas menuju solidaritas.
Karitas adalah perhatian kepada kelompok yang lemah kedudukan sosial-ekonominya, tapi belum ada komitmen untuk mengubah struktur penyebab ketimpangan tersebut. Sedangkan solidaritas adalah rasa kewajiban dan kesadaran moral yang timbul untuk peduli dan berpihak pada yang lemah dan menderita (Bdk. Ignas Kleden: 2001).
Lebih dari itu, solidaritas adalah keyakinan bahwa ketimpangan dan berbagai masalah yang terjadi dari masa lampau hingga hari ini adalah akibat negatif dari sistem tertentu yang telah berlangsung sekian lama, sehingga satu-satunya jalan untuk mencapai keadilan sejati adalah harus ada keberanian dan upaya kritis terus menerus untuk melakukan perubahan radikal pada struktur atau sistem yang ada, sambil tetap melibatkan legitimasi moral di dalamnya.
Akhirnya, Gereja mesti mampu hadir kembali dengan jalan solidaritas profetis dan kenabiannya, menebus kekeliruannya dengan berdiri paling depan mendengarkan dan mengadvokasi umatnya, serta lebih rendah hati dan terus berpihak pada komunitas warga Nangahale.
Gereja bisa mengupayakan perubahan sambil tetap mengutamakan aspirasi atau tuntutan warga terhadap status dan kepemilikan tanah.
Ini akan jadi langkah progresif dalam penyelesaian masalah agraria di Sikka, serentak menjadi preseden baik, bukan hanya bagi wilayah Nusa Tenggara, tapi juga bagi negara ini.
Gregorius Duli Langobelen adalah Direktur Eksekutif Tena Pulo Research, Pengajar Filsafat dan Etika
Editor: Ryan Dagur