Oleh: Ryan Dagur
Ada cukup banyak komentar yang mengganggu dalam pembicaraan soal konflik lahan di Nangahale antara korporasi milik Gereja Katolik dengan masyarakat adat.
Komentar-komentar itu melarang mengaitkan tindakan PT Krisrama, perusahaan milik Keuskupan Maumere, dengan cara-cara penyelesaian konflik yang seharusnya bersandar pada nilai-nilai kristiani dan kemanusiaan.
Saya menemukan beberapa komentar itu di media sosial, juga dalam diskusi di forum-forum seperti Grup WhatsApp.
Beberapa di antaranya adalah: Jangan pakai hukum cinta kasih untuk membenarkan pelanggaran hukum; Ini tidak ada hubungannya dengan cinta kasih. Yang salah ya salah; Kalau hal seperti ini dibiarkan, ini sama dengan kita membela kejahatan dengan ajaran cinta kasih.
Asumsi dari komentar semacam itu adalah warga Nangahale merupakan pelanggar hukum. Karena itu, langkah PT Krisrama yang menggusur lahan dan tanaman mereka adalah dalam rangka penegakan hukum.
Pemenjaraan terhadap delapan warga adat yang merusak plang PT itu pada pertengahan bulan lalu juga konsekuensi yang mesti diterima.
Karena itu, warga Nangahale tidak perlu dan tidak boleh dibela. Mereka memang bersalah.
Mengapa komentar-komentar seperti itu bermasalah? Saya memberikan beberapa alasan berikut, yang salah satunya melihat komentar-komentar itu justru memperlemah dan merusak Gereja Katolik.
Pertama, tentu saja dalam konflik itu Gereja Katolik telah mendapat kekuatan legal-formal karena mengantongi sertifikat Hak Guna Usaha untuk lahan seluas 325 hektare.
Namun, ada catatan penting untuk hal ini. Bagi warga Nangahale, mereka meyakini bahwa tanah itu adalah milik mereka sebelum beberapa dekade lalu diambil alih Belanda, lalu beralih ke penguasaan oleh Gereja Katolik.
Hal itulah yang kemudian mendasari tindakan mereka mendudukinya sejak 2013 ketika HGU sebelumnya selama 25 tahun berakhir.
Apakah kemudian mereka salah hanya karena PT Krisrama telah mengantongi HGU? Persoalannya tidak sesederhana itu. Apalagi, sejumlah kajian historis membenarkan keberadaan masyarakat adat di lahan itu sebelum kemudian mereka diusir pergi.
Konflik seperti Nangahale, di mana masyarakat adat melakukan pengklaiman kembali atau reclaiming terhadap tanah bekas HGU bukan persoalan tunggal di Indonesia. Banyak dari tanah-tanah adat ini yang telah sekian lama diambil alih dari masyarakat adat kemudian dikembalikan melalui skema reforma agraria.
Dalam kaitan dengan ini, memang masih butuh pengakuan legal-formal bagi masyarakat adat, salah satunya lewat upaya perjuangan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang sudah diusulkan lebih dari satu dekade lalu oleh berbagai kelompok advokasi.
Apa yang dilakukan oleh warga Nangahale dapat dibaca sebagai bagian dari upaya reclaiming dengan aspirasi keadilan agraria. Apalagi basis klaim mereka semakin kuat, sebab memiliki sejarah atas tanah tersebut.
Jadi, klaim legal-formal Gereja Katolik bisa diperdebatkan, jika disandingkan dengan alasan warga adat yang berbasis pada keyakinan historis, kultural dan religi mereka – seperti masih berlangsungnya ritus-ritus adat di lahan itu.
Kedua, ada masalah serius ketika melarang mengaitkan tindakan perusahaan ini dan para petingginya dengan Gereja Katolik.
Selain karena de facto PT Krisrama adalah memang milik institusi Gereja dan dipimpin oleh orang-orang yang berada di dalam hierarki, ada hal yang lebih mendasar: status demikian membuat perusahaan itu telah mendapat berbagai privilese.
Dalam polemik ini, status sebagai perusahaan milik Gereja Katolik telah membuat PT Krisrama mendapat beragam perlakuan istimewa dari berbagai pihak, termasuk dari aparat penegak hukum.
Untuk lebih jelasnya, saya menderetkan beberapa dari sekian banyak privilese itu.
Tentu saja, PT Krisrama tidak bisa dengan mudah mendapat izin konsesi perpanjangan HGU di tengah penentangan dari masyarakat adat jika dia bukan perusahaan milik Gereja.
Jalan tol bagi pengurusan izin HGU itu, termasuk kemudahan bertemu dengan pejabat-pejabat pemerintah, tidak akan mudah jika yang mengajukannya bukan korporasi milik Gereja. Apalagi, jika yang memperjuangkan haknya adalah masyarakat adat.
Privilese itu juga termasuk mendapat perlakuan istimewa dari aparat penegak hukum ketika PT Krisrama melaporkan delapan warga yang merusak plang. Kasus ini diproses mulus hingga delapan warga adat kini dipenjara, dua diantaranya perempuan.
Di sini indikasi privilese yang dinikmati PT Krisrama amat jelas. Laporan warga terhadap aksi PT Krisrama yang merusak tanaman dan rumah mereka tidak pernah diproses kendati telah berulang kali dibawa ke hadapan aparat penegak hukum.
Ambil contoh lain soal privilese terkait akses PT itu menggerakkan umat Katolik membela kepentingannya. Salah satunya ketika pada 16 Maret muncul pengumuman di gereja-gereja di Keuskupan Maumere mengajak umat untuk menanam kelapa di lahan itu. Mimbar gereja dipakai untuk kepentingan perusahaan. Aksi itu memang kemudian batal karena polisi melarangnya dan masyarakat adat protes, sembari berjaga-jaga di lahan pada hari itu.
Sampai di sini, jelas bahwa PT Krisrama mendapat sekian banyak privilese karena statusnya sebagai korporasi milik Gereja Katolik. Sayangnya, publik dilarang untuk mempertanyakan tindakannya yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini diajarkan oleh Gereja Katolik sendiri.
Ketiga, komentar-komentar yang mengesampingkan status PT Krisrama sebagai lembaga milik Gereja adalah upaya pelemahan terhadap gereja sendiri.
Mengapa demikian? Sekali lagi, jelas bahwa statusnya sebagai milik Gereja yang memberinya jalan untuk mendapat berbagai privilese.
Karena itu, ada harapan sebenarnya bahwa dengan status sebagai milik Gereja, maka PT Krisrama berlaku sebagai korporasi milik Gereja, yang berbeda dengan korporasi lain milik pengusaha, politisi, dan lain-lain.
Dengan status itu, PT itu misalnya diharapkan tidak hanya melakukan pendekatan berbasis legal-formal, tetapi juga memberi tempat pada pola penanganan masalah yang lain, yang berbasis pada nilai kristiani dan kemanusiaan.
Apa yang kemudian membedakan Gereja dengan lembaga lainnya ketika cara kerja yang berlandaskan pada nilai-nilai kristiani dan kemanusiaan itu dianggap tidak relevan? Apa yang membedakan PT ini ketika demi klaim menegakkan hukum tega menyeret delapan warga ke penjara dan kini sedang berusaha menyeret lagi belasan warga lainnya dengan pelaporan baru ke Polda NTT?
Keempat, kasus di Nangahale adalah gambaran kecil dari privilese yang didapat Gereja Katolik secara luas, khususnya di Flores yang mayoritas umatnya tercatat sebagai Katolik.
Hal ini memberi gambaran bahwa dalam konflik ini Gereja Katolik adalah bagian dari penguasa. Bahkan, kuasanya bisa jadi lebih besar dari pemerintah, berkat kuasa lain yang diandaikan melekat padanya; kuasa spiritual.
Pengakuan adanya kuasa spiritual membuat orang-orang di dalam institusi Gereja – juga tentu saja dalam institusi agama lainnya – diandaikan dekat dengan Tuhan Allah. Hal itu kemudian berdampak juga pada keengganan untuk membicarakan masalah yang mereka lakukan, karena takut dikutuk atau merusakan nama baik lembaga.
Karena kuatnya kuasa ini muncul pula privilese dalam bentuk lain. Orang-orang Gereja tidak pernah atau akan susah diseret ke pengadilan sipil ketika terlibat dalam kasus-kasus penyelewengan. Ada banyak contoh soal ini, seperti skandal-skandal yang akhir-akhir ini terungkap di dalam institusi gereja. Kasus-kasus itu umumnya diselesaikan secara internal.
Privilese itu juga bahkan muncul pada keengganan umat untuk bertanya, mencari tahu kebenaran. Umat menerima begitu saja, membenamkan rasa penasaran untuk tahu persis apa yang terjadi.
Apa yang saya mau katakan dengan poin ini?
Dalam kasus Nangahale, ada problem relasi kuasa antara institusi besar bernama Gereja Katolik yang memiliki begitu banyak privilese berhadapan dengan masyarakat adat yang rentan.
Saya mengakhiri artikel ini dengan catatan bahwa mempertentangkan tindakan PT Krisrama itu dengan apa yang diajarkan Gereja Katolik sudah seharusnya.
Hal itu tidak lain adalah demi menyelamatkan Gereja sendiri, agar ia tidak menjadi rusak hanya karena ulah institusi dan segelintir orang di dalamnya.
Bisa jadi tindakan ugal-ugalan yang kita saksikan hari-hari ini, tidak hanya di Nangahale tapi juga dalam kasus-kasus lainnya, adalah adalah dampak dari kesalahan kolektif kita yang mungkin tanpa sadar mengandaikan begitu saja bahwa apapun yang dilakukan oleh mereka yang bernaung di bawah institusi Gereja Katolik sudah pasti benar dan baik. Mungkin juga karena kita terlalu takut dianggap membenci Gereja atau dikutuk ketika memberi kritik.
Ini memang salah satu dampak dari klerikalisme yang telah berakar kuat, hal yang berulang kali diingatkan Paus Fransiskus sebagai salah satu masalah krusial dalam Gereja.
Mungkin perlu menghidupi kesadaran bahwa institusi seperti ini diisi oleh pribadi-pribadi yang ketika diberi kuasa, bisa lupa menggunakannya dengan sebaik-baiknya, selaras dengan apa yang selalu dikhotbahkan dari mimbar.
Ada banyak contoh kasus lain yang jadi preseden untuk hal-hal macam ini. Salah satunya yang kini makin sering dibicarakan misalnya kekerasan seksual di dalam institusi gereja yang pelakunya juga orang-orang gereja.
Karena itu, sudah saatnya untuk juga segera sadar bahwa memang naif ketika masih bertanya-tanya, kok, bisa setega itu pastor-pastor menyeret umat sendiri ke penjara? Kok, bisa setega itu membiarkan umat tinggal di tenda-tenda setelah rumah mereka digusur?
Menganggap pertanyaan semacam itu sebagai naif merupakan jalan untuk melakukan reformasi dari dalam agar Gereja Katolik tetap menjadi rumah yang nyaman untuk semua, terutama mereka yang kecil.
Ketika di Eropa gereja-gereja terus kosong dan para misionaris-banyak di antaranya dari Flores-terus dikirim ke daerah misi untuk ‘menjala manusia,’ saatnya di kampung sendiri ‘kawanan domba’ perlu dijaga, agar tidak tercerai berai.
Ryan Dagur adalah editor Floresa.co
Editor: Anno Susabun