Pendapat Sejumlah Advokat Asal Manggarai Terkait Polemik Pantai Pede

Floresa.co – Polemik terkait kerja sama antara Pemerintah Provinsi NTT dan PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) untuk membangun hotel dan fasilitas lainnya di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat masih terus berlangsung.

Beragam padangan masyarakat soal rencana itu. Sejumlah pihak setuju dengan alasan tanah Pantai Pede adalah milik provinsi NTT, karena itu berhak menyerahkan pengelolaannya kepada siapa saja.

Tetapi tidak sedikit yang kontra dengan rencana ini. Mulai dari mempersoalakan klaim kepemilikan tanah Pantai Pede oleh pemerintah provinsi hingga yang tak kalah penting adalah soal akeses publik untuk menikamti pantai tersebut sebagai tempat rekreasi yang murah meriah.

Sejumlah advokat asal Manggarai raya pun urun rembuk membicara masalah ini. Berikut adalah rangkuman pandangan mereka yang diperolah Floresa.co dari forum diskusi grup Whatsapp Lonto Leok dan media. Kecuali pendapat Edi Danggur – karena sebelumnya sudah menjadi konsumsi publik umum – Floresa.co sudah meminta izin para advokat terkait padangannya soal Pantai Pede di gurup diskusi WhatsApp Lonto Leok.

Edi Danggur

Edi Danggur adalah seorang advokat kelahiran Manggarai. Ia juga menjadi dosen di sebuah universitas di Jakarta.

Edi Danggur
Edi Danggur

Menurut Edi Danggur tanah Pantai Pede sudah bersertifikat atas nama Provinsi NTT. Sertifikat itu diterbitkan tahun 1989 dan 1994. Karena sudah bersertifikat, maka ada hak privat Pemerintah Provinsi NTT yang harus dihargai.

Pendapat Edi Danggur antara lain terungkap dalam opininya di Flores Pos pada 28 April 2016 dan dalam pesan WhatsApp-nya ke Usukup Ruteng yang kemudian tersebar ke masyarakat.

Menurut Edi “dalam hukum berlaku prinsip: siapa pun yang memegang sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah, maka ia harus dianggap pihak yang benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya,”tulisnya dalam opini di harian Flores Pos 28 April 2016.

Terkait UU No 8 tahun 2003 yang dalam salah satu pasalnya menyebutkan aset provinsi yang ada di Manggarai Barat harus diserahkan ke Manggarai Barat, menurut Edi, “seharusnya membaca dan memahami UU No.8 Tahun 2003 bukan seperti membaca mantra-mantra dukun. Atau, bukan seperti melantunkan doa-doa litania yang jawabannya sekedar berulang-ulang. Bukan pula sekedar uji kuat menghafal pasal-pasal seperti anak-anak SD mengafal kali, bagi, tambah, kurang”.

“Tetapi, bagaimana menafsirkan sebuah UU dalam konteks hukum sebagai sebuah sistem (bisa baca pandangan Lawrence M. Fiedman: law as a legal system atau pandangan Margaret L. Barron: law does not work in a vacuum – hukum tidak beroperasi di ruang hampa). Mempelajari hukum dalam konteks sebagai sistem hukum itulah maka untuk menjadi SH butuh waktu 4-5 tahun”.

Terkait amanat UU No 8 tahun 2003 ini, Bupati pertama Manggarai Barat Fidelis Pranda sudah pernah menyurati Gubernur NTT untuk segera menyerahkan aset Pantai Pede ke Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.

Menrut Edi Danggur, Gubernur NTT sudah menyampaikan jawabannya atas surat itu.

“Dalam surat jawaban Gubernur NTT ke Pemkab Mabar, jelas sekali Gubernur mengingatkan agar jangan pahami UU No.8 Tahun 2003 itu secara berdiri sendiri. Permintaan penyerahan asset Pantai Pede itu harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yaitu UU tentang Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Pertanahan serta PP tentang Hak Pakai dan PP tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Hal itu juga ditegaskan dalam UU No.8 Tahun 2003 yang menyatakan penyerahan aset itu dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,”tulis Edi.

Agustinus Dawarja

Agustinus Dawarja atau yang kerap disapa Gusti Dawarja adalah advokat kelahiran Manggarai Timur. Di Jakarta, ia memiliki kantor hukum bernama LexRegis.

Gusti Dawarja
Gusti Dawarja

Gusti Dawarja pertama-tama melihat Pantai Pede sebagai pantai umum yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk bermain,tempat memperkenalkan laut ke masyarakat, misalnya untuk latihan renang, diving dan snorkeling.

“Membangun budaya melaut dari sekolah bisa dimulai dari Pede. Sebagai fasum (fasilitas umum) dan fasos (fasilitas sosial) akan beda dengan kalau (di) Pede (di)bangun tempat rekreasi. Jangan ikut Ancol (di Jakarta) Pantai Pede,”tulisnya dalam diskusi di forum WhatsApp Lonto Leok.

“Dimana lagi orang miskin dan anak sekolah bisa bermain dan renang? Pantai pede adalah pantai umum, apalagi ketika itu milik pemda. Bangun tradisi pantai umum di Pantai Pede, sesuai dengan UU No 27 tahun 2007, mitra bahari adalah komponen penting dalam pengelolaan pantai umum,”tulisnya.

“Soal perebutan tanah Pantai Pede apakah (Pemrpov) NTT atau (Pemda) Mabar, jika ada yang usulkan gugatan ke pengadilan negeri pasti sebuah kekeliruan”.

Menurutnya, jika memang ada sengketa kepemilikan antara Pemda Manggarai Barat dengan Pemerintah Provinsi NTT terkait Pantai Pede, maka pengadilan yang bisa menyelesaikannya adalah Mahkamah Konstitusi.

“Sengketa antara lembaga negara itu mekanismenya bukan di sana (pengadilan negeri). Pemda lawan pemda itu bukan kewenangan pengadilan negeri”.

Menurutnya, sesuai UUD 45 (hasil amandemen), pemerintah daerah adalah “lemabaga negara”. Karena itu, bila ada perselisihan terkait sengketa kewenangan dalam pengelolaan aset daerah, maka diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi.

“Soal sengketa antara lembaga negara dalam hal ini Pede itu masuk ranah Mahkamah Konstitusi. Soal Pede adalah kewenangan provinsi atau Kabupaten Mabar. Tinggal siapa yang jadi pemohon, Pemda Mabar atau Pemda NTT.”

“Ini sebenarnya soal kewenangan atas aset akibat pemekaran wilayah. Kasus serupa banyak terjadi di daerah lain, misalnya antar provinsi banten dan DKI soal Pulau Seribu. Kasus di Lampung dan Jambi karena pemekaran juga terkait aset. Itu semua soal kewenangan. Biro hukum atau konsultan hukum pemda yang harus kasih masukan benar, jangan dibuat berlarut larut. Pantai pede itu sengketa kewenangan. DPRD Mabar bisa bersidang minta agar pemda mengajukan ke MK”.

Terkait pendapat yang mengatakan bahwa kepemilikan aset Pede oleh Pemrov NTT (berdasarkan sertifikat), adalah hak privat pemprov yang wajib dihormati, menurut Gusti,”Pemda punya kantor bupati itu karena hak kewenangan publiknya dan bukan karena hak perdatanya. Argumentasi hak keperdataan di Pantai Pede tidak bisa dipakai oleh pemda, terlibih antara pemda yang merupakan dua lembaga negara. Rumah saya dengan rumah institusi negara jelas bedanya. Satu hak keperdataan yang harus dilindungi negara dan saya harus hormati rumah negara karena kelembaganegraannya. Dua hal yang sangat berbeda. Hak pakai saya dan hak pakai lembaga negara representasi dari dua hak yang berbeda.”

“Soal kehadiran PT SIM di garis pantai biarkan pemda provinsi dan konsultan hukum mempertanggungjawabkannya. Toh mereka harus ikutin UU lainnya juga. Pantai pede sebagai pantai umum kan fakta lama dan bukan baru. Sebagai pantai umum ikutin aturan ketentuan tentang pantai umum. Karena ini pemda NTT dan pemda mabar lembaga negara maka tidak ada hak perdata di sana. Soal siapa yang menata dan mengelola, itu kewenangan dua lembaga negara. Kalau mereka ribut atau sengketa ya harus di selesaikan, jangan rakat yang dirugikan dan dibiarkan berkonflik.”

Paskalis Baut

Pria bernama lengkap Makarius Paskalis Baut ini adalah advokat kelahiran Manggarai Barat. Sebelum terjun di dunia hukum, ia pernah mendirikan grup musik Manggarai “Lalong Liba”.

Paskalis Baut
Paskalis Baut

Paskalis Baut mempertanyakan keabsaan sertifikat yang dimiliki Pemprov NTT dan juga soal amanat UU No 8 tahun 2003 yang tak dijalankan oleh Pemprov NTT.

“Yang saya tau berdasarkan data dan fakta:Sertifikat No 10 dan No 11 tanah Pede yang diterbitkan tahun 1989/1999, telah hilang. Oleh karena itu diterbitkan sertifikat pengganti tahun 2012,sehingga No 11 diganti dengan No 4 dan No 10 diganti dengan No 3. Yang anehnya penunjuk batas pada sertifikat pengganti (no 4) orang-orang yang telah meninggal dunia kecuali yang satu orang”, tulisnya dalam grup diskusi WhatsApp Lonto Leok.

Ia juga mempertanyakan sikap Pemrov NTT yang tak menyerahkan aset yang dimiliki atau dikuasianya ke pemkab Manggarai Barat. Padahal hal yang sama sudah dilakukan oleh Pemkab Manggarai.

“Seluruh aset Pemda Manggarai (gedung dan tanah) yang telah dimilikinya sebelum UU No 8 tahun 2003 sudah diserahakn ke Pemda Mabar sesuai perintah UU No 8 tahhun 2003 pasal 13 ayat 1 huruf b.”

Pasal 13 ayat 1 huru b itu intinya:”bahwa barang milik/kekayaan daerah yang dimiliki dan di kuasai oleh Pemkab Manggarai atau propinsi yang berada di Manggarai Barta diserahkan ke Manggarai Barta.Gedung-gedung di lima kecamatan dan tanah yang semula kepemilikanya atas nama Pemkab Manggarai telah diserahkan ke Manggarai Barat sesuai perintah UU di atas.Gedung-gedung yang diserahkan oleh Pemkab Maanggarai dibeli pakai APBD,namun karena perintah UU di atas maka kepemilikanya gugur.Tidak demikian halnya dgn aset Pede, gubernur NTT peroleh karena mendapat hibah dari Departemen Pariwisara (dulu Parpostel) tidak memberikan Kepada Manggarai Barat sesuai perintah UU tapi memilih serahkan ke PT SIM untuk dikelola.”

Menurutnya, UU No 8 tahun 2003 sebenarnya memberikan hak ke Pemda Manggarai Barat untuk menggugat pemerintah provinsi NTT karena tidak menyerahkan aset itu.

Flori Sangsun

Pria bernama lengkap Florianus Sangsun Purnama Suria ini adalah advokat kelahiran Tenda, Ruteng. Kini ia menjabat sebagai Senior Lawyer di sebuah kantor hukum di Jakarta.

Flori Sangsun
Flori Sangsun

Flori juga menggunakan UU No 8 tahun 2003 sebagai acuan utama penyerahan aset Pantai Pede ke Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.

“Berdasarkan UU tersebut jelas sudah tanah Pede itu harus diserahkan ke Pemkab Mabar. Dengan demikian MoU pengelolaan dengan swasta null and void, perjanjian itu batal demi hukum karena bertentangan dengan UU pasal 1320 KUH Perdata”,tulisnya dalam grup diskusi WhatsApp Lonto Leok.

Menurutnya, karena UU No 8 tahun 2003 sudah sangat jelas mengamanatkan pengalihan aset, maka cara yang keras pun bisa saja dilakukan oleh Pemkab Kabupaten Manggarai Barat ketika Pemprov tak menjalankan perintah UU itu.

“Ambil alih Pede secara santun pake prosedur dan upaya hukum. Kalau keras cukup tunjukkan UU selesai. Penguasaan fisik oleh Pemda berdasarkan UU saja. Tidak perlu takut laporan penyerobotan oleh swasta. Jadi tidak harus gugat-menggugat. Secara hukum terang benderang Pede sudah di bawah Pemda Mabar. Kalau saya bupati Mabar saya terbitkan Peraturan Bupati (Perbub) Pede (sebagai) pantai publik. Selesai.”

“Bunyi Perbub-nya antara lain masyarakat berhak memasuki setiap waktu Pantai Pede, pihak manapun tidak boleh melarang masyarakat untuk memasuki Pantai Pede”. “Kalau bupati tidak mau DPRD tekan bupatinya.”

Bagaimana dengan pandangan lain yang menyebutkan UU No 8 tahun 2003 itu tidak bisa dibaca sendiri-sendiri, harus dilihat dalam kaitannya dengan UU lain (hukum sebagai sistem), misalnya UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara?

“Setidaknya ada UU No 8 tahun 2003 yang jadi dasar. UU perbendaharaan negara soal pencatatan/pemindahan/penghapusan aset daerah saya pikir masih sejalan,”kata Flori.

Menurutnya, malah UU Perbendaharaan Negara memperkuat UU No 8 tahun 2003 itu. “Jadi status Pede sudah ada di Pemda Mabar (tahun) 2003. Bahwa kemudian ada aturan mengenai cara pemindahsn aset itu tidak berlaku untuk Pede. Pasal itu (pasal 13 UU No 8 tahun 2003) artinya semua aset provinsi dan Manggarai yang ada di Mabar dikembalikan ke Mabar terhitung 2003.” (TER/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA