Floresa.co – Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai salah satu provinsi dengan mutu pendidikan terendah di Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk NTT, yang antara lain salah satu indikatornya terkait pendidikan, berada di urutan ke-32 dari total 34 provinsi atau hanya bisa mengungguli Provinsi Papua dan Papua Barat.
Dengan angka 63,13, IPM NTT terpaut cukup jauh di bawah angka rata-rata nasional 70,18.
Tentu, banyak faktor yang memicu hal ini, baik faktor eksternal maupun faktor internal.
Pastor Vinsensius Darmin Mbula OFM, ketua Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) menyoroti pemicunya pada kualitas para guru, kepala sekolah dan buruknya perhatian pemerintah.
Guru dan Kepala Sekolah
Berbicara kepada Floresa.co, Selasa 2 Mei 2017, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, ia mengatakan, “kesulitan pokok adalah sangat rendahnya motivasi kepala sekolah dan guru-guru untuk belajar meningkatkan kompetensi pedagogik dan profesional.”
Akibatnya, kata dia, banyak dari mereka yang masih berorientasi pada hasil lulusan ujian dan tidak fokus pada proses pedagogi yang baik dan benar.
Ia menegaskan, guru-guru dan kepala sekolah seharusnya disiapkan dengan baik, dilatih dan dididik untuk memiliki kompetensi. “Mereka antara lain perlu memiliki leadership yang transformatif, serta kemampuan evaluasi dan monitoring yang baik,” katanya.
Dalam rangka evaluasi sekolah itu, Pastor Darmin mengusulkan perlunya membentuk tim akreditasi sekolah yang bertugas untuk terus-menerus berpikir tentang perbaikan sekolah.
Ia juga menegaskan, kepala sekolah harus terus berupaya memajukan sekolah dan bukan hanya sibuk rapat dan urus proyek.
“Kepala sekolah dan guru perlu memiliki motivasi tinggi untuk mendidik dan mengasuh peserta didik dengan hati yang mau melayani,” katanya.
Ia mengingatkan, menjadi kepala sekolah bukan karena menjadi tim sukses dari bupati saat Pilkada, menjadi guru juga bukan karena tidak ada pekerjaan.
“Tugas itu mesti dihayati sebagai panggilan jiwa untuk mengabdi dan melayani dengan hati,” katanya.
Pastor Darmin menyatakan, peningkatan kapasitas para pengelolah sekolah, juga terkait pemanfaatan dana-dana, termasuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah soal lain yang butuh banyak perhatian.
Masih ada praktek dimana dana BOS tidak digunakan sebagaimana mestinya sehingga tidak berdampak pada perbaikan kualitas sekolah, kata dia, dipicu oleh lemahnya kapasitas.
“Sebenarnya banyak dana masuk ke sekolah, tetapi karena monitoring dan pengawasan yang kurang, maka dana-dana itu menguap begitu saja,” tambahnya.
Doktor pendidikan lulusan Univesitas Negeri Jakarta (UNJ) ini juga mengatakan, sejauh ini kesejahteraan para guru, sebenarnya cukup terjamin, selain karena gaji, juga ada dana sertifikasi.
Namun, hal itu tidak sepadan dengan kualitas mereka. Bahkan, kata dia, berdasarkan pengalaman langsungnya saat ke Manggarai, kampung halamannya, ia menjumpai guru-guru yang menggunakan uang setifikasi untuk menutupi bon rokok di toko atau kios.
“Mereka tidak berpikir untuk membeli buku-buku penunjang kompetensi pedagogik,” katanya.
Ia menjelaskan, hal ini juga berkaitan dengan lemahnya kompetensi kepribadian, yakni tidak bisa mengendalikan diri demi sebuah nilai yang lebih tinggi.
“Hal ini akan berdampak pada lemahnya kompetensi sosial mereka,” kata dia.
Buruknya Perhatian Pemerintah
Pastor Darmin pun mengkritik pemerintah, terutama dinas pendidikan yang seringkali gagal membuat terobosan demi peningkatan mutu guru dan kepala sekolah.
Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan (Diklat) bagi kepala sekolah dan guru-guru, kata dia, belum bisa meningkatkan kualitas mereka.
“Diklat yang baik harus membangkitkan motivasi belajar dan kerja kepala sekolah dan guru-guru,” katanya.
Pemerintah, kata dia, harus menyiapkan narasumber yang baik dan “kepala sekolah serta guru harus terus belajar untuk menerapkan apa yang dipelajarinya.”
Menurut dia, pemerintah harus menyiapkan sebuah model diklat yang membentuk mentalitas kepala sekolah dan guru agar memiliki jiwa melayani dengan hati demi pembentukan peserta didik yang matang secara intelektual, moral, sosial dan spiritual.
“Stop sudah diklat yang hanya mau habiskan anggaran,” tegasnya.
Hal lain, jelas dia, pemerintah perlu terus berjuang menyediakan sarana dan prasarana yang baik, termasuk buku yang bermutu dan fasilitas lain. (ARL/Floresa)