Labuan Bajo, Floresa.co – Kuasa hukum Haji Muhammad Adam Djudje sudah beberapa kali mengajukan permohonan penerbitan sertifikat hak milik (SHM) di tanah 30 hektar yang menjadi lokasi sengketa dengan sejumlah pihak.
Made Anom, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) wilayah Manggarai Barat (Mabar) mengatakan, pengajuan itu disampaikan oleh Muhammad Achyar Abdurahman.
Kepada Floresa.co, Achyar sudah mengonfirmasi status dirinya bersama Gabriel Mahal sebagai kuasa hukum Djudje, untuk tanah 30 hektar itu yang terletak di Toroh Lemma Batu Kallo/Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo.
Made menjelaskan, empat sertifikat yang diajukan oleh Achyar adalah untuk tanah milik Karni Ilyas, Gories Mere, Gabriel Mahal dan Achyar sendiri.
Namun, kata dia, BPN menolak permohonan itu, setelah melakukan pengecekan ke lapangan.
“Kita ke lokasi untuk ploting. Ternyata lokasinya masih sama dengan lahan Pemda.” kata Made.
Karena pertimbangan itu, menurutnya, BPN menolak mengabulkan pengajuan tersebut.
“Sepengetahuan kami, tanahnya sudah diserahkan Pemda. Tidak mungkin permohonan di atas objek yang sama, kami terima,” katanya.
“Dengan sendirinya, kami tidak bisa melanjutkan (proses terhadap permohonan itu),” terang Made.
Namun, kata dia, meski sudah ditolak, Achyar tetap berkali-kali mendatangi BPN Mabar dan membawa berkas yang sama.
Kata Made, BPN Mabar tetap bersikukuh tidak menindaklanjuti permohonan tersebut.
“Dia ajukan ulang lagi. Berkasnya yang sama juga” tuturnya.
Dalam laporan Floresa.co sebelumnya, disebutkan bahwa Djudje mengklaim sebagai pemilik lahan 30 hektar itu, dengan alas hak penyerahan dari Fungsionaris Adat Nggorang pada tahun 1990.
Saat ini, di lokali lahan itu terpampang plang yang menyebutkan bahwa ia adalah pemiliknya.
“Dilarang masuk! Tanah ini milik H.M. Adam Djudje di bawa penguasaan dan pengawasan advokad/pengacara Gabriel Mahal, S.H & Muh. Achyar S.H,” demikian isi tulisan di plang itu.
Namun, meski Achyar dan Mahal mengaku sebagai kuasa hukum di tanah milik Djudje, menurut penjelasan BPN, dalam dokumen yang diajukan Achyar, yang dijadikan alas hak pengurusan sertifikat itu adalah pilhak lain.
“Bukan dari Haji Djudje. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan Haji Djudje,” katanya.
“Alas hak yang mereka pakai diperoleh melalui jual-beli dari ahli waris Raja Pota,” lanjut Made.
Saat hendak mengonfimasi soal ini kepada Achyar, Sabtu, 3 Februari 2018, ia mengatakan kepada Floresa.co, belum bersedia memberi penjelasan.
“Sebelum omong lebih jauh, saya mau bilang, ga usah dulu muat saya punya pernyataan. Jadi, silahkan kalian tulis dulu, tulis apa aja dulu,” katanya.
Ia pun menyebut, tulisan Gabriel yang sudah dimuat di akun Facebook mewakili sikap mereka.
BACA: Soal Tanah 30 Ha di Labuan Bajo, Ini Penjelasan Kuasa Hukum Djudje
Setelah Sabtu siang, Floresa.co mempublikasi tulisan tanggapan Gabriel, pada Sabtu sore ia kembali mempublikasi tulisan lain, di mana ia menyebut, alas hak yang mereka ajukan adalah Tanah Hak Milik 9 (Sembilan) Ahli Waris Alm. Abdullah Tengku Daeng Malewa.
Dalam postingan itu, Gabriel juga menyebut jelas empat orang yang mengajukan sertifikat itu, yakni dirinya, Achyar, Gories Mere dan Karni Ilyas.
Status sebagai Lahan Pemda
Perihal pengakuan BPN bahwa lahan yang diklaim pihak oleh Achyar adalah lahan Pemda, adalah berdasarkan surat yang pernah diajukan oleh Pemda ke BPN pada 2015.
Surat dengan nomor Pem. 130/84/III/2015, yang diajukan Bupati Mabar Agustinus Ch Dula itu berisi permohonan agar BPN menerbitkan sertifikat untuk lahan itu.
Dalam lampirannya, bupati dua periode itu menyertakan surat penyerahan lahan itu oleh Fungsionaris Adat Nggorang pada tahun 1997.
Dalam surat itu, bupati menegaskan persoalan tanah itu telah dibahas bersama dengan unsur musyarawah pimpinan daerah, ahli waris Fungsionaris Adat Nggorang serta dengan para mantan pejabat kabupaten Manggarai, yang merupakan kabupaten induk Mabar.
Menurut Made, BPN sudah memproses permohonan itu. Namun, kata dia, “saat proses berjalan, ada para pihak yang mengajukan keberatan.” “Akhirnya, proses terhenti,” katanya.
Mediasi dengan sejumlah pihak itu, jelasnya, sudah dilakukan, namun tidak ada titik temu.
Made mengurai, berdasarkan dokumen yang diajukan Dula, posisi Pemda sebenarnya kuat.
“Secara yuridis formal, data dan dokumen yang dimiliki pemerintah menurut kami sudah benar, didukung dengan surat dari kepala desa, surat fungsionaris adat dan camat,” katanya.
Sudah Ada SHM
Di atas lahan 30 ha itu, Floresa.co juga mendapat informasi bahwa BPN sudah menerbitkan sejumlah SHM untuk pihak lain, yang juga ikut mengklaim memiliki lahan di lokasi yang sama.
Ketika dikonfirmasi ke Made, mengapa empat sertifikat itu diterbitkan, padahal Pemkab Mabar yang dianggap sebagai pemilik lahan itu sudah mengajukannya pada 2015, Made mengatakan, ia akan mengecek arsip dan mencari informasi lebih lanjut terkait hal itu.
“Saya baru saja bertugas di sini,” kata Anom, yang belum setahun menjabat sebagai BPN Mabar.
Ferdinand Ambo/Yulianus Arrio/ARL/Floresa