BerandaREPORTASEMENDALAMUsulan DPR RI Perpanjang...

Usulan DPR RI Perpanjang Masa Jabatan Kades; Respons Beragam Kades di Flores, Dinilai Sarat Kepentingan Politik 2024

Perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun telah diusulkan secara resmi oleh DPR RI dalam rapat pleno pada Senin, 3 Juli 2023.

Floresa.co – Badan Legislasi [Baleg] DPR RI resmi mengusulkan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa [Kades] dari enam tahun menjadi sembilan tahun dan dapat dipilih kembali untuk periode kedua.

Usulan yang mengakomodasi rekomendasi rapat kerja nasional Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia [Papdesi] di Semarang, Jawa Tengah pada 3-6 Juni 2022 ini dinilai pengamat sarat dengan kepentingan politik pemilihan umum tahun 2024.

Usulan ini disahkan dalam rapat pleno pengambilan keputusan terkait dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa [UU Desa], Senin 3 Juli 2023.

Rapat ini dilakukan setelah panitia kerja menyusun naskah akademik dan rancangan UU tersebut. Usulan ini selanjutnya dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai RUU inisiatif DPR RI, sebelum kemudian dibahas lagi bersama pemerintah.

Supratman Andi Agtas, Ketua Panja sekaligus Ketua Baleg DPR RI mengatakan revisi ini diharapkan membuat desa “semakin kuat, semakin mandiri, dan bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi.”

Politikus Partai Gerindra ini memaparkan 19 poin usulan, salah satunya adalah perubahan pada pasal 39 terkait dengan masa jabatan Kades, yang diperpanjang “menjadi 9 tahun paling banyak dua kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.”

Masa jabatan anggota Badan Permusyawaratan Desa [BPD] juga turut diperpanjang menjadi 9 tahun, merevisi pasal 56. Seperti halnya Kades, anggota BPD dapat dipilih kembali untuk masa keanggotaan dua kali, baik secara berturut-turut maupun tidak.

Beberapa alasan perpanjangan periode jabatan antara lain menghemat biaya pemilihan Kades, memberikan lebih banyak waktu bagi pembangunan berkelanjutan dan menghadirkan stabilitas wilayah.

Respons Kades di Flores

Saverius Banskoan, Kades Golo Sepang, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat menyambut baik usulan ini.

Menyebut pemilihan Kades penuh ‘gesekan’ dan ‘ketegangan’ dengan ‘intensitas tinggi,’ kata dia, masa jabatan enam tahun yang diamanatkan kurang maksimal untuk mencapai rekonsiliasi antarwarga dan perangkat desa terpilih.

“Kita tahu politik yang paling keras benturan itu adalah politik tingkat desa. Itu realitas yang kita hadapi dan kita tahu bersama, kita rasakan bersama selama di desa,” katanya kepada Floresa, Senin, 3 Juli.

Ia mengatakan, saya rasa teman-teman kepala desa yang lain juga menyampaikan itu [usulan masa jabatan 9 tahun] berdasarkan apa yang mereka alami, apa yang mereka saksikan sendiri di wilayahnya masing-masing.”

Bonefasius Sel, Kades Wae Codi, Kecamatan Cibal Barat, Kabupaten Manggarai juga mengatakan masa jabatan sembilan tahun berpengaruh pada optimalisasi pelaksanaan program kerjanya.

“Kalau sembilan tahun, kita punya banyak waktu untuk melaksanakan program,” ujarnya.

Pendapat berbeda muncul dari Hieronimus Aran, Kades Waibao di Kabupaten Flores Timur dalam wawancara dengan Floresa pada Januari, menyusul unjuk rasa ribuan kades di depan Gedung DPR RI menuntut penambahan masa jabatan sekaligus revisi UU Desa.

Ia mempertanyakan alasan logis di balik wacana ini, mengingat waktu enam tahun untuk satu periode jabatan “sudah sangat luar biasa, mengalahkan durasi jabatan presiden, gubernur, bupati dan wali kota yang hanya 5 tahun.”

Menambah masa jabatan dengan kewenangan mengelola dana desa yang begitu besar di tangan Kades, kata dia, justru akan berpotensi melahirkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

“Saya yakin, pasti ada itu,” katanya.

Ia juga menilai wacana ini mematikan arus regenerasi pemimpin di tingkat desa.

“Upaya untuk meregenerasikan para pemimpin baru di desa-desa tidak akan terjadi,” katanya.

Heribertus Beri, Kades Pong Lale di Kabupaten Manggarai mempunyai pendapat serupa.

Ia bahkan menyebut wacana ini sebagai hal yang “lucu dan memuakkan.”

Menurutnya, wacana ini mencederai demokrasi karena “menutup ruang bagi warga masyarakat untuk menjadi pemimpin desa.”

“[Hal ini] melahirkan otoritarianisme dan oligarki kekuasaan di desa,” katanya kepada Floresa.

Kedudukan Kades, lanjut Hery, tidak sekadar menjadi pemimpin pemerintahan, tetapi juga sebagai tokoh yang mengakomodasi seluruh kepentingan warganya.

“Termasuk kepentingan untuk kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan mulai dari tingkat desa,” katanya.

Kritikan atas wacana ini bahkan muncul dari seorang mantan Kades.

Sarat Kepentingan Politik

Direktur Eksekutif KPPOD Herman N Suparman mengatakan proses pembahasan revisi UU Desa “tak berjarak dari kepentingan kontestasi [politik] tahun depan.”

Lebih dari 70 ribu desa di Indonesia “merupakan kekuatan besar yang bisa dikapitalisasi politisi demi kepentingan politik [mereka] menjelang [pemilihan umum] 2024.”

Sementara di desa, lanjut Herman, kekuatan itu dimanfaatkan Kades dan perangkat desa untuk mendorong revisi UU yang menguntungkan mereka.

“Ada semacam simbiosis mutualisme antara politisi level nasional dan daerah dengan pemangku kepentingan di desa,” katanya kepada Floresa

Simbiosis itu akhirnya “mengaburkan akar masalah revisi UU Desa dan konflik desa.”

Herman menyebut proses revisi UU Desa tidak memiliki basis justifikasi yang kuat bila merujuk pada tata kelola pembangunan desa.

Indeks desa membangun—pengukur kualitas ekonomi, sosial dan lingkungan desa—yang diterbitkan Kementerian Desa menunjukkan “pergerakan positif kinerja desa dari tertinggal menuju level mandiri.”

Kualitas itu, katanya kemudian, ditentukan oleh kapasitas dan integritas Kades. 

KPPOD tidak menemukan masa jabatan sebagai indikator determinan yang menentukan kualitas tata kelola desa.

Kapasitas dan integritas Kades pula, alih-alih lamanya masa jabatan, yang akan menentukan rekonsiliasi konflik.

“Dengan masa jabatan sembilan tahun, Kades yang kurang memiliki kapasitas dan integritas [malah] akan menambah masalah dan durasi konflik di desa,” katanya

Masa jabatan sembilan tahun, kata dia, justru memicu perpecahan pra dan pasca pemilihan.

“Semua calon dan pendukung akan berupaya melakukan beragam cara untuk memenangkan pilihannya. Ini yang menjadi akar konflik pemilihan kepala desa selama ini” katanya.

Ia menambahkan, masa jabatan enam tahun merupakan durasi yang cukup menjalankan visi dan misi kades. 

Enam tahun juga memberikan rentang waktu “akuntabel bagi warga desa untuk mengevaluasi kinerja kades.”

“Jika menunjukan kinerja yang baik, kades akan diberi kepercayaan (oleh warga) untuk memimpin desa pada periode kedua, bahkan sampai periode ketiga,” ujarnya.

Beberapa Usulan Lain

Selain terkait perpanjangan masa jabatan, usulan lain dari Baleg DPR RI adalah terkait Kades dan anggota BPD yang telah menjabat dua periode sebelum UU ini berlaku, yang dapat mencalonkan diri satu periode lagi.

Sementara Kades dan anggota BPD yang masih menjabat pada periode pertama dan periode kedua menyelesaikan sisa masa jabatan sesuai ketentuan UU ini dan dapat mencalonkan diri satu periode lagi.

Kades dan anggota BPD yang masih menjabat untuk periode ketiga juga menyelesaikan sisa masa jabatannya sesuai dengan UU ini.

Untuk Kades terpilih tetapi belum dilantik, masa jabatannya mengikuti ketentuan UU ini.

Perangkat desa yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil juga dinyatakan menjalankan tugasnya sampai dengan ditetapkannya penempatannya yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Selain perpanjangan periode kekuasaan, Kades dan anggota BPD juga mendapatkan kepastian pendapatan dan jaminan sosial.

Pasal 26 ayat (3) direvisi menjadi Kades berhak menerima penghasilan tetap setiap bulan, dari sebelumnya setiap tiga bulan dan berhak atas  tunjangan dan penerimaan lainnya yang sah, mendapat jaminan sosial di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan dan mendapatkan tunjangan purna tugas satu kali di akhir masa jabatan.

BPD juga diatur mendapat tunjangan serupa yang akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Ketentuan ini merevisi pasal 62 UU Desa yang hanya menyebutkan bahwa anggota BPD berhak mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Selain itu, dalam usulan revisi ini, alokasi anggaran untuk desa juga ditingkatkan menjadi 20% dari dana transfer daerah, merevisi pasal 72 yang tidak menegaskan jumlah yang wajib dialokasikan dari APBN.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga