BerandaREPORTASEMENDALAMKepala Desa di Flores...

Kepala Desa di Flores Bicara tentang Wacana Perpanjangan Masa Jabatan: ‘Cederai Demokrasi, Ini Permainan Elite’

Kepala desa di Flores mengkritisi wacana perpanjangan masa jabatatan, menyebutnya berbahaya bagi demokrasi dan regenerasi kepemimpinan, serta menganggapnya hanya sebagai permainan elite

Floresa.co – Kepala desa di daratan Flores, NTT memberi respons beragam terhadap wacana penambahan masa jabatan mereka yang sedang menjadi pembicaraan di level nasional dan telah menjadi perhatian Presiden Joko Widodo.

Hieronimus Aran, seorang kepala desa di Kabupaten Flores Timur menyebut wacana ini akan mematikan arus regenerasi pemimpin di tingkat desa.

Sementara Martin Don, seorang kepala desa di Kabupaten Manggarai menyambutnya dan menyebut wacana ini sah-sah saja, mengingat selama pandemi Covid-19 dalam tiga tahun terakhir, para kepala desa tidak bisa bekerja optimal.

Di sisi lain, analis kebijakan publik dan pemerhati masalah sosial mempertanyakan urgensi wacana ini, menudingnya lebih sebagai permainan elite.

Diklaim Didukung Presiden

Isu penambahan masa jabatan ini disuarakan oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia [Apdesi] yang berdemonstrasi di DPR RI, Jakarta, Senin, 16 Januari 2023. 

Mereka meminta Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa direvisi sehingga masa jabatan mereka yang semula enam tahun menjadi sembilan tahun.

Budiman Sudjatmiko, politisi PDI Perjuangan yang bertemu Presiden Jokowi sehari setelahnya pada 17 Januari mengklaim bahwa presiden sepakat dengan usulan tersebut.

“Saya berani katakan, meski saya tak wakili kepala-kepala desa itu tapi karena saya diajak bicara, beliau [presiden] setuju dengan tuntutan itu. Tinggal nanti dibicarakan di DPR,” katanya.

Dalam pernyataan terbaru pada 24 Januari, presiden memang tidak menolak tegas wacana itu dan mempersilakan DPR mendiskusikan usulan para kepala desa.

Abdul Halim Iskandar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi [Desa PDTT] yang juga mendukung wacana itu mengatakan, perpanjangan masa jabatan kepala desa bertujuan meredam konflik yang muncul usai pemilihan kepala desa [Pilkades].

Ia mengklaim, konflik polarisasi pasca Pilkades nyaris terjadi di seluruh desa dan membuat pembangunan desa tersendat. 

Ia juga mengatakan usulan memperpanjang masa jabatan sudah dikaji secara akademis. 

“Periodisasi tersebut bukan menjadi arogansi kepala desa, namun menjawab kebutuhan untuk menyelesaikan ketegangan pasca Pilkades,” klaim menteri dari Partai Kebangkitan Bangsa itu.

Mereka yang Menolak

Meski diklaim didukung presiden dan mendapat lampu hijau dari menteri, Hieronimus Aran, Kepala Desa Waibao di Kabupaten Flores Timur menyatakan menolak wacana ini dan mempertanyakan alasan logis di baliknya.

Ia menyebut waktu enam tahun untuk satu periode jabatan “sudah sangat luar biasa, mengalahkan durasi jabatan presiden, gubernur, bupati dan wali kota yang hanya 5 tahun.”

Menambah masa jabatan dengan kewenangan mengelola dana desa yang begitu besar di tangan kepala desa, kata dia, justru akan berpotensi melahirkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

“Saya yakin, pasti ada itu,” katanya kepada Floresa, Selasa, 24 Januari.

Ia juga menilai wacana ini mematikan arus regenerasi pemimpin di tingkat desa.

“Upaya untuk meregenerasikan para pemimpin baru di desa-desa tidak akan terjadi,” katanya.

Hieronimus Aran, Kepala Desa Waibao. (Foto: Floresa.co)

Heribertus Beri, Kepala Desa Pong Lale di Kabupaten Manggarai mempunyai pendapat serupa.

Ia bahkan menyebut wacana ini sebagai hal yang “lucu dan memuakkan.”

Menurutnya, wacana ini mencederai demokrasi karena “menutup ruang bagi warga masyarakat untuk menjadi pemimpin desa.”

“[Hal ini] melahirkan otoritarianisme dan oligarki kekuasaan di desa,” katanya kepada Floresa.

Kedudukan kepala desa, lanjut Hery, tidak sekadar menjadi pemimpin pemerintahan, tetapi juga sebagai tokoh yang mengakomodasi seluruh kepentingan warganya.

“Termasuk kepentingan untuk kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan mulai dari tingkat desa,” katanya.

Kritikan atas wacana ini bahkan muncul dari seorang mantan kepala desa.

“Waktu enam tahun untuk satu periode sudah ideal,” kata Ari Samsung, mantan Kepala Desa Galang, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat.

“Toh ketika masyarakat masih menginginkan agar pemimpinnya itu menjabat kembali, bisa dipilih kembali dalam periode enam tahun berikutnya,” tambahnya.

Menurutnya, masa sembilan tahun yang diusulkan itu cukup lama untuk satu periode kepemimpinan yang membuat ruang evaluasi bagi masyarakat yang dipimpin menjadi sangat lama.

“Hal ini bisa memicu gejolak di masyarakat desa ketika ada ketidakpuasan terhadap kinerja kepala desa karena ruang evaluasinya masih lama,” katanya kepada Floresa.

Mereka yang Setuju

Martin Don, Kepala Desa Mata Wae, Kecamatan Satar Mese Utara di Kabupaten Manggarai yang juga Ketua Apdesi di kabupaten itu mengambil sikap berbeda dengan wacana ini.

“Pada prinsipnya [saya] setuju dan tak masalah jika itu konstitusional, baik enam tahun, lima tahun, termasuk wacana sembilan tahun,” katanya.

Menurutnya, masa enam tahun untuk satu periode terlalu singkat, apalagi untuk saat ini karena efek dari pandemi Covid-19 selama tiga tahun terakhir yang membuat terjadi perubahan fokus anggaran desa.

“Akibat waktu yang terlalu singkat ditambah dengan anggaran yang begitu kecil, para kepala desa sulit mengimplementasikan visi-misi,” kata Martin kepada Floresa.

Sejalan dengan argumen Menteri PDTT bahwa waktu enam tahun tidak cukup untuk melakukan rekonsiliasi bersama warga sebagai dampak langsung dari proses Pilkades yang sarat konflik, kata dia, “waktu sembilan tahun itu sangat cukup untuk melakukan rekonsiliasi.”

Ia menolak pandangan yang menyebut wacana masa jabatan sembilan tahun melanggar konstitusi dan akan menyuburkan korupsi, menyebut hal itu sebagai hal yang “berlebihan.”

Ia beralasan pengawasan pengelolaan dana desa saat ini cukup ketat dan pengelolaan keuangan desa berdasarkan kebutuhan prioritas sesuai aspirasi dari bawah, tidak bebas sesuai kemauan kepala desa.

Demikian pun halnya dengan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan desa, menurut Martin, sudah cukup ketat dan pelaporannya secara berkala dan melalui beberapa tahap verifikasi.

Ia tidak menampik bahwa ada praktik korupsi juga di desa, “tetapi itu oknum” dan korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja yang memegang jabatan public.

Ia juga mengatakan, pengawasan terhadap kepala desa saat ini cukup ketat, mulai dari regulasi tertulis, aparat penegak hukum, masyarakat dan LSM, termasuk organisasi kemahasiswaan.

Mempersoalkan Alasan yang Membenarkan Wacana Ini

Arman Suparman, peneliti kebijakan publik yang juga direktur eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah memberi catatan terhadap sejumlah alasan yang dipakai untuk menjustifikasi wacana itu.

Ia mengatakan, polarisasi yang berkepanjangan di desa pasca Pilkades – sebagaimana alasan yang disampaikan Menteri Desa PDTT – sifatnya kasuistik.

“Justru di situlah tantangan bagi kepala desa terpilih, harus bisa melakukan rekonsiliasi dengan semua masyarakat,” ujarnya.

Kepala desa, kata dia, mesti memiliki kapasitas manajemen konflik, bukan malah memelihara pengkotakan warga pasca Pilkades atau bahkan mengompori situasi yang menyebabkan pengkotakan itu seolah hal yang harus dipelihara.”

Ia juga mempersoalkan klaim terbatasnya waktu bagi seorang kepala desa untuk merealisasikan program-programnya selama enam tahun.

“Kades punya RPJMDes dan RKPDes. Dokumen-dokumen ini merupakan buah perencanaan bersama yang matang sekaligus realistis dan dibahas serta disetujui bersama masyarakat dan penyelenggara pemerintahan desa,” katanya.

Artinya, jelas Arman, sudah terukur kebutuhan dan tindak efektivitas implementasinya dalam satu tahun anggaran.

“Jika tidak bisa direalisasikan, artinya ada yang salah dengan kemampuan kepala desa dalam menyusun dokumen perencanaan dan bagaimana merealisasinya,” katanya.

Justru dengan masa jabatan sembilan tahun, kata dia, potensi konflik di masa depan semakin membesar.

“Karena setiap calon kepala desa dan para pendukungnya pasti berupaya dengan segala macam cara memenangkan kontestasi untuk mengamankan jabatan/kepentingan selama sembilan tahun ke depan.”

Ia juga menekankan bahwa variabel yang menentukan dalam percepatan pembangunan desa adalah di level desa, yang terkait dengan kualitas tata kelola, mulai dari perencanaan, penganggaran, kebijakan, kelembagaan, dan pelayanan publik yang akuntabel, transparan, dan partisipatif.

Berikutnya, kata dia, adalah di level supra-desa, yaitu penguatan bimbingan dan pengawasan dari kabupaten kota dan provinsi  terhadap desa.

“Selama kedua aras ini tidak mendapatkan perbaikan, desa sebagai ujung tombak pembangunan hanya akan menjadi slogan kosong,” katanya.

Frengky Perdana, seorang pemerhati sosial berbasis di Borong, Kabupaten Manggarai Timur menyatakan, tidak ada relevansi antara lama masa jabatan dan efektivitas pembangunan.

“Daripada memperjuangkan perpanjangan masa jabatan, lebih baik mereka meminta perubahan sistem penyelenggaraan pemerintah desa dan relasinya dengan pusat, provinsi, dan kabupaten,” katanya.

Ia menjelaskan, pertanyaan besar bagi kelompok yang mendukung wacana ini adalah “jika ini bentuk negosiasi desa terhadap negara, mengapa harus soal masa jabatan yang jadi tuntutan?”

“Bukankah masa jabatan kepala desa enam tahun dan dapat dipilih tiga periode justru yang paling panjang dibanding jabatan presiden, gubernur, dan bupati/walikota,” katanya.

Ia menjelaskan, ada begitu banyak riset, penelitian, studi kebijakan desa selama ini yang menggarisbawahi pengisapan negara, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten terhadap desa karena sistem penyelenggaraan desa yang amburadul dan tumpang tindihnya regulasi.

“Tidak ada yang menyebut masa jabatan kades sebagai akar masalah,” ujarnya.

Ia mengatakan, kalau desa mau negosiasi dengan negara, maka yang dinegosiasikan adalah sistem penyelenggaraan pemerintahannya, regulasi-regulasi yang amburadul, tidak langsung lari ke perpanjangan masa jabatan.

Gregorius Sahdan, Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD, Yogyakarta menyoroti wacana ini sebagai bagian dari cara desa dalam menegosiasikan kepentingan dengan pemerintah pusat.

Selama tiga tahun terakhir, kata dia, desa terus dikebiri dan bahkan dikooptasi pemerintah pusat melalui berbagai kebijakan sektoral yang merugikan desa, di antaranya kebijakan stunting dari Kementerian Kesehatan, Sustainable Development Goals (SDGs) dari Bappenas dan sebagainya.

“Tuntutan jabatan sembilan tahun lebih merupakan ekspresi desa berhadapan dengan pemerintah pusat yang selalu mengeksploitasi desa,” katanya kepada Floresa.

“Ekspresi ini di satu sisi bisa dilihat sebagai cara bernegosiasi, di sisi yang lain bisa dilihat sebagai cara desa untuk menolak segala bentuk intervensi pemerintah pusat,” tambahnya.

Namun, ia memberi catatan bahwa simplifikasi dari tuntutan para kepala desa menjadi perpanjangan masa jabatan adalah “jebakan politik terhadap partai yang haus kekuasaan dan tidak peduli dengan kesejahteraan rakyat.”

Permainan Elite?

Wacana perpanjangan masa jabatan terjadi satu tahun menjelang pemilihan umum pada 2024.

Arman Suparman melihat wacana ini tidak terlepas dari kepentingan politik menjelang pemilu itu.

“Kepala desa di tujuh puluh ribuan desa merupakan aktor kunci untuk mengamankan kepentingan jelang 2024. Ini merupakan pasar potensial yang bisa dikapitalisasi oleh para politisi dan partai politik,” katanya.

Heribertus Beri, Kepala Desa Pong Lale lebih terus terang, dengan menyebut wacana ini bukan murni aspirasi kepala desa, melainkan muncul dari partai politik tertentu.

“Partai politik tertentu memanfaatkan kami yang sedang menjabat kepala desa ini, menggoda kami dengan penambahan masa jabatan supaya kami berterima kasih,” katanya.

“Lihat saja beberapa kepala desa membuat video ucapan terima kasih kepada parpol tertentu. Ini memuakkan.  Saya ingatkan kepada teman-teman kepala desa supaya jangan mau dipolitisasi,” tambahnya.

Hieronimus Aran dari Flores Timur juga menduga hal yang sama.

Ia mengatakan, wacana ini sebagai permainan elite untuk merayu kepala desa, karena “para kepala desa memiliki basis yang sangat kuat di desa-desa.”

“Kita melihat contoh banyak kok. Para pendamping desa juga mulai digiring,” katanya.

Ia mengingatkan para kepala desa yang mendukung wacana ini “untuk berpikir rasional.”

“Tujuan kita adalah bagaimana membangun wilayah kita bukan mengejar bagaimana panjangnya sebuah kekuasaan,” ujarnya.

“Kita jadikan desa kita sebagai desa yang bermartabat, berdiri tegak, dan terhormat.”

Jefry Dain, John Manasye, Rosis Adir dan Rian Safio berkontribusi untuk artikel ini.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga