Segera Kembalikan, Hindari Pidana Pencucian Uang; Imbauan untuk Lembaga Gereja Penerima Dana Dugaan Korupsi BTS

Gereja dianggap memiliki sensitivitas moral ketika proaktif mengembalikan dana yang diduga hasil korupsi, tanpa harus menunggu putusan pengadilan.

Floresa.co – Seorang analis perbankan dan mantan pejabat yang menangani masalah terkait transaksi keuangan mengimbau tiga lembaga gereja di NTT mengembalikan dana sumbangan Rp1,75 miliar yang disebut sebagai hasil korupsi proyek BTS 4G.

Pengembalian dana itu dilakukan tanpa harus menunggu putusan pengadilan, demi menghindari jeratan pidana pencucian uang.

Kasus korupsi di Kementerian Komunikasi dan Informatika [Kominfo] itu sedang dalam proses persidangan. Sidang terbaru berlangsung pada Selasa, 12 Juli 2023, dengan agenda tanggapan jaksa atas eksepsi para terdakwa, termasuk Johnny Gerard Plate, eks Menteri Komunikasi dan Informatika. 

Jaksa berpegang pada dakwaannya bahwa Johnny melakukan korupsi Rp17,8 miliar, yang sebagiannya mengalir ke tiga lembaga gereja di NTT. Masing-masing adalah Keuskupan Agung Kupang, Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus [Yapenkar] dan Gereja Masehi Injili di Timor [GMIT].

Bisa Terjerat Pidana Pencucian Uang

Yunus Husein, eks Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan [PPATK] sekaligus ahli hukum perbankan mengatakan, lembaga gereja yang menerima sumbangan Johnny bisa saja tidak mengetahui dana itu bersumber dari tindak pidana korupsi.

Meski begitu, ia mengingatkan supaya lembaga-lembaga gereja menyimak dengan baik substansi pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang [UU TPPU].

“Dalam pasal 5 disebutkan ‘atau patut diduganya,’” katanya kepada Floresa pada Selasa 12 Juli.

Pasal itu secara lengkap berbunyi ‘setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.’

Tindak pidana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) di antaranya adalah tindak pidana korupsi dan penyuapan.

Menurut Yunus, ‘patut diduganya’ ini bisa dilihat dari besaran sumbangan.

Pemberian sumbangan “dalam jumlah besar, tidak lazim dan tidak ada underlying transaction (transaksi yang mendasarinya), sudah masuk unsur ‘patut diduganya’ yang termaktub dalam pasal tersebut,” katanya.

Ditambah lagi “ketika [suatu lembaga] menerima dana [yang diduga hasil korupsi] dan menggunakan dana tersebut.”

“Saya sarankan lebih baik lembaga gereja itu kembalikan saja [dananya],” katanya.

Yunus mengatakan, setelah dikembalikan, ada kemungkinan penghibahan kembali dana tersebut kepada lembaga yang bersangkutan.

Selaku eksekutor, katanya, “jaksa dapat memohon kepada Menteri Keuangan untuk menghibahkan kembali dana tersebut kepada lembaga penerimanya, tetapi hanya jika perkara sudah berkekuatan hukum tetap.”

Ia mencontohkan beberapa kasus serupa yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK].

“Dana [dugaan korupsi] yang diterima suatu lembaga sosial nanti tetap disita KPK, sebelum dihibahkan kembali [ke lembaga sosial terkait],” kata Yunus.

“Praktik yang terjadi di KPK seperti itu. Untuk lembaga sosial, biasanya yang sudah terlanjur terima sumbangan tetap disita, tetapi nanti dihibahkan kembali,” ujarnya.

Aspek Moral

Sementara itu, Bonifasius Gunung, praktisi hukum asal NTT yang kini berkarier di Jakarta mengatakan, dari sisi hukum pidana, salah satu prinsip dasar di dalam penyelidikan dan atau penyidikan dugaan tindak pidana korupsi adalah mengikuti aliran uang atau follow the money.

“Follow the money itu penting dalam rangka mengembalikan aset negara. Dalam prinsip follow the money, penyidik akan menelusuri semua aliran dana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi,” katanya kepada Floresa.

Terdapat beberapa implikasi hukum ketika penyidik berhasil membuktikan sumbangan yang diterima lembaga tertentu bersumber dari tindak korupsi. 

Salah satu implikasinya, kata Bonifasius, “uang dalam bentuk sumbangan itu wajib dikembalikan.”

Ia memberi catatan, implikasi tersebut berlaku ketika “penerima sumbangan tidak tahu dana itu bersumber dari dana korupsi.”

Perihal sumbangan ke lembaga gereja di NTT, Bonifasius berpendapat agar tidak hanya berpegangan pada ketentuan hukum pidana, tetapi juga aspek moral, mengingat gereja adalah juga lembaga moral.

“Karena karakter penerima sumbangan ini adalah lembaga moral, religius, saya berpendapat lebih baik berkonsultasi dengan jaksa penyidik. Jika benar diperlihatkan fakta uang itu bersumber dari dana korupsi, dikembalikan sebelum putusan akhir,” katanya.

“Itu juga lebih punya makna sensitivitas moral, mengingat ini lembaga gereja,” katanya.

Sebaliknya, kata dia, jika penerima sumbangan menunda pengembalian sembari menunggu putusan berkekuatan hukum tetap, “konsekuensinya jaksa akan melakukan penyitaan secara paksa, mendatangi gereja.”

Kan itu tidak bagus. Lebih baik dikembalikan,” katanya.

“[Gereja] akan mendapat apresiasi dari penyidik kalau ada kesadaran [mengembalikan] seperti itu,” tambahnya.

Rincian Aliran Dana ke Gereja

Dalam dakwaan JPU disebutkan bahwa dana yang diberikan Johnny ke lembaga gereja berasal dari Anang Achmad Latif,  Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi [Bakti), badan layanan umum di bawah Kominfo yang mengerjakan proyek BTS 4G.

Dana itu diberikan pada 2021-2022, antara lain Rp250 juta ke GMIT, Rp500 juta kepada Yapenkar – yang menaungi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang –  dan Rp1 miliar kepada Keuskupan Agung Kupang.

Yapenkar telah menyatakan bersedia mengembalikan dana tersebut jika memang dinyatakan terbukti merupakan hasil korupsi. Pernyataan serupa juga disampaikan Gereja Masehi Injili di Timor, yang berjanji mengembalikannya ke negara “melalui mekanisme hukum yang berlaku.”

Upaya Mitigasi

Yunus Husein mengatakan, kasus ini bisa menjadi pelajaran untuk lembaga-lembaga sosial, termasuk lembaga keagamaan agar pada waktu mendatang bisa lebih hati-hati dalam menerima sumbangan.

Ia menjelaskan, mesti ada upaya mitigasi demi terhindar dari tindak pidana, seperti pencucian uang.

Caranya, kata dia, bisa dengan menyiapkan kuitansi khusus ketika hendak menerima sumbangan dari pejabat negara.

Kuitansi itu, jelasnya, dilengkapi pernyataan bahwa uang sumbangan tersebut bukan berasal dari tindak pidana dan bukan dengan tujuan pencucian uang.

“Kalau di kemudian hari ternyata sumbangan itu berasal dari hasil korupsi atau kejahatan lainnya, gereja tidak bisa disalahkan karena sudah mengingatkan [lewat kuitansi],” ujarnya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA