BerandaREPORTASEMENDALAMSarat Represi, Realisasi Tak...

Sarat Represi, Realisasi Tak Segarang Janji; NTT di Era Laiskodat 

Akademisi dan aktivis menilai Laiskodat hanya banyak umbar janji, minim resolusi demokratis. Represi jadi jalan untuk mengegolkan kebijakan.

Floresa.co – Kurang dari dua bulan lagi, 5 September 2023, masa jabatan Gubernur Nusa Tenggara Timur [NTT], Viktor Bungtilu Laiskodat akan berakhir.

Ia telah menyatakan tak bakal maju lagi pada pemilihan kepala daerah [Pilkada] 2024 karena ingin maju sebagai calon anggota dewan di tingkat nasional.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] NTT sedang memproses pengajuan tiga calon penjabat gubernur.

Selambat-lambatnya sebulan sebelum berakhirnya masa jabatan Laiskodat, DPRD NTT harus menyerahkan tiga nama calon penjabat itu ke Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian.

Penjabat gubernur akan mengisi kekosongan kepemimpinan sepanjang masa transisi menuju Pilkada mendatang.

Banyak Umbar Janji

Selama masa kampanye sebelum Pilkada 2018, juga pada masa-masa awal kepemimpinannya, Laiskodat banyak mengumbar janji untuk NTT.

Ia misalnya menyebut akan menjadikan NTT sebagai provinsi yang modern dan mengedepankan teknologi.

Ia juga mengaku akan menyetop pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan yang merusak lingkungan.

Begitu dilantik, ia juga menyatakan bakal melakukan moratorium izin tambang yang, lagi-lagi, dengan penekanan: karena merusak lingkungan.

Maret silam ia meminta peserta didik setingkat sekolah menengah atas dan sederajat masuk sekolah pukul 05.00 WITA dengan alasan untuk memupuk etos kerja.

Ia juga berkali-kali bilang akan menuntaskan perdagangan manusia, yang menjadi masalah laten di NTT. 

Laiskodat juga kerap menyampaikan pernyataan kontroversial. Beberapa di antaranya adalah  menyebut dirinya sebagai profesor penjahat, mengatasi stunting dengan menjaga kualitas sperma pria dan meminta aparat mematahkan tangan dan kaki para pelaku perdagangan orang, lalu diberikan kepadanya.

Meski tak menjelaskan indikatornya dengan rinci, Laiskodat mengklaim dalam sebuah pernyataan pada April bahwa sudah banyak perubahan yang terjadi selama era kepemimpinannya dengan Wakil Gubernur Josef Nae Soi.

“Sebagai gubernur, saya bersama Bapak Josef Nae Soi yang akan mengakhiri kepemimpinan kami pada bulan September 2023 terus melakukan kunjungan kerja ke berbagai kabupaten, kecamatan hingga desa-desa hingga akhirnya kini sudah mulai terlihat beberapa perubahan yang baik, meski belum sempurna,” katanya pada 17 April, sebagaimana dilansir Antara.

Tak Segarang Pernyataannya

Data kuantitatif Badan Pusat Statistik menunjukkan setidak-tidaknya dua indikator perbaikan sepanjang kepemimpinan Laiskodat. Tetapi keduanya juga tak bisa serta-merta merangkum kepemimpinannya. Terdapat indikator sosial-ekonomi lain yang harus diperhitungkan ketika mengukur berhasil atau tidaknya suatu pemerintahan.

Indeks Pembangunan Manusia [IPM] misalnya, NTT mencatat kenaikan  dari 64,30 pada 2018 ke 65,90 pada 2022, Namun, capaian itu masih di bawah rata-rata nasional 72,91. NTT hanya unggul atas Provinsi Papua Barat dan Papua.

NTT juga mencatat penurunan jumlah penduduk miskin dari 21,35 persen pada 2018 menjadi 19,96 persen (1.141.110) pada pada Maret 2023, Namun jumlah ini jauh di atas rata-rata nasional 9,36 persen.

Karena itu, bagi para aktivis dan akademisi, berbagai klaim Laiskodat di awal masa kepemimpinannya tidak sejalan dengan apa yang bisa ia lakukan untuk NTT.

Gabriel Goa Sola menyoroti khusus soal masalah perdagangan manusia.

“Semua janjinya soal penanganan perdagangan manusia ternyata tak terealisasi. Kata-kata dan tindakannya tak sejalan,” katanya pada 15 Juli.

Gebi, panggilannya, merupakan anggota tim lobi dan advokasi Zero Human Trafficking Network, organisasi yang mengadvokasi kasus-kasus perdagangan manusia di NTT.

Menurut Gebi, penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] “jauh dari kata ‘maksimal’ sepanjang kepemimpinannya.”

“Hukum masih berpihak pada yang kuat kuasa dan kuat modal,” katanya.

Ia menilai Laiskodat, entah apa dasarnya, tak juga berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan untuk mencegah dan menegakkan hukum TPPO tanpa pandang bulu.

“Sudah begitu, ia kebanyakan umbar janji. Wacana saja semua,” katanya.

Apa yang disampaikan Gebi diafirmasi oleh pemerintah sendiri.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan [Menkopolhukam] Mahfud MD misalnya menyebut kasus TPPO di NTT masuk kategori “sangat darurat.”

“[Dikatakan] sangat darurat, karena dari laporan yang diterima terhitung dari 2020, 2021 hingga 2022 ada sekitar 1.900, jenazah pulang ke Indonesia dan yang paling banyak memang NTT,” katanya saat kunjungan ke di Maumere pada 31 Mei 2023. Mayoritas dari mereka adalah korban TPPO.

Menurut data Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia [BP3MI] NTT, total 68 jenazah buruh migran NTT yang dikirim dari luar negeri lewat Bandara El Tari Kupang selama Januari-Juni 2023. 

Sebuah laporan investigasi Floresa pada tahun lalu juga mengungkap bagaimana di sebuah pelabuhan di Larantuka, Flores Timur, tenaga kerja non-prosedural berangkat ke Kalimantan, untuk seterusnya ke Malaysia, tanpa ada kontrol dari otoritas setempat. 

Menafikan Partisipasi Publik

Yohanes Jimmy Nami, dosen ilmu politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT menyoroti khusus gaya Laiskodat yang acapkali berpikir dan berkata cepat, cenderung spontan, tanpa diikuti perbuatan nyata.

“Ia seringkali tak menepati janji yang keluar dari mulutnya,” katanya.

Selain terkait penanganan masalah perdagangan manusia, hal itu,  katanya, juga terlihat dalam pengambilan kebijakan terkait investasi yang berbenturan dengan kepentingan warga lokal.

“Ia malah langsung mengeksekusi tanpa mengakomodasi suara warga. Prinsipnya ‘asal cepat selesai,’” katanya.

Bukan lagi hal yang mengejutkan ketika ia kerap melewatkan beberapa “fase krusial dalam pengambilan keputusan. Termasuk tak mengindahkan partisipasi publik. Padahal ‘alam’ demokrasi menghendaki partisipasi publik yang kuat.”

Proses demokrasi mencakup “hak dan akses individu, komunitas dan organisasi dalam pengambilan keputusan,” kata Jimmy pada 14 Juli. Pelibatan tersebut memungkinkan mereka memberikan pendapat atau memengaruhi cara pengambilan keputusan.

Jimmy beranggapan partisipasi publik adalah yang paling efektif mencegah dampak negatif kekeliruan pengambilan keputusan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Partisipasi publik juga membantu memastikan pemerintah dapat dimintai pertanggungjawaban, bahkan sejak awal prosesnya berjalan.

“Tugas pemerintah daerah adalah menjamin partisipasi publik selalu terakomodasi sehingga tercipta resolusi demokratis. Itu tak terjadi dalam kepemimpinan Laiskodat,” katanya.

Tatanan kebijakan Laiskodat, katanya kemudian, “jauh dari desain demokrasi. Itulah mengapa kerap timbul reaksi negatif dari warga.”

Kebijakan lain Laiskodat yang memicu protes luas adalah sekolah pukul 05.00 Wita yang kemudian tidak dilanjutkan. Kebijakan itu dikritik karena tidak menjawab persoalan esensial pendidikan di NTT yang terus bertengger di posisi buncit untuk tingkat nasional, juga diambil tanpa mekanisme demokratis.

Kenihilan partisipasi publik membuat resistansi warga terhadap kebijakan dan pemerintahan Laiskodat kian besar. 

Dan kepemimpinan Laiskodat “kerap mengingkari resistansi warga melalui tindakan represi,” kata Jimmy.

Represi Terparah

“Represi [semasa kepemimpinan] Laiskodat adalah yang terparah dibanding gubernur-gubernur sebelumnya di NTT,” kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang [Jatam], Melky Nahar.

Ia merasa perlu menilik masa jabatan para gubernur pendahulu lantaran “pembangunan di NTT bukan baru terjadi pada masa [kepemimpinan] Laiskodat. Jauh sebelumnya sudah ada pembangunan.”

Meski begitu, “tekanannya tak berlipat-lipat seperti sekarang.”

Ia mencontohkan beberapa kasus, termasuk yang melibatkan masyarakat adat Besipae yang tinggal sekitar hutan adat Pubabu, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Konflik lahan komunal Pubabu bermula pada 1982. Saat itu, pemerintah Indonesia dan Australia menyepakati kontrak kerja sama peternakan dan penggemukan sapi. Lahan kerja sama kedua pemerintah berstatus meminjam lahan masyarakat adat.

Setelah kontrak berakhir, pengelolaan lahan semestinya dikembalikan ke masyarakat adat. Namun yang terjadi sebaliknya. 

“Entah bagaimana ceritanya dan tanpa sepengetahuan warga, tiba-tiba pemerintah daerah menerbitkan sertifikat hak guna usaha [di lahan tersebut],” kata Melky pada 14 Juli.

Sementara bagi masyarakat adat Besipae, hutan adat selayaknya dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai kawasan konservasi. Tak boleh ada aktivitas bertani dan berburu di dalamnya.

Menurut Melky, Laiskodat telah mengingkari keyakinan masyarakat adat. Ia membuka kawasan Pubabu untuk peternakan, perkebunan dan pariwisata. Berkukuh melindungi hutan adat disertai serangkaian protes, masyarakat Besipae malah disingkirkan dari tanah ulayat mereka.

Nilai-nilai historis, adat, keberlanjutan lingkungan dan kemanusiaan “kerap tak jadi pertimbangan Laiskodat. Represi-lah yang ia perhitungkan.”

Selama kepemimpinan Laiskodat, terjadi setidaknya lima kali upaya penggusuran warga Besipae, yang dikawal ketat aparat keamanan. Laiskodat pernah terjun langsung ke lapangan dalam penggusuran itu.

Melky menilai “Laiskodat, bagaimanapun caranya, merasa harus bisa memanfaatkan alat negara demi memastikan investasi benar-benar berjalan. Telah ia lakukan itu, dan parah sekali.”

Ia mencatat komunikasi Laiskodat “bukannya dua arah. Model komunikasinya saja intimidatif. Apalagi kebijakannya?”

Melky kembali mencontohkan satu kasus lainnya: carut-marut pengelolaan Taman Nasional [TN] Komodo.

‘Tragedi Kepemilikan Bersama’

Laiskodat “berkeinginan mengintervensi pengelolaan TN Komodo,” kata Venan Haryanto, peneliti pada Sunspirit for Justice and Peace sebelum melanjutkan, “bahkan sejak awal kepemimpinannya.”

Intervensi mewujud lewat pelbagai bentuk: berkali-kali wacana kenaikan tarif di TN Komodo hingga peminggiran Ata Modo, penduduk asli yang ratusan tahun hidup bersama komodo di Pulau Komodo.

Laiskodat mengusulkan tarif masuk ke TN Komodo mula-mula naik menjadi 500 dolar Amerika Serikat [ sekitar Rp7,4 juta] pada 2018, sebelum ditentang keras walaupun tak sampai demonstrasi. 

Venan mencatat kenaikan tarif tersebut tak berkekuatan hukum, tanpa didahului naskah akademis dan tak diputuskan melalui peraturan gubernur.

“Ia [Laiskodat] lalu datang dengan satu ide kontroversial lainnya: memindahkan warga Ata Modo dari Pulau Komodo demi menjadikan kawasan tersebut sebagai sentra bisnis pariwisata berbasis konservasi,” kata Venan pada 17 Juli.

Pada Januari 2020, wacana tarif masuk TN Komodo sebesar 1.000 dolar tercetus dalam dokumen yang diperiksa Floresa pada 17 Juli.

Dalam dokumen itu, tertera judul “Rumusan Rapat Pembahasan Progres Penanganan Taman Nasional Komodo sebagai World Heritage Site menuju Destinasi Ekowisata Prioritas Nasional”.

Dokumen menyebutkan tempat rapat yang berada di ruang rapat Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. Di bawahnya terdapat kolom bertajuk “Pokok Bahasan” dengan keterangan pada anak kolom: “membership USD1.000 untuk Pulau Komodo dan perairan di sekitarnya sebagai wisata super premium.”

PT Flobamor turut disebutkan dalam dokumen tersebut sebagai penerima Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam [IUPSWA].

“Kita mengetahui peristiwa-peristiwa berikutnya. Mulai dari demonstrasi besar-besaran hingga pengerahan aparat. Bicara tentang carut-marut pengelolaan TN Komodo tak akan ada habisnya,” katanya.

Itulah mengapa ia merasa perlu merangkum silang selimpat di TN Komodo dalam suatu konteks besar: “orang-orang ini datang dengan kepentingan masing-masing dan tak mau tahu ketika warga menjadi korban atas pariwisata berbasis investasi tetapi dengan dalih konservasi yang tengah mereka lakukan.”

“Barangkali ini yang dinamakan tragedy of the commons,” katanya mengutip teori Garret Hardin, seorang ahli ekologi asal Amerika Serikat. 

Teorinya menjabarkan kecenderungan individu untuk mengambil keputusan berdasarkan kebutuhan pribadi, terlepas dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya terhadap orang lain dan lingkungan. 

Di TN Komodo, tragedi kepemilikan bersama [tragedy of the commons] itu menerpa komodo, satwa lain, dan vegetasi darat dan laut serta masyarakat adat yang mewarisi tanah Pulau Komodo.

Waspada dengan Janji-janji

Floresa menghubungi Marius Ardu Jelamu, salah satu staf ahli Laiskodat untuk meminta tanggapannya atas penilaian aktivis dan akademisi. Ia menyatakan enggan menjawab melalui pesan tertulis maupun sambungan telepon.

“Usahakan bertemu muka [ di Kupang] karena banyak hal yang perlu disampaikan. [Jika tak bisa bertemu langsung], sebaiknya langsung [bertanya] ke kepala dinas [terkait] yang secara teknis melaksanakan program beliau [Laiskodat],” tulisnya melalui aplikasi percakapan WhatsApp. 

Pemilihan gubernur NTT masih setahun lagi. Belum banyak nama yang muncul, yang akan ikut bertarung.

Belajar dari pengalaman dengan Laiskodat, Jimmy dari Universitas Nusa Cendana Kupang mengatakan, siapapun gubernur setelahnya, “jangan lagi mengulang janji-janji manis yang kebanyakan malah diingkari sendiri.”

Sebaliknya, kata dia, “warga jangan terburu-buru euforia menyambut kehadiran figur [calon gubernur] tertentu.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga