Memutus Siklus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, Menggalang Asa di Rumah Singgah St. Theresia 

Rumah yang dikelola para biarawati Katolik ini membantu para perempuan dan anak korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Baca Juga

Floresa.co – Dua anak lelaki berusia lima tahun memetik lembaran daun segar yang tumbuh pada sebatang pohon kelor. 

Di suatu kebun yang teduh oleh tanaman-tanaman tinggi itu, keduanya memasukkan daun-daun tersebut ke dalam plastik, yang mereka anggap sebagai “tabungan kami.”

D, inisial seorang di antaranya, menunjuk-nunjuk sebatang kelor yang lain. Kawan sepermainannya menyahut, “Kau mau tambah tabungan kah?”

D mengangguk. 

P, si kawan sepermainan, lalu merangkulnya. Sebelah-menyebelah mereka berjalan menuju sebatang kelor yang lain, memetik lebih banyak daun-daun “tabungan.”

D memasukkan ‘daun kelor’ yang dipetik dari kompleks Rumah Singgah St. Theresia Labuan Bajo ke dalam sebuah plastik bekas kemasan makanan. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Tak jauh dari kebun itu berdiri sebuah bangunan. Rumah Singgah St. Theresia, nama yang terpampang di depannya.

Berada di pusat kota pariwisata Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, bangunannya menyudut dalam kompleks sekolah milik para biarawati Katolik dari Kongregasi Servae Spiritus Sanctus atau Suster-suster Misionaris Abdi Roh Kudus [SSpS].

Diresmikan pada 2017, rumah ini menjadi tempat tinggal sementara bagi perempuan dan anak korban kekerasan dan penelantaran oleh keluarga. 

‘Gunung Es’

D dan P tinggal di rumah singgah ini sejak berusia di bawah tiga tahun.

D lahir di suatu kampung di pesisir selatan Kabupaten Manggarai Timur. Ayah dan ibunya merupakan penyandang tuna wicara dan mengidap HIV/AIDS sejak sebelum D lahir.

Ketika lahir, D dinyatakan sehat secara medis. Ia tak bergejala HIV/AIDS berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan secara kontinyu hingga berusia lima tahun.

D memiliki seorang kakak yang, seperti dirinya, tak menunjukkan gejala HIV/AIDS.

D ditemukan oleh biarawati dari Rumah Singgah Santa Theresia ketika mereka melakukan perjalanan ke Manggarai Timur. 

Keluarga menyerahkan perawatan D kepada mereka dengan harapan ia terus tumbuh sehat dan mampu menempuh pendidikan sebaik-baiknya.

“Sejak awal, D tak pernah merepotkan,” kata Suster Frederika Tanggu Hana, SSpS yang memimpin Rumah Singgah Santa Theresia sejak dua tahun silam.

Rita, panggilannya, mengatakan ketika pertama kali berdiri, “Rumah Singgah Santa Theresia berfokus pada pendampingan bagi korban kekerasan seksual.”

Pilihan itu merespons tren peningkatan kasus kekerasan seksual di wilayah Flores Barat. 

Sejak 2020, terdapat 47 kasus kekerasan seksual di Manggarai Barat, menurut data yang diperoleh Floresa dari Polres Manggarai Barat. Jumlah kasus per tahun memang fluktuatif. Namun, terjadi peningkatan drastis dari 6 kasus pada tahun lalu menjadi 14 kasus tahun ini.

Dari 47 kasus itu, tiga jenis kekerasan tertinggi menurut klasifikasi polisi adalah pencabulan anak di bawah umur [17 kasus], persetubuhan anak di bawah umur [16 kasus] dan pemerkosaan [13 kasus].

Rumah Singgah St. Theresia telah bermitra dengan Polres Manggarai Barat dalam penanganan kasus-kasus ini, dengan fokus pada menyediakan naungan sementara bagi para korban selama proses hukum berlangsung, mulai dari kepolisian hingga pengadilan.

Meski sejak awal berencana untuk fokus pada kekerasan seksual, kata Rita, rumah singgah itu kemudian memperluas pendampingan—mulai jenis kasus hingga wilayah pelayanan, seiring dengan munculnya berbagai masalah lain.

Di kemudian hari, “kami menemukan banyak masalah sosial lain di Manggarai Raya,” kata Rita. 

Jenis kasus yang ia sebutkan termasuk perekrutan ilegal terhadap calon pekerja migran, penelantaran perempuan dan bayi dalam kandungan serta kekerasan gender berbasis online [KGBO].

Bulan lalu, Rita mendampingi delapan remaja putri Sekolah Menengah Pertama usia 12-23 tahun yang melapor ke Polres Manggarai Barat karena menjadi korban KGBO. 

Mereka dijebak oleh pelaku yang mengirim pesan lewat media sosial Facebook bahwa telah mengantongi foto telanjang korban. Pesan semacam itu dikirimkan untuk menakuti-nakuti mereka agar kemudian mengikuti saja permintaan pelaku.

Dari data yang tersedia, sejak 2020 sampai tahun ini, Rumah Singgah St. Theresia sudah menangani total 107 kasus, dengan rincian 15 kasus pada 2020, 17 pada 2021, 11 kasus pada 2022, dan 64 kasus pada 2023. 

Data kasus-kasus yang ditangani Rumah Singgah St. Theresia. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Selain didampingi selama proses hukum bagi yang kasusnya dibawa ke ranah pidana, Rumah Singgah St Theresia menangani para korban secara psikologis, juga menyekolahkan mereka di sekolah terdekat. 

Sementara untuk korban dewasa, mereka dilatih menekuni beberapa keahlian, seperti membuat kripik dan menjahit. Kripik produksi rumah ini sudah dipasarkan di beberapa tempat di Labuan Bajo. 

Dengan upaya semacam itu, kata Rita, saat mereka kembali ke rumah, sudah memiliki keterampilan sebagai bekal untuk kehidupan mereka.

Korban Tidak Hanya Perempuan

Suster Rita mengatakan, dilihat dari korbannya, kekerasan memang tidak hanya menyasar perempuan dan anak-anak perempuan. 

“Jika kami rangkum dari cerita beberapa keluarga di Manggarai Raya,” kata Rita sembari meladeni sejumlah anak yang berebut minta dipangku sebelum dalam sekejap berkejaran ke kebun, “banyak anak laki-laki yang menjadi korban kasusnya.”

Pengakuan Rita juga sejalan dengan hasil survei yang diterbitkan pada Juli 2020 oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia [KPAI] yang menemukan sebanyak 31 persen anak laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. 

Berdasarkan kajian tersebut, KPAI salah satunya berkesimpulan anak laki-laki dan perempuan memiliki kerentanan yang sama terhadap terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap mereka.

Pada tahun yang sama pula, Indonesia Judicial Research Society [IJRS] dan International NGO Forum on Indonesian Development [INFID] menemukan 33 persen laki-laki dewasa mengalami pelecehan seksual.

Walaupun laki-laki memiliki peluang yang lebih kecil untuk mengalami kekerasan seksual, tulis IJRS, “banyak kasus yang tak terungkap ke permukaan.”

Itu pula yang kerap didengar Rita dari sejumlah warga di beberapa kampung. 

Beberapa remaja laki-laki yang ia temui mengaku pernah mengalami kekerasan seksual dari lelaki dewasa yang masih terikat hubungan kekerabatan.

Ketika ayah mereka merantau bekerja, “kerabat laki-laki datang dan acapkali melakukan kekeraan seksual.” Sebab, katanya melanjutkan, “mereka tahu tak ada lelaki dewasa di rumah itu.”

Rita menyatakan sulit menemukan dan membawa korban laki-laki ke rumah singgah lantaran “budaya patriarki masih begitu ‘kental’ di sini.”

Laki-laki, sekalipun menjadi korban kekerasan seksual, “dituntut tetap tinggal di rumah, menggantikan peran ayahnya.”

Seorang biarawati SSpS sedang mengobrol dengan penghuni dewasa dan anak di Rumah Singgah St Theresia Labuan Bajo. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Jemput Bola

Ketimbang menunggu seseorang diantar ke Rumah Singgah Santa Theresia, Rita memilih untuk menjemput langsung ke kampung mereka. Begitu pula terhadap anak laki-laki dan laki-laki dewasa.

Selain terhadap D, ia juga menjemput seorang laki-laki berusia 17 tahun berinisial R. 

Rita bercerita, ibu dan adik perempuan R mengalami kekerasan seksual yang terbukti dilakukan oleh seorang paman dari R.

R mengetahui tindakan si paman terhadap ibu dan adiknya. “Kemarin R melihat perbuatan pamannya. Kelak, bisa jadi ia akan menjadi pelakunya,” kata Rita.

Berangkat dari pertimbangan itu, Rita berniat membawa R ke “rumah perlindungan”—istilah yang lebih sering Rita pakai alih-alih menyebut “rumah singgah.”

Ia berkehendak membawa R untuk memulihkan psikologis sekaligus menambah bekal kemampuannya.

Harapan Rita, “R kelak menjadi manusia yang berdaya guna.”

Walaupun begitu, ia tak serta-merta menjemput R. Ia sempat didera kebimbangan, haruskah membawa R ke rumah singgah?

Apalagi, kata Rita, “kami hanya punya satu kamar tidur. Artinya semua bercampur-baur di situ.”

Pikirannya sempat terpecah antara R dan anak laki-laki lain yang menghuni rumah perlindungan. Umur mereka terus bertambah. Tak bisa tinggal dalam satu kamar tidur dengan penghuni lain. 

Rita berharap dapat memindahkan mereka sejak berusia 10 tahun. Ia telah bertanya ke sejumlah asrama bagi pelajar laki-laki yang ternyata mensyaratkan usia minimal 14 tahun untuk calon penghuninya.” 

Ia lalu teringat sebuah bangunan lain, masih dalam kompleks sekolah milik SSpS di Labuan Bajo. Bangunan itu jarang digunakan sebagai tempat kegiatan. Jika belum juga mendapat tempat bagi para anak laki-laki, bangunan itu sementara dapat dimanfaatkan. 

“Pikir saya juga saat itu, nanti R bisa tinggal di situ dan tetap dalam pengawasan kami.”

Jadilah ia pergi ke kampung R. Rita “merasa bersyukur karena ia [R] mau ikut kami.” Kira-kira tiga bulan R tinggal di bangunan terpisah dengan penghuni lainnya di Rumah Singgah St. Theresia.

Selama itu pula, “hampir tiap hari saya mengajaknya mengobrol. Saya mengingatkan supaya ia tak berbuat hal yang sama dengan pamannya.”

Paman dari R telah divonis 15 tahun hukuman penjara. Sementara R tak lagi tinggal di rumah perlindungan. Ia memutuskan kembali ke kampung. 

Memutus Siklus Kekerasan

Saat Floresa mendatangi rumah itu pada 25 September, penghuninya 23 orang. Tak hanya perempuan dewasa, beberapa adalah remaja putri, anak-anak dan bayi.

Sehari-hari mereka tidur dalam satu kamar yang penuh oleh barang-barang. Mulai dari tumpukan baju, boneka, alat tulis, cermin dan beberapa lemari kayu. 

Para perempuan tidur di beberapa dipan bertingkat. Sementara yang laki-laki tidur berhimpitan pada dua kasur tak beralas. 

Ruang tidur bersama penghuni Rumah Singgah St Theresia Labuan Bajo.(Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Di rumah singgah ini, meski tinggal sementara, mereka membentuk sebuah keluarga. Selalu ada penghuni baru, yang datang membawa serta masalah mereka. Selama di sini, mereka diajak untuk berdamai dan membangun asa membentuk masa depan yang baru, kata Rita.

Setiap kali melepas pergi para penyintas dari rumah ini, ia selalu mengingatkan agar mereka bisa bertransformasi menjadi sosok yang melawan kekerasan.

Kepada R yang kembali ke kampungnya baru-baru, Rita yang tak menghalang-halangi kepergiannya berpesan: “Jangan sekali-sekali jadi pelaku.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini