Floresa.co – Setelah aktivitas pemerintah dan perusahaan dalam pengerjaan proyek geothermal di Wae Sano sempat vakum dalam beberapa bulan terakhir, pekan ini muncul informasi terkait peralihan pendana proyek itu.
Dalam sebuah surat kepada warga pada 25 Oktober, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat mengatakan pendananya telah beralih dari Bank Dunia ke pemerintah sendiri.
Surat tersebut yang ditandatangani Bupati Edistasius Endi ditujukan kepada tiga kepala kampung adat di Nunang, Lempe dan Taal; Pemerintah Desa Wae Sano; para pemilik lahan; tokoh masyarakat; serta pihak-pihak terkait lainnya.
Isinya adalah “sosialisasi status dan tindak lanjut proyek eksplorasi geothermal Wae Sano” yang akan digelar di Aula Kantor Desa Wae Sano pada Kamis, 9 November, bersama pelaksana proyek, PT Geo Dipa Energy.
“Kegiatan eksplorasi panas bumi Wae Sano dikeluarkan dari Geothermal Energy Upstream Development Project (GEUDP) dan Bank Dunia tidak terlibat lagi dalam pembiayaan,” demikian isi surat Edi.
Dalam poin berikutnya, ia menjelaskan, “pelaksanaan kegiatan eksplorasi akan dilanjutkan pemerintah menggunakan skema Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi.”
Respons Warga
Menanggapi surat itu, Rofinus Rabun, warga adat Desa Wae Sano yang getol menolak proyek ini mengatakan, “tidak penting siapa yang mendanai.”
“Sepanjang geothermal Wae Sano berada dalam ruang hidup masyarakat, hanya ada satu kata, kami tetap tolak,” katanya.
Yosef Erwin Rahmat, warga lainnya yang juga aktif dalam gerakan penolakan proyek mengatakan, sebagai masyarakat ia akan tetap memenuhi undangan sosialisasi pada 9 November itu.
“Sikap masyarakat tidak berubah, tidak beralih,” kata Yosef.
“Yang pasti kami tetap menolak, seperti narasi-narasi yang sudah kami lontarkan, termasuk di hadapan Bank Dunia,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan oleh Yosef Subur, warga Kampung Nunang.
Ia mengatakan persoalan pokok geothermal Wae Sano adalah potensi pengrusakan ruang hidup warga, bukan sumber pendanaan proyek.
“Persoalan pokoknya adalah wilayah kerja panas bumi itu ada di dalam ruang hidup masyarakat,” ungkapnya.
Sementara itu Melky Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang mengatakan dengan informasi peralihan pendanaan ini, “pemerintah dan PT Geo Dipa Energy tampak mengibuli rakyat.”
“Seolah-olah kalau didanai, misalnya dari APBN, maka yang rugi kemudian adalah negara. Seolah-olah juga ada semacam jaminan proyek itu tidak akan berdampak pada kerusakan ruang hidup warga,” katanya.
Ia mengatakan hal yang dipersoalkan warga selama ini “bukan sebatas sumber pembiayaan.”
“Hal yang lebih penting dari itu adalah soal cara kerja industri ekstraktif seperti panas bumi yang mempertaruhkan keselamatan ruang hidup dan nyawa warga di sekitar tapak geothermal,” katanya kepada Floresa.
Ia juga memberi catatan soal peran Bupati Edi yang melayangkan surat undangan sosialisasi di tengah gencarnya perlawanan warga.
“Ini pertanda kuat bahwa era kekuasaan Edi justru melayani korporasi, daripada rakyatnya sendiri,” kata Melky, yang telah lama terlibat mendampingi warga Wae Sano.
Proyek geothermal Wae Sano adalah salah satu dari proyek yang didorong pemerintah di banyak tempat di Pulau Flores, menyusul penetapan pulau itu pada 2017 sebagai Pulau Geothermal.
Proyek ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional, yang awalnya dikerjakan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur, sebuah Badan Usaha Milik Negara di bawah otoritas Kementerian Keuangan.
Awalnya pendanaan direncanakan dari Bank Dunia dan lembaga pemerintah Selandia Baru, New Zealand Foreign Affairs and Trade Aid Programme, bagian dari GEUDP.
Bank Dunia pernah dua kali mendatangi Wae Sano, yaitu pada Mei dan Desember tahun lalu, merespons surat warga yang memprotes proyek itu dan meminta penghentian pendanaan.