‘Kami Bukan Gagal Panen, Tetapi Gagal Kerja,’ Cerita Petani di Flores yang Belum Bajak Sawah karena Curah Hujan Rendah

Sawah yang bergantung pada air hujan belum dikerjakan. Padahal, tahun-tahun sebelumnya musim tanam sudah selesai pada Desember

Floresa.co – Lebih dari tiga pekan tahun 2024 sudah terlewati. Sebentar lagi memasuki bulan Februari. Namun, Yoseph Adi belum juga membajak sawahnya.

Padahal, tahun-tahun sebelumnya, pada tanggal seperti saat ini, pekerjaan seperti menyemai benih, membajak dan menanam padi sudah beres.

“Awal Januari itu biasanya peralatan kerja kami sudah dicuci bersih. Artinya, masa kerja untuk musim ini sudah selesai, tinggal tunggu musim berikutnya,” cerita  Yoseph.

Yoseph yang bercerita kepada Floresa paa 15 Januari adalah salah satu petani sawah tadah hujan di Desa Sangan Kalo, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur. 

Pria yang juga menjabat sebagai kepala desa itu memiliki sawah seluas 50×150 meter persegi di dataran yang disebut Gising.

Daerah persawahan dengan luas sekitar 1.150 hektare itu merupakan salah satu lumbung padi di Kabupaten Manggarai Timur.

Yoseph mengatakan akibat curah hujan yang rendah sejak tahun lalu, petani sawah di desanya belum bisa berbuat apa-apa.

“Kami belum sama sekali melakukan penyemaian benih,” katanya.

Tahun-tahun sebelumnya, kata Yoseph, mereka sudah menyemai bibit padi pada minggu kedua November. Selanjutnya, awal hingga minggu kedua Desember, mereka membajak dan selanjutnya menanam padi.

“Sawah Gising itu sawah tadah hujan. Kalau hujan ada, kami bisa kerja sawah,” katanya.

Sebenarnya di kawasan itu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] sudah membangun irigasi pada tahun 2016-2018.

Menghabiskan anggaran Rp1,5 miliar, Yospeh berkata irigasi itu rusak sejak 2020 akibat longsor dan hingga kini belum diperbaiki.

“Bagaimana kami mau kerja? Kami harus ambil air dari mana?  Kami tidak tahu ke depannya kami harus bagaimana,” ujarnya.

“Kami ini bukan gagal tanam, tapi gagal kerja,” ujarnya.

“Kalau gagal tanam,“ jelas Yoseph, “kami sudah membersihkan sawah, kemudian pas mau tanam, air sudah tidak ada.”

“Tapi kami gagal kerja, mau kerja airnya tidak ada. Kami belum menemukan tanda-tanda untuk memulai bekerja,” katanya.

Felix Nembo, masyarakat Desa Sangan Kalo yang berbicara dengan Floresa pada 17 Januari mengatakan air di petak sawahnya “kering kerontang.”

“Hujan hanya 1-2 menit, kering sampai satu minggu, bagaimana mau kerja?” cerita Felix, menggambarkan curah hujan yang rendah di desanya.

Kemarau panjang pada 2023, kemudian dilanjutkan dengan curah hujan yang rendah pada awal tahun ini, juga meresahkan petani di wilayah Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai.

Fidelis Tasman, 29 tahun, warga Desa Persiapan Ulungali yang berbicara kepada Floresa pada 17 Januari mengatakan “sekarang di daerah Ulungali tidak ada sama sekali yang tanam padi.”

Air dari persawahan selama ini bersumber dari Kali Wae Mantar 1, katanya.

Namun, akibat kemarau panjang tahun lalu ditambah curah hujan yang rendah pada awal tahun ini, debit air kali itu berkurang.

Menurut Fidelis, pemerintah desa memang pernah membangun selokan untuk mengalirkan air dari kali ke persawahan.

Dana pembangunannya bersumber dari bantuan Dinas Pertanian, tetapi  akhirnya “mubazir karena sumber airnya tidak ada”. 

Akibatnya, petani yang biasanya memanen padi dua kali bahkan tiga kali setahun, dua tahun terakhir ini “kami sudah tidak panen dan tidak tanam karena kemarau panjang.”

Pada musim tanam tahun ini pun kondisinya sama. Sebagian petani memang sudah mulai membajak dan menyemai bibit, memanfaatkan air hujan beberapa waktu lalu.

“Tapi karena belalang, akhirnya gagal. Ada yang mulai tanam, tetapi cuman beberapa patok,” ungkapnya. 

Ia mengatakan kalau situasi normal dan tidak ada hama, satu patok yaitu ukuran 50×100 meter  biasanya menghasilkan gabah 25 sampai 28 karung ukuran 100 kilogram. 

Setelah kemunculan hama, kata dia, satu patok hanya menghasilkan sembilan sampai sepuluh karung. 

Fidelis mengaku hanya mempunyai satu patok lahan sawah berukuran 50×100 meter. Kalau jenis padi yang ditanam adalah membramo, kata dia, satu karung menghasilkan beras bersih 50 kilogram. 

“Kalau jenis padi yang lain, satu karung adang 47 atau 48 kilogram,” ungkapnya. 

Keresahan serupa juga dialami petani sawah di ujung barat pulau ini. 

Salesius Ben, 39 tahun, juga bergantung pada curah hujan untuk mengolah sawahnya.

Warga Desa Benteng Nope, Kecamatan Pacar, Kabupaten Manggarai Barat yang berbicara kepada Floresa pada 17 Januari mengatakan sawah di desanya memang bukan sawah tadah hujan. 

Areal sawah yang berada di dataran rendah memiliki sumber air dari mata air Labe yang berada di perbukitan.

Namun, kata dia, “air itu tidak tidak cukup memadai untuk dialirkan ke semua petak sawah kami.”

“Ketika musim kemarau, air tidak dapat mengalir dengan lancar ke areal persawahan karena terjadi peresapan ke tanah dan belum ada irigasi,” ungkapnya.

Salesius menjelaskan jarak dari areal persawahan ke sumber air sekitar 700 atau 800 meter. 

Air dari mata air hanya akan mengalir dengan lancar ke areal persawahan bila didukung oleh curah hujan dengan intensitas tinggi.

“Kalau kami mau dapat air, harus menunggu hujan siang-malam,” ungkapnya. 

Beberapa tahun silam, kata Salesius, seorang anggota DPRD Manggarai Barat, yang ia tidak sebut namanya, pernah berjanji membuat irigasi. 

“Namun, tidak ada realisasi,” katanya. 

Masalah menjadi kian pelik, kata dia, selain karena curah hujan yang rendah, petani juga dihadapkan pada kondisi kurangnya  sarana dan prasarana pertanian.

Salesius mengatakan belum bisa memulai membajak sawah, karena “traktor hanya ada satu.” 

Agar bisa membajak sawah, kata dia, “kami harus menunggu pemilik traktor selesai bajak.”

Kerbau adalah alternatif yang bisa digunakan untuk membajak sawah. Tetapi, kata dia, sama seperti traktor, “kami harus menunggu pemilik kerbau selesai bajak.” 

Ia mengatakan, pada bulan ini sempat terjadi hujan siang-malam. 

“Kami berburu air dan hujan agar bisa mulai bajak,” ungkapnya.

Salesius yang mengaku lahan sawahnya “tidak terlalu luas,” dalam satu tahun, hanya bisa satu kali bajak dan panen.

“Biasanya bulan Januari kami mulai bajak, panennya bulan April. Setelah itu tidak bajak lagi karena sudah tidak ada air. Tunggu bulan Januari lagi baru bajak lagi,” ungkapnya. 

Ia menjelaskan dalam situasi normal, ketika curah hujan stabil, hasil panen gabahnya mencapai sembilan karung ukuran 100 kilogram. 

Tetapi, kata dia, kalau curah hujan tidak stabil “hasilnya sekitar lima atau enam karung.” 

“Panen tahun lalu hanya delapan karung. Saya giling empat kali, masing-masing dua karung,” ungkapnya. 

Ia menjelaskan dalam sekali giling, berasnya berjumlah lebih dari 70 kilogram, sehingga kalau empat kali giling maka totalnya hampir 300 kilogram.

Beras itu, kata dia, “hanya dikonsumsi sendiri, tetapi tetap tidak cukup karena akan habis pada Oktober.” 

“Kalau sudah habis, kami biasanya beli. Harga terakhir beras di sini Rp750.000 untuk ukuran 50 kilogram. Kami biasanya beli beras di Terang. Kalau tidak, kami juga beli beras yang datang dari Labuan Bajo,” ungkapnya.

“Beri Kami Pancingan, Bukan Ikan”

Yoseph Adi mengatakan bukan tanpa upaya dari masyarakat setempat untuk memperbaiki irigasi yang rusak di persawahan dataran Gising.

Pada  3 Januari, Yoseph membentuk kelompok sukarela untuk memperbaiki bagian irigasi yang rusak. 

Kelompok yang beranggotakan 27 orang anggota tetap itu diketuai oleh Felix Nembo, seorang warga.

Namun, menurutnya perbaikan yang dilakukan oleh masyarakat secara swadaya ini “percuma” karena  “tidak ada jaminan untuk tidak rusak lagi mengingat posisi saluran yang rusak itu berada di tempat yang terjal.”

“Sudah dua kali longsor, dan sangat sulit untuk diperbaiki,” ujar Yoseph.

Karena itu, ia mengusulkan alternatif lain untuk pengadaan air persawahan, yaitu melalui sumur bor, “daripada buang-buang uang untuk perbaikan irigasi yang sebagiannya sudah ditimbun tanah dan tenaga manusia tidak bisa lagi dipakai untuk memperbaiki irigasi itu.

Dana untuk pengadaan air ini, usul dia, bisa diambil dari dana bantuan sosial beras yang selama ini digelontorkan pemerintah.

“Lebih baik kami dikasih pancing daripada ikan. Saya pernah ikut rapat di salah satu hotel di Borong. Saya satu-satunya kepala desa yang tolak beras raskin (bantuan beras). Saya sampaikan ke bupati barang kali dana itu bisa dialihkan ke masyarakat untuk pengadaan air persawahan,” ujarnya.

Irigasi, jelasnya, jauh lebih memiliki manfaat untuk masyarakat di desanya.

Dengan irigasi yang baik, petani di desanya bisa mengolah sawah tanpa bergantung pada musim hujan.

Setahun pun bisa menanam lebih dari sekali, kata Yoseph.

“Kalau kami mendapatkan air yang cukup, di musim [tanam] pertama dalam satu tahun kami menggunakan hasil padi untuk makan satu tahun, di musim kedua hasilnya kami jual,” ujarnya.

Damianus Lenda, Pejabat Sementara Desa Ulungali, yang berbicara kepada Floresa pada 18 Januari mengaku warga memang dihadapkan pada masalah pelik kekurangan  air.

Ia mengaku seringkali menyampaikan usulan pembangunan suplesi [bendungan] saat Musrenbang kepada Dinas Perairan Provinsi NTT. 

Namun, kata dia, usulan itu belum terealisasi. 

Pemerintah provinsi, kata dia, beralasan bahwa kalau bendungan itu dibangun maka harus ada pembebasan lahan. 

“Pembangunan suplesi itu dimaksudkan agar mata air Wae Mantar 1 dialirkan ke sawah-sawah warga Ulungali,” ungkapnya. 

Bila bendungan itu dibuat, menurut Damianus, maka air yang bersumber dari Wae Mantar 1 tidak hanya dapat dialirkan ke persawahan warga desanya, tetapi juga ke desa-desa lain seperti Desa Ponggeok, Desa Paka, dan Desa Pongkor.

Damianus mengatakan sejak 2019, Desa Ulungali berstatus sebagai desa persiapan, pemekaran dari Desa Pongkor.

Oleh karenanya, kata dia, ia tidak bisa berbuat banyak terkait keluhan warga karena “desa persiapan hanya mengelola dana operasional yang bersumber dari Alokasi Dana Desa.”

“Sedangkan untuk dana pembangunan, masih dikelola oleh Pemerintah Desa Pongkor, sebagai desa induk,” ungkapnya.

Herry Kabut dan Anjany Podangsa berkolaborasi mengerjakan laporan ini.

Editor: Peter Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA