Gereja Katolik Perlu Proaktif Dukung Proses Hukum Kasus Dugaan Pelecehan Seksual oleh Frater di Ngada

Paus Fransiskus sudah menegaskan bahwa tidak ada toleransi untuk kasus kekerasan seksual dan institusi Gereja mesti mengikuti sikap demikian

Baca Juga

Floresa.co – Institusi Gereja Katolik perlu proaktif mendukung proses hukum kasus dugaan pelecehan seksual oleh seorang frater di Kabupaten Ngada sebagai bentuk komitmen penerapan sikap tanpa toleransi terhadap kekerasan seksual, kata seorang aktivis sekaligus pengacara yang pernah terlibat dalam pendampingan korban.

Azas Tigor Nainggolan, yang juga aktivis gereja berkata, kasus kekerasan seksual telah menjadi borok di dalam Gereja Katolik yang kerap ditutup-tutupi, yang kemudian berdampak serius bagi korban.

“Karena itu, ketika ada kasus yang terungkap ke publik, seperti kasus di Ngada ini, mari kita sama-sama mendukung proses penegakan hukum agar menghadirkan keadilan bagi korban,” katanya.

Berbicara dengan Floresa pada 26 Februari, Tigor merespons kasus Engelbertus Lowa Sada, 27 tahun, seorang frater tersangka kasus pelecehan seksual terhadap seorang siswa  di sebuah seminari menengah di Kabupaten Ngada, tempatnya menjalani Tahun Orientasi Pastoral [TOP].

Frater itu kini menjadi buronan polisi dan dimasukkan ke dalam Daftar Pencarian Orang atau DPO. Ia menghilang semenjak orang tua terduga korban melaporkannya ke polisi pada 2023.

Menurut Iptu Sukandar, Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Ngada, ia diduga melecehkan siswa berusia 13 tahun selama dua kali pada 2022.

Berkas kasus ini, jelasnya, sudah lengkap dan siap dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Ngada.

Surat pemberitahuan dari Polres Ngada di Flores terkait penetapan status Daftar Pencarian Orang terhadap seorang frater, tersangka kasus pencabulan anak di bawah umur. (Tangkapan layar surat dari Polres Ngada)

Institusi Gereja Mesti Ikut Bertanggung Jawab

Tigor mengatakan, Gereja Katolik mesti mengambil langkah untuk mendukung penuntasan kasus ini.

“Karena frater itu bagian dari institusi Gereja, maka mesti ada upaya untuk ikut bertanggung jawab, misalnya bagaimana bisa membantu polisi untuk menemukannya,” katanya.

Ia juga menyoroti kasus ini yang baru ketahuan setelah dilaporkan oleh orang tua korban ke polisi pada 2023, sementara dugaan pelecehannya terjadi beberapa bulan sebelumnya pada 2022, saat siswa itu di seminari.

“Patut diduga bahwa lembaga pendidikan tempat terduga korban mengenyam pendidikan memang belum jadi tempat yang ramah anak, yang bisa membuat anak-anak berani berbicara jika mengalami kekerasan seksual,” katanya.

“Pertanyaan yang mesti menjadi bahan refleksi kita adalah, mengapa terduga korban tidak kemudian menyampaikan kasus itu ke pendampingnya di seminari? Bisa jadi karena iklim di dalam seminari memang tidak memungkinkan korban berani melapor,” katanya.

Ikut Teladan Paus Fransiskus

Tigor, yang juga aktif sebagai pengurus bidang hukum dan hak asasi manusia di Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau Konferensi Waligereja Indonesia berkata, Paus Fransiskus sudah mengambil sikap tegas terhadap kekerasan seksual di dalam Gereja, dengan prinsip tidak ada toleransi atau zero tolerance.

“Prinsip demikian kiranya juga perlu diikuti oleh semua institusi Gereja Katolik di level manapun,” katanya.

“Sudah saatnya ada langkah proaktif untuk mencegah, sekaligus sigap untuk mengambil tindakan jika ada kasus,” katanya.

Tigor pernah terlibat menjadi pengacara korban dalam kasus pelecehan seksual oleh pengurus Gereja di Paroki St. Herkulanus Depok, Keuskupan Bogor pada 2021.

Pengurus Gereja itu, Syahril Marbun, diduga melecehkan 20 anak, meski kemudian hanya dua anak yang membawa kasusnya ke pengadilan. Syahril telah divonis penjara 15 tahun pada 2021.

Dari pengalamannya menangani kasus itu, Tigor berkata, di dalam institusi Gereja Katolik, masih banyak yang kurang peduli pada korban, dan bahkan ada upaya melindungi pelaku.

“Sayangnya itu terjadi pada banyak kalangan umat. Padahal, disadari atau tidak, sikap semacam itu membuat pelaku kasus-kasus kekerasan seksual merasa nyaman, bahkan mengulangi lagi tindakan mereka,” katanya.

Ia mencontohkan ketika baru-baru ini dihubungi oleh seorang perempuan korban di sebuah paroki di Jakarta yang mengaku menjadi korban seorang imam.

“Dia mengalami penghakiman di parokinya, dengan dicap macam-macam oleh sesama umat. Hal itu membuat imamnya juga mencari-cari alasan untuk membela diri, termasuk mengklaim digoda oleh perempuan itu,” katanya.

Ia menjelaskan, kasus seperti itu banyak terjadi, tetapi “sedikit yang terungkap.”

“Sikap yang cenderung menyalahkan korban berkontribusi pada pilihan sikap korban untuk diam, meski menderita. Padahal, bagi kelompok umat seperti mereka itulah seharusnya Gereja hadir,” katanya.

Azas Tigor Nainggolan. (Facebook)

Dukung Hukuman Berat untuk Terduga Pelaku

Tigor meyakini, kasus-kasus kekerasan seksual di dalam Gereja Katolik hanya bisa diselesaikan ketika ada penanganan yang serius, termasuk membawanya ke polisi.

Ia berharap kasus di Ngada betul-betul “ditangani secara serius oleh polisi.”

“Polisi mesti sigap sebagaimana semboyan presisi yang selalu dikumandangkan Kapolri, Listyo Sigit Prabowo,” katanya.

Ia memberi catatan terhadap kinerja polisi yang belum juga menangkap terduga pelaku.

“Sesulit apakah mencari terduga pelaku yang sudah berbulan-bulan ini belum ditemukan?” katanya.

Ia mengatakan, keseriusan polisi menangani kasus seperti ini akan memberi pesan penting kepada publik, terutama korban yang mungkin saat ini tidak berani bersuara, bahwa “akan ada dukungan yang maksimal jika mereka membuka mulut.”

“Kalau polisi tidak serius, akan membuat korban lainnya tidak percaya pada proses penegakan hukum.”

Ia juga berharap, terduga pelaku diberi tuntutan yang maksimal, karena tindakannya “telah merusak dan menghancurkan masa depan korban.”

Polres Ngada telah menyatakan menjerat terduga pelaku dengan Undang-undang [UU] Perlindungan Anak, yang ancaman hukumannya 5-20 tahun penjara. UU itu juga mengatur pemberatan sepertiga hukuman jika pelaku kekerasan adalah orang dekat korban, termasuk pendidik.

Tigor berkata, aturan pemberatan itu sudah selayaknya diterapkan, “karena terduga pelaku yang seharusnya melindungi terduga korban, malah melecehkannya.”

Ia menambahkan, pendampingan terhadap terduga korban juga mesti “dilakukan maksimal, agar ia betul-betul merasa dikuatkan di tengah pengalaman traumatik.”

Kasus Pertama di Flores

Dalam catatan Floresa, kasus di Kabupaten Ngada merupakan kasus kekerasan seksual pertama di lingkungan Gereja Katolik di Flores yang dibawa ke ranah hukum.

Sementara di Indonesia tercatat sebagai kasus ketiga.

Selain kasus di Paroki Herkulanus–dengan Tigor menjadi pengacara korban–kasus lainnya melibatkan seseorang yang dikenal sebagai Bruder Angelo di Depok, Jawa Barat

Pada 2022, Pengadilan Negeri Depok menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara kepada bruder bernama lengkap Lukas Ngalngola itu karena melakukan pelecehan seksual terhadap anak laki-laki di sebuah panti asuhan.

Angelo mengaku sebagai anggota Sakramen Mahakudus Misionaris Cinta Kasih atau Blessed Sacrament Missionaries of Charity (BSMC), sebuah kongregasi berbasis di Filipina yang tidak diakui Vatikan.

Kongregasi tersebut mendirikan Yayasan Kencana Bejana Rohani yang mengelola panti asuhan di Depok, tempat Angelo divonis melakukan pelecehan seksual.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini