Floresa.co – Warga mempertanyakan integritas Pengadilan Tinggi Agama Kupang dan menduga “bersekutu” dengan hakim calo tes Pegawai Negeri Sipil [PNS] sehingga abai dengan janji berkali-kali untuk pengembalian uang.
Irwahidah, hakim pada Pengadilan Tinggi Agama Kupang, tak kunjung mengembalikan uang korban praktik percaloannya, kendati telah melewati batas waktu yang ditentukan oleh pemimpin institusi itu.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Kupang memberitahu Fidelis Hardiman, warga Kelurahan Carep di Kabupaten Manggarai bahwa pimpinan institusi itu telah memanggil dan memerintahkan Irwahidah mengembalikan uangnya pada bulan Juli.
Pada 19 Juli, Irwahidah hanya mentransfer Rp7,5 juta ke rekening Fidelis. Jumlah itu 13,6 persen dari total Rp55 juta yang seharusnya dikembalikan.
Dalam tangkapan layar percakapan via WhatsApp, Irwahidah berkata, “maaf, baru saya transfer Rp7,5 juta.”
Merespons pesan itu, Fidelis bertanya, “kapan sisanya?” Irwahidah tidak merespons pesan Fidelis, kendati telah bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.
“Saya mau dia membayar lunas uang itu. Yang sudah dikembalikan Irwahidah hanya Rp12,5 juta, masih sisa Rp47,5 juta” katanya. Jumlah Rp12,5 juta setelah ditambah dengan Rp5 juta yang Irwahidah kembalikan pada 2021.
Hingga 31 Juli, Irwahidah tidak lagi merespons Fidelis, demikian pun ketika dihubungi lagi pada 1 Agustus.
Pada 1 Agustus, Fidelis pun meminta tanggapan Pengadilan Tinggi Agama Kupang melalui WhatsApp. Namun, institusi tersebut tidak merespons, kendati pesan yang dikirim Fidelis bercentang dua.
“Bukan hanya Irwahidah yang berbohong kepada saya, tetapi juga Pengadilan Tinggi Agama Kupang,” kata Fidelis.
Ia mengaku sejak awal memang tidak puas dengan jawaban Pengadilan Tinggi karena “tidak ada kepastian terkait tanggal pengembalian uang.”
Ia juga mengaku ragu dengan jawaban itu karena “serupa janji yang sering diucapkan Irwahidah.”
Semula Irwahidah menjanjikan akan mengembalikan uang Fidelis pada 5 Juli, tunda dari janji sebelumnya pada 4 Juli.
Fidelis telah mengirim nomor rekeningnya pada 3 Juli atas permintaan Irwahidah.
Namun, Irwahidah tidak bisa dihubungi lagi pada 5 Juli. Panggilan telepon Fidelis juga tak direspons meski nadanya tersambung.
Hal itulah yang membuat ia membuat pengaduan via WhatsApp kepada kontak yang tertera di situs Pengadilan Tinggi Kupang, hingga ada pengembalian Rp7,5 juta pada 19 Juli.
Dengan pengabaian janji oleh Irwahidah dan tidak adanya respons lagi dari pengadilan, kata Fidelis, “saya menilai Pengadilan Tinggi juga bersekutu dengan Irwahidah.”
“Pengadilan Tinggi mengingkari pernyataannya sendiri,” katanya.
Fidelis menyetor Rp60 juta kepada Irwahidah pada 2021 setelah diberi janji akan membantu anaknya lolos tes calon PNS di Kejaksaan Agung.
Uang itu didapat dari pinjaman koperasi yang pembayarannya masih dicicil hingga kini.
Penyerahan uang disertai penandatanganan kesepakatan bahwa Irwahidah akan mengembalikan seluruhnya jika anak Fidelis gagal tes. Namun, usai anak Fidelis gagal tes, Irwahidah hanya mengembalikan Rp5 juta.
Praktik percaloan dalam mekanisme tes PNS sebetulnya dilarang pemerintah. Namun, Irwahidah diduga memanfaatkan ketidaktahuan korbannya dan tekad mereka agar anak jadi PNS untuk melakukan manipulasi.
Pengadilan Tinggi Agama Kupang menyatakan telah menjatuhkan sanksi berat kepada Irwahidah karena melakukan “perbuatan tercela.”
Humas Pengadilan Tinggi Agama Kupang, Syahrial berkata kepada Floresa pada 15 Juli, “kami telah mengetahui praktik percaloan yang dilakukan oleh Irwahidah” berdasarkan hasil pemeriksaan oleh sebuah tim khusus.
“Bahkan, yang bersangkutan telah pula diperiksa oleh Tim Pemeriksa dari Badan Pengawasan Mahkamah Agung,” katanya.
Irwahidah telah dijatuhi hukuman atau sanksi berat berupa hakim non palu selama dua tahun sesuai, mulai Oktober 2022 sampai Oktober 2024, kata Syahrial.
Selama menjalani hukuman tersebut Irwahidah “dibebastugaskan atau tidak diberi tugas untuk menangani/memeriksa perkara, tidak diberikan fasilitas kendaraan atau apapun.”
Irwahidah juga “tidak lagi menerima tunjangan sebagai hakim,” menekankan bahwa “seorang hakim dilarang melakukan perbuatan tercela atau tidak terpuji.”
Namun, Syahrial tidak merespons pertanyaan lanjutan Floresa soal apakah sanksi itu mengatur soal kewajiban Irwahidah mengembalikan uang para korban.
Korban Menduga Ada yang Membekingi
Praktik percaloan Irwahidah dengan korban warga di Manggarai dan Manggarai Timur terjadi saat ia bertugas di Pengadilan Agama Ruteng sejak Mei 2019. Semula ia menjabat sebagai wakil ketua, lalu jadi ketua mulai Agustus 2020. Ia pindah ke Pengadilan Agama Labuan Bajo pada Januari 2022.
Ia bertugas sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Agama Kupang sejak Oktober 2022.
Selain Fidelis, masih banyak korban lain yang menuntut Irwahidah mengembalikan uang mereka.
Salah satunya, MYS, yang menyetor Rp138 juta, untuk ia dan adiknya masing-masing ikut tes hakim di Mahkamah Agung dan tes sipir penjara di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Keduanya gagal tes dan sampai saat ini Irwahidah hanya mengembalikan Rp25 juta.
MYS menduga Irwahidah tidak bekerja sendiri tetapi “dibekingi orang besar” di dalam lingkaran Pengadilan Tinggi Agama Kupang.
Pengadilan itu, kata dia, telah mengetahui muslihat Irwahidah sejak dua tahun lalu, tetapi “orang-orang penting di institusi itu justru melindunginya.”
Alih-alih memberikan sanksi tegas, kata dia, pengadilan justru menugaskan Irwahidah menjadi hakim di Labuan Bajo dan Kupang.
“Saya tidak terlalu percaya kalau Pengadilan Tinggi telah menjatuhkan sanksi kepada Irwahidah. Mungkin itu hanya klaim mereka. Toh, mereka tidak pernah tunjukkan buktinya,” katanya.
Korban lainnya adalah Benediktus Jematu, warga Kampung Tuke, Kelurahan Compang Tuke, Kecamatan Langke Rembong. Ia menyetor Rp60 juta agar anak sulungnya bisa mengikuti tes PNS di Kementerian Hukum dan HAM.
Sampai saat ini uang yang telah dikembalikan Irwahidah hanya Rp4 juta.
Algos, kerabat Benediktus yang berbicara kepada Floresa, mengkritisi sanksi yang diberikan Pengadilan Tinggi Agama Kupang karena tidak sebanding dengan kerugian yang dialami para korban.
Lantaran Irwahidah tak kunjung mengembalikan uang, kata dia, “anak sulung Benediktus terpaksa tidak melanjutkan perkuliahan dan kini bekerja di Labuan Bajo.”
Algos mengatakan semestinya Pengadilan Tinggi Agama Kupang mengambil tindakan tegas, “memberhentikan Irwahidah dengan tidak hormat karena telah merugikan banyak orang.”
Ia juga menyebut masa hukumannya “terlalu singkat, sementara korban harus menanggung kerugian akibat perbuatannya selama bertahun-tahun.”
“Irwahidah hanya sekadar tidak menerima tunjangan selama dua tahun, tetapi dia tetap menerima gaji sebagai hakim. Itu tidak ada artinya dengan uang yang diterima Irwahidah dari para korban,” katanya.
Algos menduga, Irwahidah tidak memakai uang dari korban seorang diri, tetapi mungkin juga dimanfaatkan oleh “orang-orang di Pengadilan Tinggi Agama.”
“Saya menduga Irwahidah hanya menjadi tangan kedua. Aktor utamanya mungkin orang lain di lingkaran Pengadilan Tinggi Agama,” katanya.
Muhammad Nur Abdurahim, warga di Kecamatan Sambi Rampas, Kabupaten Manggarai Timur juga merupakan korban lain Irwahidah.
Ia menyetor Rp100 juta kepada Irwahidah agar anaknya yang baru tamat SMA bisa mengikuti tes calon PNS di Kementerian Hukum dan HAM untuk posisi sipir penjara.
Yang kemudian terjadi adalah anaknya tidak pernah dipanggil untuk mengikuti tes dan uang hasil kredit di bank itu “belum dikembalikan” Irwahidah.
Korban lainnya, Agustinus Nenggor, warga Kampung Redong, Kelurahan Wali, Kecamatan Langke Rembong, menyetorkan uang Rp75 juta. Irwahidah baru mengembalikan Rp10 juta.
Pada 19 Juli, Agustinus memberitahu Floresa bahwa Irwahidah berjanji mengembalikan semua uangnya pada Agustus.
Praktik percaloan Irwahidha ramai dibicarakan sejak dilaporkan ke Polres Manggarai Timur oleh Tadeus Melang, warga Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur pada Mei.
Tadeus juga merupakan korban yang ikut menyetorkan uang ke Irwahidah Rp100 juta pada 2021.
Namun, hanya Rp10 juta yang dikembalikan setelah anaknya gagal tes PNS.
Irwahidah kemudian mengembalikan sisa uang Tadeus Rp90 juta pada 14 Juni.
Korban lain di Manggarai Timur adalah Datto Algadri, anggota Polisi Pamong Praja yang mengaku ikut menyetorkan uang Rp100 juta ke Irwahidah.
Selain mengungkap praktik percaloan tersebut, beberapa korban mengakui keterlibatan anggota DPRD Kabupaten Manggarai yang diduga menjadi kaki tangan Irwahidah.
Irwahidah sempat meminta seorang wartawan untuk menghubungi Floresa pada pertengahan Juni, meminta agar tidak melaporkan kasus ini.
Ia tidak merespons permintaan komentar oleh Floresa pada 31 Juli dan 3 Agustus.
Floresa juga menghubungi Pengadilan Tinggi Agama Kupang melalui WhatsApp pada 1 Agustus. Namun, institusi itu tidak merespons, kendati pesan bercentang dua, tanda pesan telah sampai.
Editor: Ryan Dagur