Warga Manggarai Timur Korban Hakim Calo Tes PNS: Uang Rp100 Juta Hasil Kredit Bank Raib, Anak Jadi Stres

Anak warga asal Kecamatan Sambi Rampas itu tidak jadi ikut tes, kendati telah membayar. Ia sempat ke Kupang menagih uangnya kepada Hakim Irwahidah

Floresa.co – Salah satu anak Muhammad Nur Abdurahim baru saja tamat SMA pada 2021 saat ia mendengar nama Irwahidah dari Abdul Kadir, Kepala Kantor Urusan Agama di Pota, Kecamatan Sambi Rampas.

Dari Abdul, ia mengetahui bahwa Irwahidah, yang ketika itu bekerja di Pengadilan Agama Ruteng, bisa membantu meloloskan peserta tes Pegawai Negeri Sipil [PNS] asalkan menyetorkan uang jaminan.

“Abdul Kadir bertemu dan berkenalan dengan Irwahidah saat Irwahidah berkunjung ke Kantor KUA Sambi Rampas,” kata Muhammad kepada Floresa.

Abdul memberitahu Muhammad untuk mendaftarkan anaknya UH mengikuti tes PNS di Kementerian Hukum dan HAM untuk posisi penjaga tahanan atau sipir. 

Karena UH lulusan SMA, katanya, ia diberitahu untuk membayar Rp100 juta, berbeda halnya dengan lulusan sarjana yang mesti membayar Rp150 juta.

“Dua minggu setelah itu, Kepala KUA mengajak saya untuk bertemu Irwahidah di Ruteng,” katanya.

Muhammad berkata, dalam pertemuan itu ia memberitahu Irwahidah bahwa “kalau masalah uang kami siap, tetapi akan diberikan setelah anak saya mengikuti tes.”

Tawaran itu ditolak Irwahidah. Ia memberitahu Muhammad bahwa “agar bisa mengikuti tes, uang jaminan harus disetor terlebih dahulu.”

Karena ingin memperjuangkan masa depan anak, “terpaksa saya kredit di bank dan segera menarik uangnya.”

Pada 3 Desember 2021, ia dan Abdul Kadir kembali menemui Irwahidah di kantornya untuk menyerahkan uang dan meneken surat kesepakatan.

Salah satu poin yang tercantum dalam surat yang dilihat Floresa itu adalah apabila UH tidak diterima menjadi PNS di Kementerian Hukum dan HAM, “maka Irwahidah akan mengembalikan semua uang administrasi tanpa ada potongan sama sekali.”

Poin lainnya adalah “apabila di kemudian hari Irwahidah melanggar isi kesepakatan itu, maka ia bersedia dituntut secara hukum.”

Muhammad berkata, penyerahan uang itu disaksikan oleh Abdul Kadir dan Sahrir Ramadhan, anak buah Irwahidah. 

Keduanya, kata dia, juga ikut menandatangani surat kesepakatan itu.

Usai penyerahan uang dan penandatanganan surat itu, Irwahidah menyuruh “anak saya untuk mengikuti kursus komputer di Ruteng.”

Tiga hari kemudian, “anak saya berangkat ke Ruteng untuk mengikuti kursus itu selama satu minggu.”

Irwahidah lalu menyuruh anak buahnya, Sahrir Ramadan “mencari tempat kursus komputer untuk anak saya.” 

“Selama mengikuti kursus, anak saya tinggal di asrama dengan ongkos Rp200 ribu. Untuk kursus, saya bayar lebih dari Rp900 ribu,” katanya.

Usai kursus, anaknya mendapat sertifikat “Surat Tanda Selesai Belajar” dari Lembaga Kursus dan Pelatihan [LKP] Surya Perdana, yang beralamat di Jalan Diponegoro 12 Ruteng. 

Sertifikat yang ditandatangani Pimpinan LKP Surya Perdana, Josefanus R. Siba itu bernomor 2267/SP-KUR/X/2021.

Muhammad menemukan kejanggalan dalam sertifikat itu karena diterbitkan pada 29 Oktober 2021, sebulan sebelum ia meneken surat kesepakatan dengan Irwahidah.

“Saya rasa aneh setelah baca sertifikat itu. Padahal, anak saya ikut kursus setelah ada kesepakatan,” katanya.

Tidak Jadi Ikut Tes, Uang Tidak Dikembalikan

Namun, impian agar anak bisa jadi PNS membuatnya mengikuti saja prosedur itu.

Ia lalu menyambangi rumah Irwahidah di Wae Buka, Kelurahan Satar Tacik, Ruteng untuk mengambil berkas pelajaran atau kisi-kisi soal “sebagai bekal bagi anak saya untuk mengikuti tes.” 

Waktu itu Irwahidah memberitahunya bahwa tes PNS dijadwalkan pada Maret 2022. 

Namun, ia mulai cemas karena “ternyata anak saya tidak mendapat panggilan untuk ikut tes.”

Muhammad mengatakan sudah berkali-kali menghubungi Irwahidah menanyakan kejelasan tes itu dan memintanya mengembalikan uang jaminan.

Merespons hal itu, Irwahidah berkali-kali mengklaim bahwa tes ditunda ke tahun berikutnya.

Irwahidah juga beberapa kali meminta nomor rekeningnya, tetapi “uangnya tidak pernah masuk.”

“Sampai hari ini, anak saya tidak pernah mengikuti tes. Sejak saat itu, saya sudah merasa ditipu Irwahidah,” katanya. 

Irwahidah bertugas di Pengadilan Agama Ruteng sejak Mei 2019, dengan jabatan semula sebagai wakil ketua, lalu jadi ketua mulai Agustus 2020. Ia pindah ke Pengadilan Agama Labuan Bajo pada Januari 2022. 

Kini Irwahidah bertugas sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Agama Kupang sejak Oktober 2022.

Tagih Hingga ke Kupang

Muhammad mengatakan, pada Maret 2023, ia berusaha ke Kupang menemui Irwahidah.

Waktu itu Irwahidah berjanji akan mentransfer uang itu setelah menjual tanahnya di Kabupaten Ende.

“Tetapi, sampai hari ini tidak ada hasilnya,” katanya.

“Uang itu tak kunjung dikembalikan. Dia hanya terus mengumbar janji,” tambahnya.

Ia berkata, sampai hari ini, Abdul Kadir menyesal karena telah menyarankan “saya untuk bertemu Irwahidah.”

Abdul Kadir, kata dia, berkali-kali datang ke rumah untuk meminta maaf sambil menangis. 

Floresa meminta tanggapan Irwahidah melalui WhatsApp pada 6 Juli. 

Namun, ia tidak merespons pertanyaan via WhatsApp, juga menolak panggilan telepon Floresa.

Muhammad hanyalah salah satu dari sejumlah korban praktik percaloan Irwahidah yang diidentifikasi Floresa.

Sejumlah korbannya lainnya telah ditulis dalam laporan khusus Floresa yang bisa diakses di tautan ini.

Korban umumnya menyetor uang antara Rp60 juta hingga lebih dari Rp100 juta.

Korban Agustinus Nenggor di Kabupaten Manggarai misalnya, menyetor Rp75 juta agar anak sulungnya mengikuti tes PNS di Kementerian Hukum dan HAM untuk mengisi posisi sipir penjara. 

Korban lainnya, MYS, menyetor Rp138 juta untuk ia dan adiknya – satu lulusan sarjana untuk tes hakim di Mahkamah Agung dan lulusan SMA untuk tes sipir penjara. 

Sementara itu, Fidelis Hardiman, warga Kelurahan Carep menyetor Rp60 juta dan baru Rp5 juta yang dikembalikan.

Dari para korban, Floresa mendapat cerita soal eks anggota dewan dan anggota dewan aktif di DPRD Manggarai yang diduga menjadi kaki tangan Irwahidah dan aktif mencari sasaran.

Seiring banyaknya korban, Irwahidah sempat meminta seorang wartawan menghubungi Floresa agar berhenti menulis laporan kasus ini.

Praktik percaloan dalam mekanisme tes PNS sebetulnya dilarang pemerintah. Namun, Irwahidah diduga memanfaatkan ketidaktahuan korbannya dan tekad mereka agar anak jadi PNS untuk melakuan manipulasi.

Floresa telah mengubungi Pengadilan Tinggi Kupang pada 9 Juli, meminta penjelasan terkait tindakan institusi  terhadap Irwahidah.

Namun, hingga berita ini dirilis, pertanyaan yang dikirim via surat elektronik dan WhatsApp belum direspons.

Anak Jadi Stres

Sementara Irwahidah mengabaikan janji-janjinya, sejumlah korban harus menanggung beban, karena uang yang yang diberikan kepadanya umumnya hasil pinjaman, baik ke bank maupun koperasi.

Muhammad misalnya. Ia berkata, “sampai hari ini, saya belum selesai bayar kredit bank.”

Sementara itu, katanya, “anak stres mengingat uang raib begitu saja.”

“Dia hanya tinggal di kampung. Saking stres, dia hanya jalan-jalan tidak tentu arah.”

Herry Kabut dan Mikael Jonaldi berkolaborasi mengerjakan laporan ini

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA