Floresa.co – Pada 9 Maret sekitar pukul 22.00 Wita, A, I, dan F mengendarai truk menuju salah satu toko di Labuan Bajo untuk membeli perabotan rumah tangga.
Mereka berangkat dari rumah milik A di Kaper, Desa Golo Bilas yang berada sekitar empat kilometer arah timur dari Labuan Bajo.
Berdasarkan kronologi kejadian yang diperoleh Floresa, baru sekitar 40 meter keluar dari rumah, F yang menyetir mobil berhenti karena terdapat beberapa motor dan sebuah pikap yang sedang diparkir di badan jalan.
Di samping motor tersebut terdapat kios yang sudah ditutup.
Namun, di terasnya terdapat enam pemuda yang sedang mengonsumsi sopi, minuman keras lokal.
F membunyikan klakson mobil, memberi tanda kepada para pemuda itu untuk memindahkan motor mereka.
Sambil memindahkan motor, salah satu di antaranya memaki F.
Mendengar itu, F turun dari mobil dan menumpahkan sopi ke meja, sembari berkata “mungkin karena minuman ini makanya kamu memaki dan tidak menghargai orang tua.”
Bersamaan dengan itu, A juga turun dari mobil untuk menenangkan F dan para pemuda itu. A juga meminta F untuk kembali masuk mobil.
Saat F sudah berada di dalam mobil, salah satu warga yang bukan bagian dari kerumunan para pemuda itu menarik F.
Merespons hal itu, F berkata, “apa maksud kalian?”
Pada momen itulah sekelompok warga mulai berdatangan dan berdebat dengan F.
Merespons situasi tersebut, seorang perempuan yang juga pemilik kios datang untuk meredam amarah F.
Beberapa menit kemudian, Mario, yang teridentifikasi sebagai seorang polisi, datang dan menyaksikan perdebatan antara F dan sekelompok warga itu.
Mario merupakan anggota Keamanan dan Ketertiban Masyarakat [Kamtibmas] yang bertugas di Wae Kesambi, Desa Batu Cermin, namun tinggal di Kaper. Ia memiliki hubungan keluarga dengan pemilik kios.
A, I, dan F mengenali Mario, kendati saat itu ia mengenakan pakaian bebas dan kepalanya ditutupi helm hitam.
Melihat kedatangan Mario, pemilik kios itu berkata kepada F “ini polisi.”
F lalu merespons, “memangnya kenapa kalau polisi? Kami tidak punya masalah dengan siapa- siapa. Kami hanya menegur para pemuda yang sedang minum.”
“Lalu kenapa orang-orang ini datang dan ikut campur. Apa maksudnya?” kata F.
A mengaku situasi memang sempat tenang dan kondusif. Namun, beberapa menit kemudian beberapa pemuda mulai memprovokasi dan mengintimidasi.
“Mereka bilang, ‘pukul saja,’” sambil menunjuk muka F.
Saat itu, kata A, ada sekitar dua pemuda yang hendak memukul F. Ia lalu membentak keduanya.
Saat itulah, Endi, salah satu warga mulai menarik baju A hingga sobek.
Merespons hal itu, A berkata “apa maksud kamu tarik baju saya? Saya hanya menjadi penengah.”
Sambil terus menarik baju, Endi mulai membanting tubuh A ke badan jalan. Saat itulah beberapa orang mulai datang. Salah satunya Adi yang melayangkan pukulan ke wajah A.
A, I, dan F mengidentifikasi bahwa Adi merupakan salah satu korban penganiayaan oleh Alfian Purab, anggota Polres Manggarai Barat di Deja’vu Bar 2.0 Labuan Bajo pada 22 Desember 2024. Kasus itu berakhir damai.
A mengaku mendapat pukulan bertubi-tubi dari sekelompok warga itu. Ia mencoba menangkis pukulan dengan tangan yang melindungi wajahnya.
Ia juga mencoba berdiri, tetapi sekelompok warga itu terus-terusan melayangkan pukulan.
Dalam situasi itu, ada seorang warga yang sempat melerai dan menyuruh A untuk berlari menjauhi sekelompok warga itu.
Namun, sekelompok warga lainnya mulai mengejar A dan kembali menjatuhkannya ke badan jalan.
Saat A mulai dipukul, I memanfaatkan waktu untuk melaporkan kejadian tersebut kepada keluarga A.
A kemudian berusaha berdiri dan berlari ke arah seorang warga yang dikira bisa membantunya. Namun, warga itu hanya menonton ketika sekelompok warga tersebut kembali mengejar A dan membanting tubuhnya ke badan jalan.
Endi yang ikut membanting A juga turut terjatuh, sementara Adi mulai mengambil kayu di garasi milik warga yang hendak dimintai bantuan oleh A.
Sementara Adi sibuk mencari kayu, A memanfaatkan waktu tersebut untuk lari ke rumahnya.
Bukannya berhenti, sekelompok warga itu mengikuti A dan mendatangi rumahnya.
I yang hendak melaporkan kejadian itu bertemu dengan JB, salah satu kakak A, memberitahu bahwa A “hancur karena dikeroyok orang.”
Beberapa menit kemudian JB keluar dan melihat sekelompok warga mulai mendekati rumahnya.
Ia juga melihat A berlari tanpa alas kaki dalam keadaan baju sudah terkoyak dan hidungnya berdarah. JB lalu memintanya “segera masuk ke rumah.”
Beberapa menit kemudian, F datang bersama kedua saudarinya dan langsung masuk ke rumah.
Orang terdepan di antara rombongan warga yang mendatangi rumah A adalah Adi.
Ia berteriak meminta A dan F ”segera keluar dari rumah.”
JB mengaku di depan pekarangan rumah itu terdapat lebih dari 100 orang, beberapa di antaranya memegang batu.
Ia sempat meminta kepada Adi supaya tidak masuk rumah. Beberapa menit kemudian, Endi datang dan berkata “kau kakaknya A kah?”
“Keluar dari rumah atau kami akan bakar rumah ini,” kata JB menirukan ucapan Endi.
JB berusaha menahan beberapa warga itu supaya tidak masuk ke rumah. Ia juga memanggil salah satu tetua kampung dan menanyakan responsnya terkait kedatangan rombongan warga itu.
Saat itu, kata JB, rombongan semakin bertambah, beberapa di antara mereka hanya menonton situasi itu.
Dalam situasi itu, JB melihat belasan polisi yang mengendarai dua unit mobil dalmas milik Polres Manggarai Barat datang ke rumahnya.
Ia juga melihat dua orang anggota Kamtibmas di Desa Golo Bilas muncul di pekarangan rumah. Salah satunya adalah Jon Tupen.
Jon mencoba menenangkan massa dan mengajak JB untuk berbicara di dalam rumah.
Sampai di dalam, Jon bertanya “siapa- siapa yang terlibat perkelahian?” lalu A, I, dan F mulai menjelaskan kronologi kejadian.
Bersamaan dengan itu, JB juga menelepon Mario untuk berkoordinasi terkait penanganan kasus tersebut: “Kae [kakak] ada di mana? Saya mau melaporkan kejadian.”
Mario menjawab, “saya sudah ada di lokasi kejadian,” sehingga JB memintanya masuk.
Dalam pembicaraan di dalam rumah, Mario menjelaskan kronologi kejadian menurut versinya.
Ia menuding F memaki pemilik kios, hal yang memicu perdebatan di antara keduanya.
F membantah tudingan itu dan berkata “kalaupun ada makian, tidak pernah ditujukan kepada pemilik kios, tapi kepada anak-anak yang sedang minum.”
Saat F dan Mario berdebat, tiba-tiba Stanis, orang yang mengaku sebagai tuan tanah di kompleks perumahan itu datang dan duduk di samping A dan JB.
Stanis menanyakan kronologi kejadian tersebut sambil menunjuk dan mengintimidasi F.
“Apakah ada yang membekingi kau? Saya bunuh kau nanti. Saya minum kau punya darah,” kata Stanis kepada F, tanpa menjelaskan maksudnya.
Dalam situasi itu, beberapa warga yang berdiri di dekat pintu, termasuk Adi dan Endi, menyahut dan mengintimidasi F.
Merespons situasi tersebut, sekitar enam anggota polisi yang duduk di dalam mobil dalmas masuk ke rumah dan mulai berdiskusi dengan JB terkait penyelesaian masalah tersebut.
Mereka memberi pilihan, “apakah mau damai atau diproses hukum.”
Setelah massa bubar, JB memutuskan membawa A ke RSUD Komodo.
Saat sedang di rumah sakit, Jon menghubungi salah satu kerabat A untuk menanyakan “keberadaan dan tujuan kami ke rumah sakit.”
Kepada Jon, kerabat tersebut berkata “kami datang untuk visum.”
Hasil pemeriksaan di RSUD Komodo menunjukkan terdapat luka di wajah, punggung, kepala, dan kaki A.
Usai pemeriksaan itu, JB dan kerabatnya melaporkan kejadian ini ke Polres Manggarai Barat dengan laporan bernomor LP/B/36/III/2025/SPKT/Polres Manggarai Barat/Polda NTT.
Polisi kemudian melakukan visum terhadap A di Puskesmas Labuan Bajo.
Informasi yang diperoleh Floresa dari keluarga korban, penyidik telah meminta keterangan A pada 12 Maret sekitar pukul 16.30 Wita.
Permintaan keterangan itu terjadi setelah beberapa jam sebelumnya Floresa mengontak Kasat Reskrim Polres Manggarai Barat, AKP Lufthi Darmawan Aditya.
Dalam percakapan via WhatsApp itu, Floresa meminta tanggapan Lufthi terkait “para polisi yang tidak mengambil tindakan ketika keluarga korban diintimidasi di rumah sendiri.”
Merespons hal itu, Lufthi hanya berkata “maksudnya gimana? Ada laporannya ngga?”
Floresa menjelaskan kronologi kasus tersebut secara singkat dan menyebutkan nomor laporan polisi yang dibuat oleh keluarga korban.
Ia hanya berkata, “nanti saya cek ya.”
Sibuk Jaga Motor
Mario, anggota Kamtibmas yang tinggal di Kaper mengaku bahwa saat kejadian “saya baru pulang dari kantor mengendarai sepeda motor hendak menuju rumah.”
Sampai di pertigaan menuju rumah, kata dia, “saya berhenti karena ada banyak motor, mobil, dan massa yang menghalangi jalan.”
Ia mengklaim “saya tiba di lokasi saat mereka sudah baku ribut di mana korban [merujuk pada F] memaki pemilik kios” menggunakan bahasa Manggarai.
Makian tersebut, kata dia, “tidak diterima oleh orang-orang di situ sehingga terjadilah pengeroyokan.”
“Saat pengeroyokan, saya tidak ada di lokasi. Saat saya datang, ribut di situ. Saya bilang ‘tenang-tenang saja’”, katanya kepada Floresa pada 11 Maret.
Mario mengklaim saat terjadi keributan, pemilik kios yang merupakan tetangganya berkata “jangan pukul [A], ini saya punya keluarga.”
Ia juga mengklaim korban, merujuk pada F, “mau pukul pemilik kios dan sempat memaki saya juga.”
“Tetapi, saya tidak tanggap karena berpikir dia sedang mabuk,” katanya.
Soal sikap diamnya saat melihat pengeroyokan itu, kata dia, “saya sulit melerai karena massa semakin banyak.”
“Jadi saya itu jaga saya punya motor dan mobil [yang sedang terparkir] itu, jangan sampai dilempar,” katanya.
Mario mengklaim bahkan ketika sampai di rumah, F masih memaki polisi, padahal “saya tidak ambil sikap sedikit pun.”
“Saya murni melerai saja dan memeluk mereka. Tetapi, untuk pengeroyokan terhadap saudara A, saya tidak tahu,” katanya.
Mario juga mengklaim saat keributan itu, ia menghubungi Satuan Reserse dan Kriminal Polres Manggarai Barat dan Kamtibmas di Desa Golo Bilas karena “di situ ada banyak orang.”
Ia juga mengklaim dihubungi JB, memintanya ke rumah untuk “sama-sama menyelesaikan persoalan tersebut.”
“Tidak lama kemudian, massa juga datang ke situ [rumah korban] dan saya tahan di pintu,” katanya.
“Polisi yang datang dengan mobil dalmas juga ikut jaga di rumah korban,” tambahnya.
Polisi Tidak Netral
JB, kakak korban mengaku “sangat terintimidasi oleh banyak pihak yang secara tiba-tiba datang mengerumuni kediaman kami dan massa sangat tidak terkendali.”
Apalagi, kata dia, di antara massa itu, ada orang yang mengenakan baju beratribut TNI.
Ia berkata, “kami mengira orang yang dengan kasar dan secara paksa ingin masuk ke rumah itu adalah anggota TNI.”
Belakangan, kata dia, “kami mengetahui bahwa orang itu bernama Adi,” warga Kampung Kaper yang ikut mengeroyok adiknya.
“Mulai dari kejadian pengeroyokan, saya tidak merasa kakak dan adik saya ditengahi secara baik oleh anggota kepolisian yang ada di lokasi,” katanya.
JB mengaku saat di dalam rumah, Mario juga beberapa kali “meminta pengakuan kepada kakak saya [merujuk F] untuk membenarkan adanya makian terhadap pemilik kios.”
Ia menilai tindakan oknum polisi ini “sangat tidak netral dan cenderung berpihak kepada para pelaku pengeroyokan.”
“Di sisi lain, dia [Mario] sendiri tidak mempersoalkan adik saya yang sudah dalam keadaan luka dan lebam pada beberapa bagian tubuhnya akibat dikeroyok oleh massa,” katanya.
Floresa menghubungi Jon Tupen melalui WhatsApp pada 11 Maret, meminta penjelasannya terkait kronologi kejadian tersebut.
Ia hanya berkata, “langsung hubungi saja Kasi Humas Polres Mabar.”
Floresa kembali menghubungi Jon pada 13 Maret, menanyakan terkait “sikap diamnya saat keluarga korban diintimidasi oleh seorang warga.”
Ia tidak merespons, kendati pesan yang dikirim ke ponselnya bercentang dua dan berwarna biru, tanda telah dibaca.
Editor: Ryan Dagur