Kantor Pertanahan Ungkap Ganjalan Penerbitan Sertifikat Pemkab Mabar untuk Tanah 30 Hektare di Kerangan

Ada rencana mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terkait adanya putusan perdata di atas aset tanah itu

Floresa.co – Kantor Pertanahan di Kabupaten Manggarai Barat mengungkap ganjalan untuk menerbitkan sertifikat bagi Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat atas tanah seluas 30 hektare di Kerangan/Tarro Lema Batu, kendati sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap terkait keabsahan kepemilikannya.

Tanah tersebut menjadi objek konflik beberapa tahun silam setelah sejumlah individu mengklaimnya. Proses hukum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemudian menyeret sejumlah orang ke penjara, termasuk mantan Bupati Manggarai Barat, Agustinus Dula.

Badan Pertanahan Nasional Manggarai Barat [BPN Mabar] mengakui masalahan tanah tersebut memang telah sampai pada putusan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht dari Mahkamah Agung yang mengesahkan kepemilikannya oleh pemerintah.

Kejaksaaan Tinggi Provinsi NTT juga telah mengeksekusi putusan itu.

Namun, kata BPN dalam keterangan yang diterima Floresa pada 13 Maret, di lokasi yang sama terdapat gugatan perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo.

Gugatan dengan nomor perkara 4 Pdt.G/2021/PN.Lbj itu sudah sampai pada putusan yang “pada pokoknya memutuskan sertifikat adalah sah milik penggugat.”

Di sisi lain, Pemkab Manggarai Barat [Mabar], kata BPN, telah mengajukan permohonan pembatalan sertifikat itu.

Menyikapi permohonan tersebut, Kantor BPN Mabar telah melaksanakan koordinasi dengan Pemkab Mabar, juga memohon petunjuk kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi NTT “berkaitan dengan adanya perbedaan putusan pidana korupsi dan putusan perdata.” 

Meski tak secara gamblang disampaikan, BPN Mabar merekomendasikan pemerintah untuk tak sekedar mengajukan permohonan pembatalan putusan gugatan perdata, tetapi mesti ada upaya hukum ke pengadilan.

Hal tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 38 ayat [2] Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

Menurut ketentuan tersebut, pembatalan produk hukum sebagai pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ditindaklanjuti oleh BPN jika amarnya menyatakan batal/ tidak sah/ tidak mempunyai kekuatan. 

Dengan demikian, kata BPN Mabar, terhadap putusan pengadilan yang tidak menyatakan amar putusan sebagaimana ditentukan tersebut, perlu dilaksanakan upaya hukum sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.” 

Siapa Penggugat Perkara Nomor 4 Pdt.G/2021/PN.Lbj?

Penelusuran Floresa, gugatan perkara nomor 4 Pdt.G/2021/PN.Lbj, yang merupakan gugatan perbuatan melawan hukum sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada 28 Juli 2021.

Penggugat adalah Ismail Hirawan dan Kevin Natasaputra. 

Kedua warga asal Kota Bandung, Jawa Barat ini menggugat penyitaan tanah Kerangan oleh Kejaksaan Tinggi NTT, sesuai berita acara penyitaan tertanggal 10 dan 11 Desember 2020.

Tergugat adalah Kejaksaan Tinggi NTT, warga Dai Kayus dan Lalu Muhamad Supriandi, pejabat pembuat akta tanah.

Selain itu, tergugat lainnya adalah Kelurahan Labuan Bajo dan BPN Mabar.

Selain meminta perlindungan hukum sebagai pembeli beritikad baik, gugatan penggugat juga untuk “mempertahankan hak” atas aset tanah seluas 12.020 meter persegi yang sudah memiliki sertifikat hak milik dengan nomor 02482/Labuan Bajo.

Ismail Hirawan dan Kevin Natasaputra membeli atas tanah tersebut dari Dai Kayus, dengan akta jual beli Nomor 170/2017 pada 9 Agustus 2017. 

Akta jual beli itu dibuat dihadapan pejabat pembuat akta tanah, Lalu Muhamad Supriandi.

Berdasarkan akta tersebut, BPN Mabar kemudian melakukan balik nama atas aset itu sehingga menjadi milik kedua penggugat.

Selain mendapatkan sertifikat dan akta jual beli, kedua penggugat juga mendapatkan dokumen berupa surat bukti penyerahan tanah tertanggal 10 Oktober 1986 dengan Dai Kayus sebagai penerima dan surat pernyataan tanah tidak dalam sengketa yang dibuat oleh Dai Kayus pada 21 Februari 2015.

Surat ini juga diperkuat juga oleh surat keterangan kepemilikan tanah dan pernyataan tanah tidak dalam sengketa nomor: Pem.593/KLB/290/II/2015 tertanggal 21 Februari 2015 dari Kelurahan Labuan Bajo.

Atas gugatan perbuatan melawan hukum itu, Pengadilan Negeri Labuan Bajo kemudian memutuskan antara lain, menyatakan akta jual beli nomor 170/2017 tertanggal 9 Agustus 2017 adalah “sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

Karena itu, majelis hakim juga menyatakan Sertifikat Hak Milik [SHM] Nomor 02482 seluas 12.020 meter persegi adalah  “sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat milik penggugat.”

Dalam pengusutan tindak pidana korupsi pengelolaan aset seluas 30 hektar milik Pemkab Mabar, yang menyeret belas orang ke penjara, Ismail Hirawan sudah pernah diperiksa sebagai saksi oleh tim penyidik Kejaksaan Tinggi NTT pada 10 Desember 2020.

Siapa Dai Kayus?

Dai Kayus merupakan salah satu terdakwa dalam kasus Tanah Kerangan/Torro Lemma Batu Kallo.

Berdasarkan dokumen putusan salah satu terdakwa yang diakses Floresa, pada 21 Februari 2015 Dai Kayus dan Mahmud Nip mengajukan permohonan SHM ke BPN Mabar, masing-masing untuk tanah seluas 5.000 meter persegi, berdasarkan alas hak dari Usman Pota tahun 1989. 

Dalam permohonan itu, lokasi tanahnya di Wae Cicu Utara, bukan di Kerangan/Torro Lemma Batu Kallo. 

Sebelum terbit sertifikat, tanah Dai Kayus ini sudah dicarikan pembelinya oleh Afrizal alias Unyil dan Maria Sri Kandi alias Ibu Kendi kepada Ismail Hirawan dengan harga Rp300 ribu per meter persegi.

Ismail Hirawan menyetujui rencana membeli tanah tersebut dengan memberi tanda jadi Rp 50 juta kepada Maria Sri Kandi melalui Afrizal.

Afrizal yang diketahui bekerja sebagai koki di sebuah restoran di Labuan Bajo adalah calo tanah yang juga menjadi terpidana dalam kasus Kerangan.

Ia kemudian memberikan uang tersebut orang bernama Alfandri alias Andi yang bertugas mengurus data yuridis ke Kelurahan Labuan Bajo dan Kecamatan Komodo, termasuk juga untuk permohonan sertifikat atas nama Muhamad Nip.

Atas permohonan alas hak dari Dai Kayus dan Mahmud Nip, Camat Kecamatan Komodo, Abdullah Nur – juga terpidana dalam kasus Kerangan – melaporkan ke Bupati Mabar saat itu, Agustinus Ch Dula bahwa objek tanah yang dimohonkan itu berada di atas tanah Pemkab Mabar.

Namun, Dula tetap menyetujui agar permohonan alas hak itu ditandatangani. 

Abdullah Nur kemudian menandatangani data yuridis atas nama Dai Kayus dan Mahmud Nip.

Kepala BPN Mabar saat itu, Marthen Ndeo – juga terpidana dalam kasus Kerangan –  kemudian menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Pemberian SHM atas nama Dai Kayus dan Mahmud Nip tanpa menguji data yuridis dan data fisiknya.

Anehnya, meski Dai Kayus dan Mahmud mengajukan permohonan SHM untuk luas 5.000 meter persegi. 

Namun,dalam SHM Nomor 02482 yang diterbitkan BPN Mabar, luas tanah Dai Kayus menjadi 12.020 meter persegi, sementara Mahmud Nip dengan nomor 02490 menjadi 8.824 meter persegi. 

SHM atas nama Mahmud Nip ini kemudian dibatalkan karena dipecah menjadi dua yaitu SHM nomor 02492 seluas 6.094 meter persegi dan SHM nomor 02493 seluas 2730.

Ismail Hirawan membeli tanah dengan SHM Nomor 02482 seluas 12.020 meter persegi dari Dai Kayus seharga Rp3.606.000.000.

Namun, uang tersebut tak utuh diterimanya. Ia hanya mendapat Rp800 juta dan anaknya bernama Mursalim Rp100 juta.

Selebihnya, uang itu mengalir ke sejumlah pihak, yaitu Alfandri alias Andi Rp735 juta, Afrizal Rp370 juta, Erlan Yusran selaku penasehat hukum Dai Kayus saat gugatan perdata Rp120 juta, Maria Sri Kandi alias ibu Kendi Rp370 juta, pembayaran untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan [BPHTB]  melalui orang bernama Siraturrahmi sebesar Rp60 juta. 

Padahal, biaya BPHTB  hanya Rp13.227.000.

Selain itu, uang pembelian tanah itu juga diterima oleh orang bernama Ente Puasa senilai Rp100 juta dan Mathius Saniang Naga Siagian-seorang penguasan hotel di Labuan Bajo- Rp581 juta.

Pemerintah Bakal Ajukan Gugatan Pembatalan

Sekda Manggarai Barat, Fransiskus Sales Sodo, mengatakan sedang berproses menerbitkan sertifikat untuk atas lahan seluas 30 hektar itu “sesuai ketentuan.” 

“Kami sedang bekerja dan berkoordinasi dengan BPN. Semua mekanisme sesuai ketentuan akan diikuti dengan benar,” katanya kepada Floresa pada 13 Maret.

Untuk SHM milik pihak lain di atas tanah itu, termasuk SHM milik Ismail Hirawan, Sodo berkata, akan diajukan pembatalan melalui proses hukum Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN].

Namun, saat ditanya gugatan ke PTUN, Sodo menyebut “belum, masih dipersiapkan.”  

Sebelumnya, Sodo berkata kepada Floresa “kami sudah mencatat tanah tersebut menjadi aset daerah.”

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA