Ruteng, Floresa.co – PT Aditya Bumi Pertambangan (ABP) mendesak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (Pemkab Matim) segera menyelesaikan konflik horisontal yang terjadi di kampung Tumbak, Desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda.
Desakan tersebut diungkapkan, Ferianto Santoso, Manager PT. ABP kepada Floresa, Rabu (13/8/2014) lalu di Reo, ibukota Kecamatan Reok.
Menurut Santoso, pihaknya sudah mendapat persetujuan Pemkab Matim untuk melakukan operasi produksi Mangan di Tumbak melalui keputusan bupati nomor: HK/81/2009 tanggal 27 Agustus 2009.
Karena itu, lanjut Ferianto, Pemkab Matim wajib proaktif mengkawal seluruh aktivitas perusahan dan segera menyelesaikan konflik horisontal masyarakat lingkar tambang sesuai amanah UU nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) khususnya pasal 134.
“Pemerintah wajib proaktif untuk menyelesaikan konflik horisontal di Tumbak,” tegas Santoso.
Lebih lanjut tutur dia, konflik berkepanjangan lantaran Pemkab Matim belum memediasi kedua pihak, yaitu kubu kontra tambang dan pro tambang).
Di tengah situasi konflik masyarakat yang sangat kritis, Pemkab Matim masih saja apatis dalam menyelesaikan konflik di Tumbak.
Sikap masa bodoh dan tidak bertanggung jawab tersebut diakui juga, Rikardus Hama (52) salah satu warga kontra tambang saat dijumpai di Kampung tersebut.
Rikardus mengatakan, sejak penerbitan izin pada 2009 silam, Pemkab belum pernah mendatangi warga Tumbak. Bahkan, kata dia, pemerintah belum pernah mensosialisasikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau sejenisnya sebelum penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Kami masih tunggu kehadiran pemerintah di sini, supaya kasus kami segera terselesaikan. Sampai saat ini mereka belum datang di kampung kami,” tutur Hama.
Apalagi, lanjut Rikardus, ketika dirinya dipenjara selama tiga bulan lantaran terlibat melarang perusahan ABP, ia merasa Pemkab Matim sudah membuang warga Tumbak. Sebab, menurutnya pihak perusahan ABP mengangkangi kesepakatan awal dengan warga terkait pembukaan jalan baru menuju lokasi tambang.
“Jalan yang sudah dikasih warga sesuai persetujuan dilepaskan. Tetapi mereka (Perusahan APB-red) malah mulai buka jalur baru di luar kesepakatan. Itu saya saksikan sendiri ketika pulang dari penjara,” kata Rikardus.
Rikardus dan warga tolak tambang lainnya berjanji akan terus menolak aktivitas pertambangan walaupun nyawa mereka sebagai taruhannya.
Menurut dia, pemerintah sebatas memfasilitasi dengan memediasi dan mencari solusi agar tidak terjadi konflik antara sesama masyarakat dan juga masyarakat dan investor.
Kegiatan fasilitasi persoalan yang terjadi di Tumbak, jelas Tote sudah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Matim.
“Sebelum ada desakan dari pihak lain, Pemerintah Matim sudah lakukan mediasi terkait persoalan di Tumbak. Kalau masalah tanah itu urusan masyarakat dan investor, pemerintah hanya memediasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” katanya.
Tote mengatakan, soal lingkungan pemerintah tentu mengajak semua pihak untuk diselesaikan dengan lakukan reklamasi supaya tanah bisa dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.
Ia pun meminta semua elemen masyarakat untuk tidak berpikir yang aneh atau mencurigai yang tidak-tidak terhadap dirinya dan juga kebijakan Pemerintah Matim terkait aktivitas pertambangan di daerah tersebut, karena menganggap apa yang dituding dan dicurigai itu sangat salah besar.