Floresa.co – Pihak Dinas Pertambangan, Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menegaskan, urusan mencabut atau tidak mencabut sebuah Izin Usaha Pertambangan (IUP) merupakan kewenangan bupati.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Boni Marisin, Kepala Bidang Pertambangan di Dinas ESDM NTT menjawab pertanyaan Flores Bangkit terkait adanya desakan massa yang berunjuk rasa di Ruteng pada 13 Oktober lalu, menuntut pencabutan IUP di Kabupaten Manggarai.
“Karena bupati yang mengeluarkan IUP di Manggarai maka dia yang berhak mencabutnya”, kata Boni. “Itu kewenangan Bupati. Dan, Pemerintah Propinsi dalam hal ini Dinas Pertambangan Provinsi NTT tidak memiliki kewenangan untuk itu.”
Boni menegaskan, pihak propinsi sudah memberikan arahan kepada para bupati dan walikota se-NTT agar dalam mengeluarkan IUP tidak menyusahkan masyarakat di sekitar lokasi tambang.
“Pada prinsipnya, usaha itu harus memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat,” ungkapnya.
Sebagaimana diberitakan Floresa sebelumnya, menjawab desakan massa yang berunjuk rasa di Ruteng, Bupati Manggarai Christian Rotok menegaskan, tidak akan mencabut IUP, sebelum Undang-Undang Pertambangan Nomor 4 tahun 2009, direvisi. (Baca: Diminta Tanda Tangan Pernyataan Tolak Tambang, Bupati Rotok Menolak)
Ia mengatakan, sebagai bupati dirinya sudah bersumpah untuk menaati seluruh tata perundang-undangan yang berlaku.
“Jika kita berjuang tolak tambang maka harus libatkan anggota DPR kita, agar UU Pertambangan jangan berlaku universal di seluruh Indonesia,” tegasnya.
Ia menambahkan, jika ia menanda tangani pernyataan penolakan terhadap pertambangan, maka hal itu tidak memiliki dampak hukum bagi keberadaan UU Pertambangan yang berlaku di seluruh Indonesia.
Karena itu, ia mengajak para demonstran berdiskusi bersama dengan pemerintah daerah untuk membuat pernyataan penolakan tambang yang lebih akademis agar dikirim ke pusat.
Terhadap pernyataan Rotok saat itu, Edi Danggur, Dosen di Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta menyatakan kritik pedas.
Menurutnya, Rotok memperlihatkan diri kepada rakyat seperti Pilatus yang mencuci tangan dan melemparkan kesalahan pada orang lain, baik pemerintah pusat, DPR, bahkan menyalahkan UU. (Baca: Edi Danggur: Rotok Tidak Memahami Perannya Sebagai Bupati)
“Di samping itu, pernyataan-pernyataan Rotok mencerminkan bahwa dia tidak memahami esensi otonomi daerah dan perannya sebagai bupati di era otonomi daerah”, kata Edi,
Ia menjelaskan, sejalan dengan diundangkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian telah diubah dengan UU No 32 Tahun 2004, bupati telah diberi kewenangan yang luas dalam bidang pemerintahan.
“Khusus untuk urusan bidang pertambangan pun, pemerintah pusat, dalam hal ini presiden yang adalah atasan Rotok telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 75 Tahun 2001. Dalam PP tersebut, kewenangan dalam urusan pertambangan itu sepenuhnya kewenangan bupati, yang meliputi kewenangan untuk menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) ataupun tidak menerbitkan IUP”, jelas Edi.
Kepada Floresa, ia menegaskan, Rotok sesungguhnya tidak memahami tugas sebagai seorang bupati.