Floresa.co – Kabar kedatangan Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR RI ke Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur ramai dibicarakan, di mana sikap warga terbelah, antara pro dan kontra.
Sikap kontra terhadap Fahri dipicu oleh alasan bahwa selama ini ia telah menyampaikan pernyataan-pernyataan kontroversial, sementara yang pro menilai kehadirannya tidak perlu dirisaukan, selain karena merupakan haknya untuk mengunjungi daerah mana pun, penolakan terhadapnya juga dianggap sebagai bentuk tindakan intoleran.
Fahri rencananya membawakan orasi kebangsaan dalam acara deklarasi Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) pada Kamis, 18 Oktober 2018, di Hotel Sotis Kupang.
Yandri Nawa dari Brigade Meo, salah satu organisasi kemasyarakatan di Kupang mengatakan pada Senin, 15 Oktober 2018, kelompoknya menolak kehadiran Fahri karena kerap mengeluarkan pernyataan yang berpotensi menghancurkan kedamaian dan keutuhan bangsa.
“Sebagai anggota DPR RI, Fahri bukannya menyampaikan pesan yang mempersatukan bangsa, bukannya menunjukkan teladan dalam hal saling menghargai antara lembaga dan sesama anak bangsa, tapi seringkali mengeluarkan pernyataan provokatif,” katanya, seperti dikutip Tempo.co.
Ia menyatakan, mereka berencana menggelar aksi unjuk rasa penolakan, selain dengan mengirim surat pernyataan penolakan kepada Kapolda NTT, dengan tembusan ke Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).
Pihaknya juga menyatakan akan menduduki, menolak, dan memulangkan Fahri dari Bandara El Tari Kupang serta menyisir semua hotel yang berada di Kota Kupang untuk memastikan Fahri tidak lolos atau diloloskan secara diam-diam.
Sementara itu, Marlin Bato, yang menyebut diri dari Benteng Merdeka Nusantara (BENTARA) menyatakan, Fahri Hamzah “memiliki rekam jejak penuh kontroversi, dan kerap membuat gaduh seisi republik dengan komentar-komentar sinis, pedas dan mengandung hiperbola.”
“Selain itu, Fahri Hamzah juga tidak menolak atau bahkan kerap mendukung gerakan-gerakan intoleran, ormas dari kelompok-kelompok radikal. Terbukti selama ini tak pernah satu pun pembelaan yang keluar dari mulut Fahri untuk masyarakat kecil yang terzolimi akibat ulah ormas-ormas maupun kelompok-kelompok radikal,” kata Marlin dalam sebuah pernyataan.
“Padahal, jabatan wakil rakyat yang melekat seharusnya mengayomi masyarakat, tetapi itu tidak dilakukan,” lanjutnya,
Ia menyebut, Fahri malah sering mengeluarkan pernyataan berbau provokatif yang mengandung unsur pemecah belah anak bangsa.
Beda halnya Yandri dan Marlin, Pius Rengka, pengamat politik dan budayawan NTT menyebut, rencana kedatangan Fahri semestinya tidak dipersoalkan.
“Dia datang entah dalam kapasitas apapun adalah hak asasinya mau ke mana di tanah air. Sama seperti kita orang NTT, mau ke manapun di negeri ini, silakan saja,” tegasnya.
Ia pun menyebut, penolakan terhadap Fahri justeru membuat gelar Kupang sebagai kota toleran kehilangan maknanya.
“Ketika kabar kedatangannya telah menjadikan khalayak di Kupang meruak sejadi-jadinya, saya jadinya tidak mengakui ini kota toleran. Ini kota hanya pseudo toleran,” katanya lewat sebuah postingan di akun Facebook.
“Andaikan saja, Fahri bawa ide segila apa pun, di Kupang ini banyak pemikir gila segila-gilanya yang cemerlang dan cerdas. Di Kupang ini banyak pemikir kelas wahid, yang mungkin boleh diajak dialog dengan Fahri. Marilah kita menggelar diskursus tentang hidup ini, sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya tanpa didahului dengan dengki dan benci,” tambah Pius.
ARL/Floresa