“Jangan Hanya Proses Etik!” Desakan Kompolnas Terkait Tindakan untuk Polisi yang Tembak Mati Warga NTT

Kompolnas juga mengingatkan bahwa kasus ini mesti diproses “secara profesional, transparan, dan akuntabel.”

Floresa.co – Komisi Kepolisian Nasional [Kompolnas] mengingatkan Polri untuk menangani secara serius kasus penembakan yang menewaskan seorang warga sipil di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT].

“Jika kasusnya diduga merupakan tindak pidana, maka pelaku harus diproses pidana. Jangan hanya proses etik, agar ada efek jera”, kata Poengky Indarti, komisioner Kompolnas.

Dalam pernyataannya kepada Floresa.co, Kamis, 29 September 2022, Poengky juga mengingatkan bahwa kasus ini mesti diproses “secara profesional, transparan, dan akuntabel.”

GYL, pemuda berusia 18 tahun, warga Dusun Motamaruk, Desa Tasain, Kecamatan Raimanuk, ditembak mati pada Selasa, 29 September 2022 oleh Tim Gabungan Satuan Reserse Kriminal dan Satuan Intelkam Polres Belu.

Menurut polisi, penembakan itu dilakukan setelah GYL mencoba melarikan diri saat hendak ditangkap sebagai tersangka kasus pengeroyokan terhadap sopir truk tangki air yang terjadi. Ia sudah masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang [DPO] kasus yang terjadi pada 6 September itu.

Kapolres Belu, AKBP Yosep Krisbiyanto menyatakan mereka saat ini sudah menahan Roger Roy Sonbay, oknum polisi  yang diduga melakukan penembakan untuk diperiksa yang melibatkan tim dari Polda NTT.

Poengky mengatakan, meskipun GYL adalah DPO, “hak-hak yang bersangkutan untuk diperlakukan secara humanis tetap harus dipenuhi.”

Ia menguraikan bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan pada pasal 8, senjata api hanya dapat digunakan dalam tiga situasi, yakni tindakan pelaku kejahatan dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau masyarakat; anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan; dan anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

“Jika GYL melarikan diri dengan cara membahayakan nyawa masyarakat sekitar atau polisi, misalnya dengan melakukan tembakan-tembakan atau dengan mengendarai mobil sambil menabrak, barulah polisi dapat melakukan tembakan melumpuhkan, bukan membunuh!”, ungkapnya.

“Jika melarikan diri tanpa membahayakan masyarakat sekitar dan polisi, maka ia hanya perlu ditangkap tanpa ditembak,” katanya.

Terkait kronologi peristiwa penembakan ini, sejauh ini polisi dan saksi mata dari pihak keluarga korban memang memberi kesaksian yang berbeda.

Kabid Humas Polda NTT Kombes Pol Ariasandy mengatakan, penembakan dilakukan saat Eton berusaha melarikan diri, yang membuat polisi langsung melepaskan tembakan peringatan.

Karena tidak mengindahkan tembakan itu dan terus melarikan diri, kata dia, salah satu anggota polisi langsung menembak ke arah kaki korban. Tembakan tersebut ternyata mengenai punggung kanan korban karena ia sedang dalam keadaan menunduk.

Sementara menurut YT, kakek korban dan saksi mata mengatakan Eton tidak melarikan diri ketika polisi tiba di rumahnya karena cucunya itu sedang membantu mengerjakan renovasi lantai rumah.

Kedatangan sekelompok polisi itu, kata dia, tanpa mengenakan pakaian dinas dan tidak diketahui oleh korban dan saksi mata lainnya.

“Ketika mereka tiba, mereka langsung bilang, ‘jangan lari,’ makanya kami bingung dan saya sempat bilang ke korban ini, ‘jangan keluar, nanti baru saya yang keluar supaya atur.’” Katanya.

Namun, tambahnya Eton tetap keluar dan saat itulah ia langsung ditembak polisi.

Saksi mata lainnya mengatakan, ia mendengar bunyi tembakan berulang kali, sebelum kemudian mengenai korban.

“Saat [tembakan] di luar [rumah] itu baru tembakan kena, yang pertama pas dia keluar [dari dalam rumah] tidak kena,” ungkapnya.

Poengky menyatakan, untuk mencegah terulangnya peristiwa seperti ini, anggota Polri khususnya penyelidik dan penyidik harus memahami dan melaksanakan KUHAP, Perkap nomor 1 tahun 2009 serta Perkap nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

Selain itu, lanjutnya, penyidik dan penyelidik juga perlu dibekali kamera badan agar tindakan mereka dapat diawasi demi meminimalisasi pelanggaran HAM dalam proses penangkapan, penahanan dan interogasi.

“Di ruang interogasi, diharapkan dipasang CCTV, video camera dan recorder untuk memastikan penyidik menjunjung tinggi HAM dalam melakukan penyidikan”, ungkapnya.

Selain itu, “hukuman sesuai kesalahan dan pembenahan-pembenahan perlu dilakukan agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi dan anggota Polri benar-benar menjadi Polri Presisi,” katanya menyinggung slogan yang selalu digaungkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, singkatan dari prediktif, responsibilitas dan transparansi.

PMKRI: Senjata Bukan Untuk Gagah-gagahan

Sementara itu, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI] mendesak perlunya pembenahan di dalam lembaga kepolisian dan menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran.

Agustinus Neno, Ketua Presidium PMKRI Cabang Atambua mengataka kepolisian mesti melakukan evaluasi terkait tugas polisi, termasuk tanggung jawab penggunaan senjata agar bisa menciptakan rasa aman di tengah masyarakat.

“Hal ini agar poin dan pesan tersampaikan bahwa kepemilikan memegang senjata bukan untuk gagah-gagahan dan urusan pribadi, namun untuk menjaga keamanan dan keharmonisan masyarakat,” ungkapnya sebagaimana dilansir Kabarntt.co.

Senada dengan itu, Ketua Presidium PMKRI Cabang Kupang, Marianus Humau mengatakan kasus penembakan ini membuatnya teringat dengan kasus penembakan oleh Ferdy Sambo, Kepala Divisi Propam Polri yang dipecat setelah menjadi tersangka pembunuhan terhadap bawahannya.

“Terduga oknum polisi pelaku penembakan ini mungkin terinspirasi dari kasus Ferdy Sambo [FS].  Kalau FS menembak sesama anggota polisi, sementara oknum anggota polisi di Belu menembak masyarakat sipil”, ungkap Marianus sebagaimana dikutip Portalntt.com.

Kasus ini, tambahnya “tentu menambah catatan preseden buruk institusi Polri.”

“Jikalau ini dibiarkan maka citra institusi Polri akan semakin busuk dan kehilangan kepercayaan masyarakat,” katanya.

Ia juga menyatam, kasus ini mesti ditangani secara jujur, professional, dan transparan, serta menindak tegas pelaku sesuai ketentuan undang-undang.

Mewakili organisasinya, ia mendesak agar Kapolri mencopot Kapolres Belu dan Kapolda NTT “jika kasus ini tidak diselesaikan dengan cepat, jujur, professional, dan transparan.”

Bukan Kasus Pertama

Kasus penembakan berujung kematian ini menambah panjang daftar kekerasan polisi terhadap warga sipil di NTT.

Pada 27 Maret 2018, kasus penembakan yang berujung korban nyawa juga menimpa Ferdinandus Taruk, pemuda 24 tahun asal Sondeng, Kelurahan Karot, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. Ia ditembak mati pada tengah malam saat sedang asyik bercengkerama dengan rekan-rekannya di Sondeng.

Setelah menunggu waktu yang cukup lama, Polres Manggarai menetapkan Bripda Vinsensius Pontianus Dhae [24] dari Unit Sabhara Polres Manggarai sebagai tersangka. Ia kemudian dihukum penjara 1,5 tahun.

Selain itu, penembakan oleh polisi juga terjadi di Sumba Barat pada tahun 2018. Poro Duka [45], warga Desa Patiala Bawa, sebuah desa di pesisir Marosi, sebelah barat Pulau Sumba yang menjadi korban. Ia ditembak saat PT Sutra Maronis, perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, secara sepihak melakukan pengukuran atas tanah adat mereka.

Masih di Sumba Barat, di Polsek Katikutana, seorang polisi juga menganiaya tahanan bernama Arkin hingga tewas pada 9 Desember 2021. Korban yang sebelumnya ditangkap di rumahnya lantaran diduga mencuri ternak dan menganiaya korbannya, mengalami memar pada wajah dan tangan, hidung mengeluarkan darah, tangan kiri patah dan mirip luka tembakan.

Kasus lainnya juga terjadi di Labuan Bajo pada awal 2020. Sekelompok pemuda dianiaya anggota Polres Manggarai Barat karena dianggap tidak mengindahkan larangan untuk berkumpul demi mencegah penyebaran Covid-19. Akibat pemukulan itu, setidaknya tiga pemuda mengalami luka parah di bagian wajah dan kepala bagian belakang.

Pada 2022, tindakan yang sama juga dilakukan oleh aparat di Manggarai Barat. Pelaku wisata yang melakukan aksi mogok untuk menentang komersialisasi dan monopoli bisnis di Taman Nasional Komdodo [TNK] pada 1 Agustus 2022, ditangkap dan dipukul.

Secara nasional, merujuk pada data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasang [KontraS], pada 2020, terdpat 304 korban tewas dan 1.627 luka-luka dalam 921 insiden kekerasan oleh polisi.

Pada tahun 2021, masih menurut lembaga itu, polisi melakukan 652 tindakan brutal terhadap warga sipil, yang menyebabkan 13 kematian dan 98 luka-luka, sebagian besar karena penggunaan kekerasan yang berlebihan dan penembakan sewenang-wenang.

Tim Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA