Floresa.co – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur mengungkap perbedaan pandangan jaksa dan hakim terkait letak kesalahan Gregorius Jeramu, warga yang kini menjadi terdakwa.
Dalam sidang pekan lalu, Wati Juniati, Ketua Majelis Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi [Tipikor] Kupang mengatakan, titik persoalan dalam kasus ini ialah Gregorius sebagai pemilik tanah menerima pembayaran dua kali dari proses pengadaan tanah yang kini sudah menjadi aset pemerintah itu.
“Jadi, di sini kita masyarakat bukan mempermasalahkan sertifikat yang sudah jadi, tetapi pengeluaran uang negara sampai dua kali [dalam] dua tahun,” kata Hakim Juniarti saat agenda pemeriksaan saksi dalam sidang Senin, 20 Februari 2023.
Roberto Simarmata, dosen hukum agraria Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dihadirkan pihak Gregorius dalam sidang sebagai saksi ‘a de charge’ atau saksi yang meringankan.
Dalam dokumen yang diperoleh Floresa, dana yang diterima Gregorius berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah [APBD] Kabupaten Manggarai Timur tahun anggaran 2012 dan dari APBD Perubahan Tahun 2013.
Pembayaran tahap I dari APBD Tahun 2012 adalah Rp 294.000.000. Untuk tahap II, pemerintah menganggarkan Rp 127.000.000 dan Gregorius mendapat Rp121.227.273 setelah dipotong pajak 5%.
Pascatransaksi tahap II tersebut, terminal kemudian dibangun di tanah itu. Pada 2019, Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur lalu membuat sertifikat atasnya.
Hakim Juniati berpendapat, pembayaran dua tahap tersebut merupakan masalah utama dalam kasus ini.
Sementara, proses pengadaan tanahnya, poin yang menjadi dakwaan pihak kejaksaan terhadap terdakwa Gregorius, kata Hakim Juniati, sama sekali tidak bermasalah.
“Kalau pengadaan tanahnya sih ga masalah. Jadi, kerugian negaranya itu di situ [pembayaran dua tahap],” tuturnya.
Ia menjelaskan, masalahnya adalah pada “pengeluaran keuangan negara dua tahun berturut-turut dan itu ada penyimpangan-penyimpangan dia.”
Namun, Hakim Juniarti, tidak menyebutkan secara rinci penyimpangan yang dimaksud.
“Kalau tanah ini pasti milik negara, sudah muncul sertifikat, tetapi pengeluaran keuangan negara untuk mendapatkan tanah ini yang kita sidangkan di sini. Masalahnya di situ,” ujarnya.
Hakim Juniarti kemudian menyatakan, masalah ini dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi karena negara mengeluarkan uang secara tidak wajar.
“Bukan karena perolehannya, tetapi pengeluaran keuangan negara itu wajar tidak seperti ini. Itulah prosedur yang dilalui oleh mereka, bukan perolehan tanah itu,” katanya.
“Kok, sampai banyak uang keluar untuk itu,” tambahnya.
Sementara, Simarmata dalam kesaksiannya mengharapkan pengadilan untuk mencari tahu apakah tindakan Gregorius “menerima uang ganti rugi” dari Pemda Kabupaten Manggarai Timur sebagai sebuah “tindak pidana korupsi” jika disandingkan dengan peraturan perundang-undangan pengadaan tanah.
“Tinggal mencari, apakah terdakwa termasuk yang memenuhi unsur [korupsi] dan dilihat dari peraturan perundang-undangan pengadaan tanah,” katanya.
Ia juga menegaskan agar pengadilan melihat hubungan antara cara Gregorius memperoleh tanah tersebut dengan kerugian negara sebelum menjatuhkan putusan.
“Silakan majelis hakim melihat fakta-faktanya,” katanya.
Dakwaan Jaksa
Dari rekaman persidangan dan dokumen yang diakses Floresa, pendapat Hakim Juniati terkait kesalahan Gregorius dalam kasus ini berbeda dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum [JPU].
Menurut JPU, dana ganti rugi yang bersumber dari APBD Kabupaten Manggarai Timur itu diberikan kepada orang yang tidak berhak.
Karena itu, demikian menurut dakwaan, Gregorius yang tidak memiliki bukti kepemilikan atas tanah itu dikategorikan sebagai pihak yang tidak berhak mendapatkan ganti kerugian.
“Dari hasil pemeriksaan Tim Audit Inspektorat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai APIP [Aparat Pengawas Internal Pemerintah] telah menghitung kerugian keuangan negara atau daerah dalam perkara tersebut sebesar Rp 402.245.455,” demikian diuraikan dalam dakwaan JPU.
“[Jumlah tersebut] merupakan kerugian total loss atas pengadaan tanah karena pembelian dari saudara saksi Gregorius Jeramu tidak mempunyai bukti kepemilikan yang sah, hal mana bentuk kerugian atau penyimpangan tersebut berupa pengeluaran suatu sumber atau kekayaan yang seharusnya tidak dikeluarkan,” demikian lanjutan bunyi dakwaan tersebut.
Selain dalam dakwaan, saat pemeriksaan saksi lain yang yang meringankan Gregorius, JPU juga selalu mempersoalkan bukti kepemilikan tanah Gregorius.
“Pada saat itu [pembelian], apa alas hak tanahnya? [Perjanjian] lisan aja atau ada dokumen PBB? Apa alas haknya? Apa Ibu yakin Bapak Gregorius yakin pemilik lahannya di tahun 2002?” demikian pertanyaan salah satu JPU kepada saksi Fransiska Nurhaida, pada 13 Februari lalu.
“Tidak tanya. Saya tidak tanya,” jawab Fransiska.
Fransiska adalah pemilik tanah yang berbatasan langsung dengan tanah terminal tersebut. Tanah itu ia diperoleh dari Gregorius sekitar tahun 2002.
“Tahu gak, Bapak Goris dapatnya dari siapa, garapankah atau tanah warisan?” JPU kembali melemparkan pertanyaan.
“Tanah itu [warisan] dari orang tuanya,” tegas Fransiska.
Selain Fransiska, saksi lain yang juga saat itu diperiksa adalah Ignasius Naleng.
Seperti Fransiska, ia mengakui bahwa tanah yang kini didirikan terminal yang mubazir itu ialah milik Gregorius.
Mensi Anam, kuasa hukum Gregorius menyatakan bahwa tidak tidak ada unsur korupsi yang dilakukan oleh kliennya selama proses pengadaan tanah itu.
Tanah itu, kata dia, diperoleh dari orang tua Gregorius sejak 1981 dan tidak pernah bersengketa dengan pihak manapun.
Meski saat pemerintah membeli tanah tersebut, dokumen yang dikantongi oleh kliennya hanya berupa SPT Pajak Bumi Bangunan [PBB], kata Mensi, tidak ada kendala saat proses jual beli, khususnya terkait alas hak.
Hal yang sama, jelas dia, juga terjadi saat pemerintah mengajukan permohonan sertifikat di Badan Pertanahan Nasional setempat pada tahun 2019, di mana pihak BPN tidak mempersoalkan alas haknya.
Apalagi, kata dia, di atas tanah itu sudah dibangun gedung terminal, dan didaftarkan sebagai aset pemerintah daerah.
Sidang berikut kasus ini akan digelar pada 3 Maret.
Terminal yang Mubazir
Terminal Kembur awalnya direncanakan untuk menjadi penghubung bagi angkutan pedesaan dari daerah di wilayah utara Borong, ibukota Manggarai Timur dengan angkutan khusus menuju Borong.
Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi menghabiskan anggaran sebesar Rp 4 miliar untuk pembangunannya, di mana Rp 3,6 miliar adalah untuk pembangunan fisik terminal mulai tahun 2013 sampai 2015.
Namun, usai dibangun, terminal itu tidak dimanfaatkan dan kini dalam kondisi rusak.
Jaksa mengusut kasus terminal ini sejak Januari 2021, dengan memeriksa 25 orang saksi.
Selain mantan Bupati Yoseph Tote, Kejaksaan juga telah memeriksa Fansialdus Jahang, mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi dan Gaspar Nanggar, mantan Kepala Bidang Perhubungan Darat di dinas itu.
Kontraktor yang mengerjakan terminal itu juga sempat diperiksa, yakni Direktur CV Kembang Setia, Yohanes John dan staf teknik CV Eka Putra, Adrianus E Go.
Kejaksaan baru mengusut masalah pengadaan lahan, sementara terkait pembangunan terminal belum tersentuh.