BerandaREPORTASEPERISTIWAPenahanan Tersangka Pasca Lima...

Penahanan Tersangka Pasca Lima Tahun, Proses Lamban Penanganan TPPO yang Sudah Darurat di NTT

Polres Ngada, NTT baru menahan dua tersangka TPPO yang dilaporkan pada 2018

Floresa.co – Lima tahun sesudah dilaporkan ke polisi, dua tersangka Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] dengan korban anak di bawah umur akhirnya ditahan di Bajawa, Kabupaten Ngada, NTT.

Pendamping korban menyayangkan keduanya tak segera ditindak sejak 2018, cerminan lambannya penanganan di NTT yang diakui daerah darurat TPPO.

Stanislaus Mamis dan Rela Eustakius resmi berstatus tahanan di Rumah Tahanan Negara Bajawa sejak 26 Juli.

Penahanan mereka dilakukan karena “berkas perkara penyidikan perkara TPPO pada tingkat kepolisian telah lengkap secara formal dan material,” kata Hana Anggriayu, Kepala Sub Seksi Penyidikan Kejaksaan Negeri [Kejari] Ngada pada 27 Juli.

Mamis dan Eustakius merupakan tersangka TPPO terhadap Maria Susanti Wangkeng, perempuan asal Mbay, Kabupaten Nagekeo.

Berdasarkan hasil penyelidikan, mereka diketahui secara ilegal merekrut korban dari desanya di Mbay untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga di Jakarta pada 2015.

Saat itu Maria berusia 15 tahun, masuk kategori di bawah umur menurut hukum.

Lima Tahun Tanpa Penahanan

Kasus ini pertama kali dilaporkan ke kepolisian pada Agustus 2018.

Pendamping korban dari Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia [Pokja MPM] menyesalkan penahanan terhadap keduanya yang baru terjadi pada 2023, lima tahun sesudah pelaporan pertama.

“Setelah kami membuat laporan polisi pada Agustus 2018, harusnya [kedua tersangka] mulai ditindak,” kata Greg R. Daeng, koordinator pelaksana tim NTT Pokja MPM.

Beranggotakan beberapa organisasi, Pokja MPM mengawal kasus TPPO dan memberikan pendampingan bagi korban di beberapa daerah di Indonesia.

Pokja MPM menaruh perhatian pada NTT yang, menurut Odang – panggilannya -, “kasus TPPO-nya bertumpuk di kepolisian.”

Sejak 2018, Pokja MPM menerima tiga surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan [SP2HP] terkait kasus yang menimpa Maria.

“Tak satu pun dari ketiga surat itu menyebutkan tersangka telah ditahan,” katanya.

Pada tingkat penyidikan di kepolisian, tersangka bisa ditahan selama 20 hari. Waktunya dapat diperpanjang paling lama 40 hari.

Menurut Odang, pembiaran antara Agustus 2018-Juli 2023 “bisa saja mendatangkan kejahatan dan korban baru oleh kedua tersangka.”

Mendampingi korban sejak ditemukan di suatu panti sosial milik Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta pada September 2017, kata dia, “kami juga merasa proses hukumnya terkatung-katung.”

Kendala Penyidikan

Maria merupakan warga Kabupaten Nagekeo. Kasus ini ditangani penegak hukum Kabupaten Ngada lantaran “tahun-tahun itu belum terbentuk Kepolisian Resor [Polres] Nagekeo,” kata Odang.

Ketika Polres Nagekeo terbentuk pada 2020, “entah kenapa kasusnya dilimpahkan ke Ngada.”

Kejari Ngada pertama kali menerima berkas perkara dari penyidik Polres Ngada pada 2021.

Dalam 14 hari pemeriksaan pertama akan berkas perkara, “belum semua petunjuk pelengkap alat bukti terpenuhi, sehingga kami [Kejari] kembalikan ke Polres Ngada,” kata Hana Anggriayu

Di tengah-tengah proses pelengkapan alat bukti, “terjadi tiga kali pergantian penyidik di kantor kami,” kata Bripka Iksan Sofiansyah dari Polres Ngada.

Surat mutasi yang ia terima pada Februari 2023 menandai awal jabatannya sebagai Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu [Kanit Tipiter] Satuan Reserse dan Kriminal Polres Ngada.

Sebagai Kanit Tipiter, “saya juga selaku penyidik dalam perkara ini,” katanya pada 27 Juli.

Ia menyatakan mulai melanjutkan pengurusan berkas perkara pada Juni 2023.

Soal pergantian penyidik di Polres Ngada juga diketahui Odang. “Ketiga penyidik sebelumnya berangkat sekolah perwira,” kata Odang.

Iksan mengungkap beberapa kendala yang memicu penyidikan tak lekas selesai.

“Pada masa penyidik sebelumnya,” kata Iksan, “penyidikan banyak terkendala pada pemenuhan dokumen dari saksi-saksi.”

Ia menyebut kebanyakan saksi berdomisili di Jakarta. “Butuh setahun bagi kami untuk menerima semua dokumen para saksi yang dibutuhkan dalam berkas perkara,” katanya.

Ditanya kemungkinan penyidik yang menjemput dokumen alih-alih menunggu hingga setahun, ia menjawab: “kami kekurangan anggaran sehingga tak bisa berangkat ke Jakarta.”

Terhadap ketiga penyidik terdahulu “Pokja MPM kerap mendesak supaya berkas perkara cepat diselesaikan,” kata Odang. Apalagi, “Pulau Flores merupakan daerah rawan TPPO.”

Odang menyatakan nyaris semua kabupaten di Flores “secara potensial dan faktual rentan TPPO.” Kondisi tersebut menuntut ketersediaan sumber daya penyidik yang kompeten, alih-alih “terus berkilah ‘tak ada anggaran.’”

Dorong Persidangan Anak

Perkara kompetensi penyidik turut menjadi catatan Hariyanto, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia [SBMI].

Hari, yang sejak awal kasus ini rutin berkomunikasi dengan Odang, mengatakan “patut diduga penyidik kepolisian tak paham hukum TPPO anak. Apalagi penyidikannya sampai bertahun-tahun.”

Maria kini berusia 23 tahun. Ketika direkrut secara ilegal pada 2015, ia masih di bawah umur.

“Hukum yang berlaku mengacu pada usia korban ketika peristiwanya terjadi,” kata Hari.

Menurut Hari, penanganan TPPO yang menimpa Maria seharusnya berlandaskan pasal-pasal TPPO anak yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.

Penyidikan dugaan TPPO terhadap korban anak “hanya memenuhi dua dari tiga unsur pidana yang menyangkut korban orang dewasa,” kata Hari pada 28 Juli.

Pada pelaku TPPO terhadap orang dewasa, penyidikan harus memenuhi tiga unsur, masing-masing proses, cara dan tujuan.

“Proses” mengacu pada tindakan perekrutan. Sedangkan “cara”, misalnya merekrut dengan iming-iming. “Tujuan” termasuk ketika perekrut memanfaatkan kerentanan seseorang yang berujung eksploitasi.

Penyidikan terhadap kasus TPPO dengan korban anak hanya memuat dua unsur: proses dan tujuan. “Keduanya sudah terpenuhi dalam kasus TPPO Ngada,” kata Hari.

Ketika kedua unsur terpenuhi, “polisi harus segera tindak lanjuti dengan mengutamakan perlakuan khusus bagi korban anak dan mendorong terjadinya persidangan anak.”

Migrasi Kultural

Hari “secara tegas mempertanyakan penanganan kasus yang lambat sekali. Apalagi ini terjadi di NTT.”

SBMI mendampingi 74 korban TPPO di NTT selama 2010-2022. Sebagian besar merupakan “korban migrasi kultural.” Dikatakan “kultural”, lantaran perekrutnya kebanyakan masih kerabat, seperti yang terjadi dengan Maria.

Maria direkrut Mamis dan Eustakius “yang masih tetangga satu desa,” kata Odang, “dan mereka berkerabat.”

Rasa percaya terhadap kerabat membuat keluarga Maria pada delapan tahun lalu bersedia melepaskannya ke Aesesa, Nagekeo sebelum dibawa ke Jakarta.

Selama dua tahun berada di Jakarta, Maria bekerja di tiga rumah majikan berbeda. Di tiga rumah itu pula ia kerap bekerja tak kenal waktu, tak digaji dan tidur dalam kamar sempit bersama beberapa karyawan lain.

Ditambah lagi “Maria tak fasih berbahasa Indonesia. Sehari-hari ia berdialek daerah,” kata Odang.

Itu pula yang membuat proses analisis Pokja MPM terhadap kasus Maria—sebelum mereka berkesimpulan peristiwanya adalah TPPO—berlangsung hingga berbulan-bulan.

“Ketika kami temukan, kondisinya juga sangat buruk. Kurus dan linglung,” katanya. Selama pendampingan, remaja putri itu kerap menangis, teringat keluarga di kampung halaman.

“NTT harus memperbaiki banyak hal dalam penanganan TPPO,” kata Hari. “Apalagi, kasus ini menyangkut kehidupan seorang anak.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga