Mengaku Khilaf dan Cabut Keterangan di BAP Tanpa Alasan Jelas; Kesaksian Walbertus Wisang Tersangka Baru Kasus BTS 4G

Kejaksaan Agung menangkap Walbertus Natalius Wisang pada Selasa malam 19 September setelah mencabut sejumlah keterangannya di BAP saat hadir sebagai saksi di persidangan.

Floresa.co – Kejaksaan Agung memutuskan menetapkan Walbertus Natalius Wisang, orang dekat eks Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny Gerard Plate sebagai tersangka baru kasus dugaan korupsi proyek BTS 4G.

Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung mengatakan pada Rabu 20 September, Walbertus “diduga melakukan dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, atau menghalangi/merintangi secara langsung atau tidak langsung terkait penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.”

Walbertus telah ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung RI selama 20 hari ke depan.

Sumedana menyebut Walbertus dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [UU Tipikor] Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Selanjutnya, subsidair Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Tipikor.

Penetapan tersangka itu terjadi setelah Walbertus ditangkap pada Selasa malam, 19 September, tidak lama setelah ia hadir sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, dengan terdakwa Johnny.

Dalam perkara ini, Kejaksaan Agung telah lebih dahulu menetapkan sebelas orang tersangka.

Walbertus hadir di persidangan pada Selasa, 19 September bersama 10 orang lainnya, di mana ia memberi keterangan yang berujung penetapannya sebagai tersangka.

Salah satunya adalah Heppy Endah Palupi, 39 tahun, Kepala Bagian Tata Usaha dan Protokol Kementerian Kominfo sekaligus Sekretaris Johnny.

Mereka memberikan kesaksian untuk Johnny; Anang Achmad Latif, Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi [Bakti]; dan Yohan Suryanto, Tenaga Ahli Human Development (HUDEV) Universitas Indonesia.

Pada awal persidangan, hakim ketua Fahzal Hendri mencecar Heppy soal uang yang diterimanya dari proyek BTS 4G.

Heppy mengakui menerima uang setiap bulan senilai Rp500 juta selama 20 kali, sehingga totalnya mencapai Rp10 miliar.

Uang tersebut berasal dari Anang yang melalui seorang perantara menyerahkannya kepada Yunita – Staf Tata Usaha Pimpinan Kementerian dan Sekretaris Staf Ahli Menteri – yang juga dihadirkan sebagai saksi.

Baik Heppy maupun Yunita sama-sama tidak mengetahui identitas perantara pemberi uang yang mereka identifikasi hanya sebagai ‘orangnya Pak Anang’.

Heppy mejelaskan ihwal bagaimana ia bisa kecipratan uang dari proyek BTS 4G itu.

Suatu ketika, katanya, ia dan Dedy Permadi, salah satu staf ahli, dipanggil Johnny dan diberutahu “akan memberikan tambahan insentif.”

“Saya sama saudara Dedy diminta mengajukan berapa kira-kira yang dibutuhkan. Waktu itu saya mengajukan Rp50 juta, kemudian Dedy Permadi mengajukan Rp100 juta,” katanya.

Permintaan keduanya pun disetujui Johny. Namun, menurut Heppy, ternyata Johnny menginformasikan bahwa uang insentif itu “nanti akan diurus oleh Pak Anang.”

Sekitar Januari-Maret 2021, setelah menemui Johnny di ruangannya di Kementerian Kominfo, Anang menemui Heppy dan memintanya untuk menunjuk satu orang yang menjadi penanggung jawab sebagai perantara penerima uang tersebut.  Heppy lantas menunjuk Yunita.

Selanjutnya,Anang melalui orang kepercayaannya menyerahkan uang pertama kali ke Yunita di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.

Oleh Yunita, uang yang tersimpan di kardus dalam mata uang rupiah itu diserahkan ke Heppy di ruangan kerjanya di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Heppy mengatakan setelah menerima uang itu, ia langsung melapor kepada Johnny di ruangannya bahwa “Sudah ada titipan dari Pak Anang.”

Johnny, katanya, merespons bahwa uang itu dibagi sesuai dengan permintaan dia dan Dedy. Sisanya, kata dia, diminta Johnny untuk diberikan kepada Walbertus.

Bantahan Walbertus

Pengakuan Heppy itu kemudian langsung dikonfrontasi hakim kepada Walbertus.

“Dikasih sama saudara tiga setengah [Rp350 juta]?” tanya Hakim Fahzal.

Walbertus menjawab ia memang pernah diberitahu Heppy “bahwa nanti akan ada titipan dari Pak Anang.”

“Tetapi, mohon maaf, Yang Mulia,” katanya, ia “belum pernah terima titipan itu.”

Hakim lalu langsung kembali bertanya kembali kepada Heppy  yang duduk tak jauh dari Walbertus.

“350 [juta rupiah] saudara lapor sama Pak Johny, ke Pak Menteri. Kasih sama Walbertus, katanya. Betul?”

Heppy mempertahankan keterangannya bahwa ia menyerahkannya ke Walbertus. Ia mengatakan, uang itu diserahkan di kantor Kominfo.

“Kita tidak pernah bertemu di luar sih Yang Mulia. Kadang Pak Walbertus yang ke ruangan saya atau kadang saya yang ke ruangan Pak Walbertus. [Kami] beda ruangan, tetapi satu lantai,” jawab Heppy.

Sementara itu Walbertus yang kembali ditanya hakim, tetap membantah: “Tidak betul, Yang Mulia. Saya tidak pernah menerima, Yang Mulia.”

Ia mengatakan, memang dalam Berita Acara Pemeriksaan [BAP] oleh penyidik ia mengakui menerima uang itu.

Namun, ia menyatakan mencabut keterangan dalam BAP, “karena memang tidak terjadi seperti demikian.”

Hakim kembali mencecar Walbertus saat sesinya memberikan kesaksian.

Namun, ia tetap tetap menyatakan mencabut keterangannya di BAP, berlasam yang terjadi sebenarnya saya tidak pernah menerima” uang dari Heppy.

Saat dicecar hakim terkait alasan menandatangangi BAP ia menjawab dengan sambil tertawa; “Itu karena kekhilafan saya yang mulia.”

Walbertus mengatakan, “Tidak ada apa-apa, Yang Mulia,” merespons pertanyaan alasanya ia tiba-tiba tidak mengakui menerima uang itu.

Saat hakim mengingatkan bawaha tidak segampang itu mencabut keterangan dan meminta Walbertus menjelaskan alasannya, ia lagi-lagi mengatakan, “karena memang saya tidak pernah terima, Yang Mulia.”

Ia menjelaskan, pengakuan di BAP terjadi karena ia merasa agak tertekan secara pribadi.

Hakim mengingatkan Walbertus agar “jangan memberikan keterangan yang tidak benar.”

“Keterangan palsu namanya dan sumpah palsu. Itu [hukumannya] lebih berat, 7 tahun ancaman hukumannya,” katanya.

Ia mengatakan, pencabutan keterangan hanya bisa dilakukan jika Walbertus berada “di bawah tekanan, saudara diancam, di bawah tekanan saudara atau mungkin waktu itu saudara dalam keadaan tidak sehat.”

Hakim juga membacakan BAP Walbertus nomor 23, di mana ia pernah menerima uang dalam kardus lebih dari satu kali dari Windi Purnama.

Windi adalah orang kepercayaan Irwan Hermawan, Komisaris PT Solitech Media Synergy, salah satu terdakwa kasus ini.

Windi menyerahkan uang tersebut di kontrakan Walbertus di Pancoran, Jakarta Selatan sekitar tahun 2022. Windi menyampaikan kepada Walbertus “Ini titipan, tolong disampaikan kepada Bapak, yakni Johnny Gerard Plate.”

Uang tersebut kemudian diserahkan Walbertus kepada Johnny di rumah pribadinya di Jalan Bango 1, Cilandak, Jakarta Selatan.

Walbertus mengakui keterangan dalam BAP nomor 23 itu adalah keterangannya juga. Tetapi ia mengatakan keterangan di dalam BAP itu “enggak benar.”

Johnny Bantah Keterangan Heppy

Johnny yang diberi kesempatan oleh majelis hakim untuk bertanya pada akhir persidangan, menanyakan kepada Heppy ihwal uang Rp500 juta yang diterima setiap bulan sebanyak 20 kali.

“Untuk saksi Heppy, kapan kamu tahu Rp500 juta?” tanya Jhonny.

“Ketika mengajukan kepada Bapak, Bapak kan menyebut angka nominal,” jawab Heppy.

Terlihat kesel, Jhonny menimpali, “Mengajukan apa kepada saya? Saya tidak pernah menyebutkan angka Rp500 juta kepada kamu. Kepada siapa pun di dunia ini, tidak pernah saya sampaikan,” ujar Jhonny.

“Ini di bawah sumpah. Kapan kamu tahu itu. Jangan ngarang,” lanjut Jhonny.

“Tidak ngarang Pak. Waktu itu pernah ada pembicaraan baik dengan saya dan dengan Dedy Permadi, Pak,” jawab Heppy.

Johnny mengatakan, “tidak pernah menyebut dari sumber mana itu duit dan tidak pernah menyebutkan Rp500 juta.”

“Kamu sekarang menyebut Rp500 juta dari menteri, kapan itu,” tanya Jhonny dengan nada tinggi.

“Bulan Februari Pak,” jawab Heppy.

“Kamu ngarang itu,” timpal Jhonny.

Sidang kasus ini telah mulai bergulir pada Juni.

Proyek BTS 4G sebetulnya menargetkan 7.904 titik blank atau yang dianggap belum memiliki jaringan internet demi mewujudkan pemerataan akses internet untuk seluruh masyarakat Indonesia, terutama di wilayah tertinggal, seperti NTT.

Namun, banyak infrastruktur proyek tersebut yang kemudian mubazir.

Sebuah laporan yang dirilis Floresa pada Januari mengungkap bagaimana warga di wilayah pedalaman Pulau Flores justru kesal dengan keberadaan menara pemancar BTS karena malah membuat mereka susah mengakses internet.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA