Jalan dan Jembatan Tak Kunjung Diperhatikan, Warga di Kota Komba Utara Minta Perhatian Pemerintah Manggarai Timur

Warga harus melintasi jalan yang buruk, termasuk untuk ke sekolah. Jembatan gantung yang dibangun imam Katolik pada 2009 telah rusak

Baca Juga

Floresa.co – Warga sebuah desa di Kecamatan Kota Komba Utara meminta tanggung jawab pemerintah Kabupaten  Manggarai Timur untuk memperhatikan kondisi jalan dan jembatan di wilayah mereka.

Paskalis Vakson, warga Kampung Lendo, Desa Gunung Baru yang berbicara kepada Floresa baru-baru ini berkata bertahun-tahun jalan di kampungnya yang berstatus jalan kabupaten masih berstruktur tanah dan belum ditingkatkan menjadi telford maupun lapen. 

Pada musim hujan seperti sekarang, katanya, hanya motor yang bisa melintas.

Jika hendak ke Borong, ibu kota kabupaten, kata dia, rute yang paling realistis untuk dilewati adalah melalui Kampung Watu Rajong, Desa Rana Mbata. 

Watu Rajong merupakan kampung yang berbatasan dengan Lendo, yang dipisahkan oleh Sungai Wae Mokel. Jarak keduanya tujuh kilometer.

“Di tengah-tengahnya terdapat sebuah jembatan yang dibangun pada 2022,” katanya.

Jembatan Wae Mokel yang menghubungkan Kampung Lendo, Desa Gunung Baru dan Kampung Watu Rajong, Desa Rana Mbata. Jembatan ini dibangun pada 2022. (Dokumentasi Paskalis Vakson)

Dari Watu Rajong, kata dia mereka akan ke Borong dengan ongkos ojek pergi pulang berkisar Rp250 ribu. Sementara bila menumpang mobil, warga harus mengeluarkan ongkos pergi-pulang sekitar Rp80 ribu-Rp100 ribu.

“Kami biasanya pergi ke Borong untuk menjual hasil panen seperti kopi, kakao, kemiri dan porang,” ungkapnya.

Ia berkata di Kampung Watu Rajong jalannya sudah berstruktur telford dan telah disirami pasir, “tapi sudah mulai rusak juga.”

Kalau musim hujan, kata dia, perjalanan menuju Watu Rajong ditempuh dalam waktu antara dua hingga tiga jam.

“Kalau musim kemarau bisa ditempuh dalam waktu satu jam,” katanya.

Paskalis mengatakan pada musim kemarau, selain motor, hanya dump truck dan bis kayu yang bisa masuk ke kampungnya.

Ia mengirimkan empat buah foto kepada Floresa yang menampilkan kondisi jalan yang becek, berlubang, tergenang air, dan penuh dengan lumpur. 

Baru-baru ini, Risto Maulete, salah satu warga desa itu, membagikan sebuah video di Facebook, menampilkan warga dan petugas Pemilu 2024 yang berjalan kaki menyusuri Sungai Wae Mokel sembari memikul logistik dari Dusun Munde, Desa Rana Mbata ke Desa Gunung Baru.

“Kalau kalian [pemerintah dan DPR] merasa bahwa kalian berada di kursi-kursi emas berkat masyarakat, tolong perhatikan kenyataan ini,” tulisnya.

“Kalaupun kalian tidak bisa melihat realitas yang ada di Desa Gunung Baru, setidaknya kalian bisa mendengar suara dan laporan-laporan mengenai desa tertinggal,” tambah Risto.

Ia memohon agar pemerintah dan DPR bisa “memperhatikan akses jalan menuju desa kami yang sangat darurat ini.”

“Izinkanlah kami untuk melintas di jalan yang layak, yang sama persis jalan aspal menuju kantor dan rumah kalian,” tulisnya.

Desa Gunung Baru berada sekitar tujuh kilometer arah barat daya Desa Rana Mbata yang dilalui jalan provinsi.

Dari arah Rana Mbata, kondisi jalan ke Gunung Baru “becek saat musim hujan, berdebu ketika kemarau.

Yos Jonast, seorang guru asal Desa Rana Mbeling yang mengajar di SDI Lengko Munda bercerita ia berangkat ke sekolah dengan mengendarai motor sampai di Kampung Kese, Desa Rana Mbata. 

Selanjutnya, kata dia, dari Kese ke sekolah, ia harus berjalan kaki karena harus melewati Sungai Wae Mokel.

Jonast, yang sejak 2010 mengajar di SDI Lengko Munda, berkata jarak antara Kese dan sekolah tempatnya mengajar adalah sekitar 1,5 kilometer yang ditempuh dalam waktu sekitar 30 sampai 40 menit.

Ia mengatakan sebenarnya di Sungai Wae Mokel terdapat sebuah jembatan gantung yang dibangun pada 2007 atas inisiatif Stefan Wroz, SVD, seorang pastor asal Polandia.

Tetapi, kata dia, sejak 2009, jembatan itu rusak parah dan motor sudah tidak bisa melintas.

Jonas mengirimkan sebuah foto dan video kepada Floresa yang menampilkan kondisi terkini jembatan gantung berbahan bersi itu, yang memang susah miring dan hampir roboh.

Foto dan video itu juga menampilkan seorang warga yang melintas dengan penuh hati-hati.

“Hanya orang yang jantung kuat yang bisa lewat. Kalau jantung lemah tidak bisa lewat, soalnya keadaan jembatan sudah tidak layak,” katanya.

Seorang warga yang berjalan dengan penuh hati-hati di atas jembatan gantung yang menghubungkan Kampung Munda, Desa Gunung Baru dan Kampung Mbata, Desa Rana Mbata. Jembatan ini dibangun pada 2007 atas inisiatif Stefan Wroz, SVD seorang pastor asal Polandia dan mulai rusak sejak 2009. (Dokumentasi Yos Jonast)

Jonast berkata lima tahun lalu ia masih bisa melintas di jembatan gantung itu dengan berjalan kaki. 

Lantaran kerusakannya semakin parah, ia memilih melintas di jalan alternatif yang berada di sebelah jembatan itu.

“Tetapi kalau musim hujan [jalan alternatif] susah sekali untuk dilewati kalau Sungai Wae Mokel meluap. Dan yang hendak melewati kali itu harus bertaruh nyawa karena kalau sungai meluap sangat membahayakan,” ungkapnya.

Ia mengatakan setiap hari, para guru yang mengajar di SDI Munda selalu melintasi kali tersebut.

Lantaran tempat tinggal guru jauh, kata dia, sekolahnya membuat kebijakan “kegiatan belajar mengajar baru dimulai pukul 08.00 Wita.”

Floresa meminta tanggapan Boni Hasudungan, Penjabat Bupati Manggarai Timur pada 6 Maret melalui pesan WhatsApp. Pesan itu bercentang dua, namun tidak direspons.

Editor: Herry Kabut

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini