Kewenangan Masih Diintervensi Selagi Kebijakan Tak Sesuai Kebutuhan; Diskusi Mahasiswa di Yogyakarta Kritisi Cara Pemerintah Supradesa Memperlakukan Desa

Pemerintah supradesa mesti memuliakan desa untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri

Floresa.co – Mahasiswa di Yogyakarta mengkritisi cara pemerintah supradesa memperlakukan desa. 

Pemerintah supradesa dianggap kerap mengintervensi kewenangan serta melahirkan kebijakan yang tidak sesuai kebutuhan institusi pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat itu.

Karena itu, mereka menekankan perlunya penghormatan dan pengakuan terhadap kewenangan desa.

Berlangsung di teras Perpustakaan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa [STPMD] “APMD” pada 20 Mei, diskusi bertajuk “Sejarah Desa” itu diinisiasi Kelompok Studi Tentang Desa [KESA]. 

Dihadiri belasan anggota KESA, diskusi  dipandu Angelus Loleq dan dipantik Salfianus Andreyanto Among, yang akrab disapa Andre.

Sejarah Desa

Menyitir Aristoteles, seorang filsuf Yunani, Andre mengatakan negara tak terpisahkan dari desa.

Sejalan dengan itu, kata dia, Wakil Presiden pertama RI, Mohammad Hatta menyerukan “negara tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi akan bercahaya karena lilin-lilin kecil di desa.”

Ia berkata desa sudah ada sebelum terbentuknya negara. 

Negara, kata dia, dibentuk karena “gabungan dari banyak desa dengan harapan pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih baik.”

“Desa pertama kali terbentuk karena kompleksitas manusia atau individu-individu yang sewaktu-waktu berkembang lalu membentuk komunitas yang memiliki hukum, pemerintah, tradisi dan sosial budaya sendiri di suatu wilayah,” katanya.

Andre menjelaskan kata ‘desa’ berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya ‘tanah tumpah darah’. 

Istilah tersebut dipakai untuk mendefinisikan tentang komunitas masyarakat hukum di Indonesia, bahkan sebelum kolonial berkuasa. 

Penemuan Prasasti Kawali di Desa Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, kata dia, membuktikan bahwa desa merupakan pemerintahan asli Indonesia yang sudah ada sebelum negara kolonial hadir.

“Prasasti itu mengungkapkan peran dan hubungan desa dengan kerajaan. Desa pada masa kerajaan sudah terdapat pembagian tugas dan urusan,” katanya. 

Andre mengatakan secara hierarkis, desa diposisikan sebagai pemerintah paling bawah dan tidak memiliki pemerintahan yang utuh.

Oleh karena itu desa hanya melakukan tugas pembantuan untuk melancarkan beberapa pembangunan di wilayah kerajaan yang tidak bisa dikerjakan langsung oleh kerajaan.

Ia berkata kata “desa” pertama kali dipakai di suatu perkampungan di Jawa Barat sekitar 1350 Masehi dan di Jawa Timur pada 1381 Masehi. 

Di daerah lain adalah sebutan yang berbeda untuk desa,  katanya, seperti di Aceh disebut gampong, di Maluku nagari, dan di Papua dikenal dengan sebutan kampung.

“Äkan tetapi, maknanya sama yaitu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah tertentu dan memiliki pemerintahannya sendiri.”

Desa dari Masa ke Masa

Andre mengatakan dinamika desa dari masa ke masa sangat dipengaruhi oleh konstruksi pengetahuan dan sudut pandang tertentu. 

Sudut pandang itu turut memengaruhi pemerintah supradesa dalam memposisikan dan memperlakukan desa.

Ia berkata pada masa kerajaan, desa ditempatkan sebagai suatu pemerintahan terendah dan kerajaan sebagai pemerintah pusat dengan adanya pembagian hak, wewenang dan kewajiban. 

Selain itu, pada masa itu, desa dijadikan sebagai pusat politik, ekonomi dan kegiatan sosial karena relasi yang terbentuk adalah kemitraan.

Artinya, jelas dia, kerajaan akan mengambil alih tugas yang tidak mampu dan tidak dapat diselesaikan desa, begitu juga sebaliknya.

Andre menjelaskan pada masa kolonial, desa dijadikan pemerintahan semu dan menjadi arena yang “dieksploitasi habis-habisan” oleh pemerintahan kolonial, baik dari segi sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

Kebijakan seperti tanam paksa dan pajak, katanya, hanya untuk memenuhi kebutuhan perang pemerintah kolonial. 

Sementara itu kemandirian dan nilai budaya desa menjadi hilang dan diubah berdasarkan “hierarki dan birokrasi yang diimpor dari Belanda.”

“Pada masa itu, kepala desa menjadi perpanjangan tangan penjajah. Situasi dan kondisi tersebut membuat masyarakat menjadi takut pada kepala desa. Kepala desa menjadi penguasa tunggal di desa.”

Andre berkata, pada era awal kemerdekaan, desa menjadi sasaran dan korban dari perhelatan dan dinamika politik nasional, di mana  desa menjadi basis penyedia suara untuk kepentingan partai politik.

Pada era Orde Baru, terjadi penyeragaman desa di Indonesia, baik struktur pemerintahan maupun norma yang berlaku dalam masyarakat. 

Saat itu desa hanya menjadi objek dari perlakuan pemerintah pusat yang sangat sentralistis dan pembangunan bersifat top-down.

“Desa hanya dijadikan sasaran untuk menjalankan kepentingan dan tujuan negara, serentak mengesampingkan kepentingan masyarakat. Spirit kemandirian desa dalam menentukan pembangunan dan merumuskan kebijakan hanya bersifat semu,” katanya.

Memasuki era reformasi, desa sudah diakui oleh negara, baik dari aspek sosial budaya, institusi lokal maupun pemerintahannya yang dikelola berdasarkan prakarsa masyarakat.

Namun, kata dia, pada masa ini, “dunia mengalami krisis ekonomi dan desa hanya menjadi korban liberalisasi ekonomi.”

Desa kemudian diposisikan sebagai objek penyedia tenaga kerja dan sumber daya alamnya dieksploitasi untuk membantu peningkatan ekonomi negara.

Negara Mengatur Desa

Andre mengatakan situasi dan kondisi desa tidak dapat dilepaskan dari kebijakan dan hukum yang dibuat para teknokrat dan dijalankan oleh pemerintah supradesa. 

Kebijakan dan hukum itu dibentuk dengan berbagai sudut pandang dalam melihat desa.

Ia menjelaskan beberapa kali terjadi perubahan hukum yang mengatur tentang desa di Indonesia. 

Pada 1976 isu desa menjadi topik yang menarik untuk dikaji terutama setelah kemunculan karya ilmiah dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial berjudul “Desa Mau Dibawa ke Mana?” 

Karya ilmiah yang diterbitkan di Majalah Prisma itu memuat  pandangan kritis dan intensi bagaimana seharusnya memposisikan desa.

Dari kajian tersebut muncul Undang-Undang [UU] Nomor 5 Tahun 1979 yang secara garis besar menyeragamkan setiap desa di Indonesia dengan model desa di Pulau Jawa, baik dari segi nama, bentuk norma maupun kedudukannya. 

Regulasi ini, kata dia, bertentangan dengan spirit Undang-Undang Dasar tentang keberagaman dan hak asal-usul daerah.

“Hadirnya UU ini tidak mengakui, menghormati dan memperkuat otonomi desa yang dikenal dengan keberagaman, baik dari segi pemerintahan lokal, institusi lokal maupun prakarsa masyarakat.”

UU Nomor 22 Tahun 1999 hadir sebagai perubahan terhadap peraturan sebelumnya. Isu penting yang ditekankan dalam UU ini adalah pembaharuan desa yang di dalamnya mengatur keberagaman, otonomi dan demokrasi.

Ketika UU itu mulai dijalankan, Indonesia dihadapkan pada krisis ekonomi, politik dan budaya yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan, ketimpangan dan diskriminasi antara pemerintah pusat dan daerah. 

Ia berkata, pada waktu itu negara menganggap otonomi dan demokrasi desa hanya bersifat semu. 

Anggapan ini, kata dia, merupakan bentuk marginalisasi para teknokrat terhadap desa karena dalam UU tersebut desa hanya menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah supradesa dan belum diberi kepercayaan sepenuhnya dalam menjalankan pembangunan.

Selain itu, dalam UU tersebut, posisi kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa “masih belum jelas yang mengakibatkan sering terjadinya konflik.”

Andre menjelaskan kelahiran UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hendak mengakui keberagaman masyarakat dan pemerintahan desa. 

Namun, melalui UU itu demokrasi desa dikebiri oleh pemerintah daerah karena pemerintah desa tidak dapat menyuarakan kepentingannya secara utuh. 

“Pelaksanaan pembangunan di desa dapat dilaksanakan ketika ada residu dari pemerintah daerah,” ungkapnya.

Andre mengatakan asas utama dalam UU ini adalah desentralisasi dan residualitas yang menyebabkan desa hanya menjadi arena proyek pembangunan dari pemerintah supradesa. 

UU ini juga belum mengatur Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa [RPJMDes] dan Alokasi Dana Desa [ADD] secara jelas.

Ia berkata pada tahun yang sama, lahir Keputusan Presiden [Keppres] Nomor 72 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai jalan alternatif untuk menutupi kekurangan dari poin-poin yang belum diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004.

Keppres itu mengatur tentang RPJMDes dan ADD sebagai instrumen membangun partisipasi, demokrasi dan kemandirian serta menjadi ikon otonomi desa. 

Ia berkata RPJMDes dan ADD bertujuan membentuk masyarakat sebagai “aktor utama pembangunan” melalui “arena kolektif dan emansipasi desa untuk menggerakkan kehidupan lokal.”

Namun, jelas dia, pembangunan di desa masih belum masif dilaksanakan dan dirasakan masyarakat karena hanya memperoleh ADD sekurang-kurangnya sepuluh persen dari dana perimbangan kabupaten/kota setelah dikurangi belanja pegawai. 

“ADD yang diterima pemerintah desa dari sisa anggaran pemerintah daerah sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan dan pembangunan desa yang sangat kompleks,” katanya.

Andre mengatakan kelahiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan “angin segar” bagi desa dengan adanya asas rekognisi dan asas subsidiaritas. 

Asas rekognisi, kata dia, merupakan bentuk pengakuan negara terhadap hak, asal-usul dan institusi lokal desa. 

Sementara asas subsidiaritas berarti memberikan kewenangan kepada pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan pembinaan kemasyarakatan desa.

Ia berkata asas rekognisi dan asas subsidiaritas menempatkan desa sebagai subjek pembangunan dan perumusan kebijakan bersifat bottom-up baik dari segi ekonomi, sosial budaya dan politik.

Sementara pelaksanaan pemerintahan “mestinya diarahkan untuk memberi ruang atau wadah akan terciptanya fasilitasi, emansipasi, dan konsolidasi untuk merumuskan dan menjalankan kepentingan sesuai prakarsa bersama.”

Bagaimana Seharusnya Memandang Desa?

Andre mengatakan sampai sekarang, terdapat beberapa kebijakan yang masih memposisikan dan memperlakukan desa sebagai pemerintahan semu. 

Misalnya program Sustainable Development Goals atau SDGs yang membuat pemerintah desa hanya ditugaskan untuk mengumpulkan data dan mengurus administrasi semata. 

Selain itu, program stunting membuat pemerintah desa sibuk mengurus hal-hal teknis terkait pencegahannya.

Ia berkata pemerintah supradesa belum memandang desa secara utuh sebagai self governing community yakni komunitas lokal dengan pemerintahannya sendiri. 

Desa, kata dia, hanya dijadikan target untuk melancarkan kepentingan supradesa yang tidak dirumuskan atas dasar prakarsa masyarakat.

“Hubungan ideal yang seharusnya dibangun antara pemerintah supradesa dan pemerintah desa adalah kemitraan untuk saling melengkapi dan bukan intervensi atau dominasi,” katanya.

Setiap desa, katanya, memiliki persoalan dan kebutuhan yang berbeda-beda.

“Pemerintah pusat tidak boleh menggeneralisasi desa. Produk kebijakan mesti memperhatikan perbedaan dan menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa,” katanya.

Andre berkata, dalam menjalankan asas rekognisi dan asas subsidiaritas, desa harus memiliki sumber daya manusia yang tinggi. 

Sebab, kata dia, kedua asas ini hendak memposisikan masyarakat sebagai subjek dalam menentukan arah pembangunan.

“Dengan memiliki sumber daya manusia yang tinggi, masyarakat dapat menentukan, melaksanakan dan menyelesaikan persoalan di desa dan terciptanya transformasi kehidupan desa yang lebih berdaulat dan bermartabat,” katanya.

Andre berkata tujuan akhir asas rekognisi dan asas subsidiaritas adalah mewujudkan kemandirian desa. Karena itu, pemerintah supradesa mesti memuliakan desa untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri.

Vansianus Masir dan Odilia Safron berkolaborasi mengerjakan laporan ini. Keduanya merupakan anggota Kelompok Studi Tentang Desa dan mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” di Yogyakarta

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA