Floresa.co – Sejumlah organisasi mahasiswa di Kabupaten Sikka menegaskan DPR telah terlibat dalam kejahatan luar biasa karena melakukan pembangkangan terhadap hukum serta pengkhianatan terhadap rakyat.
Mereka pun menyebut lembaga itu sebagai Dewan Perusak Rakyat, alih-alih Dewan Perwakilan Rakyat.
Karena itu, mahasiswa yang tergabung dalam Cipayung Plus saat berunjuk rasa di depan gedung DPRD Sikka pada 23 Agustus, “melawan adalah jalan satu-satunya.”
Mereka menyatakan, anggota parlemen “telah jatuh pada tindakan yang memberikan jalan bagi oligarki” dan “turut melanggengkan politik dinasti.”
“Ironis,” kata para mahasiswa dalam orasi, “lantaran DPR yang mestinya mengawasi kekuasaan malah jatuh dalam kekuasaan.”
Aksi unjuk rasa itu merespons langkah DPR untuk mengesahkan revisi Undang-Undang [UU] Pilkada secara kilat, yang dianggap banyak pihak dipicu upaya memperkuat pengaruh politik dinasti Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo.
Badan Legislasi [Baleg] DPR menggelar rapat pembahasan revisi UU itu hanya sehari Mahkamah Konstitusi [MK] mencabut persyaratan ambang batas minimum partai politik untuk mencalonkan kandidat dalam pilkada dan mempertahankan batas usia minimum 30 tahun untuk kandidat.
Putusan MK yang diumumkan pada 20 Agustus itu secara efektif memblokir pencalonan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep yang berusia 29 tahun dan digadang-gadang menjadi calon wakil gubernur di Jawa Tengah.
Keputusan Baleg memicu unjuk rasa besar-besaran di depan gedung DPR di Jakarta dan di beberapa kota lain pada 22 Agustus, bersamaan dengan rencana pengesahannya dalam sidang paripurna.
Para guru besar, aktivis dan mahasiswa pengunjuk rasa menganggap keputusan Baleg tersebut sebagai pembangkangan yang akan menghasilkan proses demokrasi palsu.
Setelah sempat ditunda karena jumlah anggota yang hadir tidak memenuhi batas minimum atau kuorum, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad kemudian memutuskan membatalkan pengesahannya dan “pendaftaran calon kepala daerah pada 27 Agustus akan menerapkan putusan MK.”
Keputusan itu diambil di tengah aksi unjuk rasa terus memanas dan diwarnai kericuhan, termasuk aksi massa yang merobohkan pagar gedung DPR.
Jika paripurna jadi digelar, revisi UU Pilkada itu dipastikan akan disahkan karena parlemen saat ini didominasi oleh koalisi besar yang berpihak pada Jokowi dan presiden terpilih Prabowo Subianto.
Meski telah dibatalkan, mahasiswa di Sikka menilai rencana pengesahan UU Pilkada secara kilat “telah mengabaikan partisipasi publik,” kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM] Institut Filsafat Teknologi dan Kreatif Ledalero, Thomas Kharisma Sahputra.
Para mahasiswa mendesak DPRD Sikka secara kelembagaan mengawal putusan MK terkait syarat pencalonan kandidat dalam Pilkada 2024.
“DPR telah berubah menjadi Dewan Perusak Rakyat,” kata mahasiswa dalam orasi, “kami minta DPRD Sikka berdiri bersama kami untuk menolak revisi UU Pilkada.”
Cipayung Plus juga mengingatkan DPRD mengamalkan fungsi pencegahan pemusatan kekuasaan yang berpotensi menimbulkan kesewenangan “dengan terus mengutamakan rakyat.”
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Maumere, Kornelius Wuli menyatakan langkah DPR yang secara kilat merevisi UU Pilkada “telah menabrak dinding konstitusi.”
“Ada siapa di balik itu, dan untuk siapa hal itu dilakukan?” katanya.
“DPR seolah-olah kaki tangan elite politik dan rezim otokratis,” kata Kornelius.
Merespons desakan organisasi mahasiswa, Wakil Ketua DPRD Sikka, Yoseph Karmianto Eri mengaku secara kelembagaan akan bersurat ke DPR.
“Kami menolak revisi UU Pilkada,” katanya, “kami satu suara bersama rakyat.”
Ia juga mengklaim seluruh anggota DPRD Sikka menerima Keputusan MK.
Cipayung Plus terdiri dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia; Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi; Himpunan Mahasiswa Islam; Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah; Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, serta BEM Institut Teknologi dan Kreativitas Ledalero dan BEM Universitas Nusa Nipa.
Editor: Anastasi Ika