‘Apa yang Diharapkan dari Polisi di Negara ini?’ Kata Netizen Soal Kinerja Buruk Polisi yang Membuat Anggota DPRD Sikka Tersangka Kasus TPPO Dilantik

Unggahan berita kasus ini menjangkau ratusan ribu akun X

Floresa.co – Berita tentang salah satu anggota DPRD Sikka, NTT yang dilantik dan berstatus tersangka kasus perdagangan orang menjadi ramai di media sosial Floresa beberapa hari ini.

Netizen pun mengecam langkah polisi yang tidak menahan Yuvinus Solo, politisi Partai Demokrat itu, kendati ia sudah menjadi tersangka sejak tiga bulan lalu.

Yuvinus, juga dikenal dengan sebutan Joker, dilantik pada 26 Agustus.

Pelantikannya diwarnai aksi protes aktivis kemanusiaan, termasuk para pastor dan biarawati Katolik, serta korban kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO].

Dalam aksi itu, massa mengecam lambannya polisi menangani kasus ini serta mempertanyakan alasan tidak menahannya.

Joker ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei, namun polisi mengklaim ia sakit sehingga tidak ditahan.

Joker dilaporkan mengirim puluhan warga Sikka ke Kalimantan pada Maret 2024 untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit, tanpa mengikuti prosedur legal.

Salah satunya adalah Yodimus Moan Kaka alias Jodi, warga Likot, Desa Hoder, Kecamatan Waigete yang kemudian meninggal karena kelaparan.

Pada awal April, isteri Jodi, Meri Herlina Mbani, melapor Joker ke Polres Sikka.

Dalam aksi pada 26 Agustus, massa menyatakan, Joker telah berulang kali berusaha mendekati istri Jodi, meminta agar kasus ini diselesaikan lewat mekanisme kekeluargaan dan mencabut laporan.

Berita Floresa soal aksi protes itu ramai dikomentari netizen, khususnya di platform media sosial X, yang sebelumnya bernama Twitter.

Ribuan netizen memuat ulang atau repost berita tersebut, dengan jangkauan atau sudah dilihat ratusan ribu kali.

Beberapa yang memuat ulang artikel itu termasuk komika Abdur Arsyad, yang berasal dari Flores Timur.

Hingga 28 Agustus, unggahan tautan berita Floresa soal aksi protes itu dibagikan lebih dari seribu kali dengan jangkauan 155,9 ribu.

Sementara unggahan lainnya berisi foto Joker saat mengikuti pelantikan telah dibagikan lebih dari tiga ribu kali, dengan jangkauan 379,3 ribu.

Salah satu akun X Na*** mengaitkan tindakan polisi yang tidak menahan Joker dengan praktik pengangkangan konstitusi yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan di level nasional.

Pengangkangan konstitusi itu ga cuma di level nasional, tapi 10 tahun terakhir makin mengakar ke level daerah. Permisif,” tulisnya.

Akun lainnya @unevill**** memprotes perlakuan berbeda terhadap Joker dibanding warga biasa yang harus mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian [SKC] saat hendak tes PNS atau seleksi ke instansi pemerintah lainnya.

Buat apa CPNS, BUMN, dan daftar kerja lainnya butuh SKCK yang harganya bisa sampai jutaan itu dengan masa berlaku cuma 6 bulan padahal belum tentu diterima, sementara para pejabat banyak yang punya catatan buruk masih diterima dengan tangan lapang begini?,” tulisnya.

Sementara akun ecosoc*****, menulis, kalau tersangka TPPO saja bisa jadi anggota DPRD, tidak mengherankan kalau kasus TPPO di NTT terus meningkat dan “ratusan korban trafiking yg dipulangkan dlm peti mati tdk membuat pemerintahnya bergerak.”

Sementara pemilik akun agul*** mempertanyakan kinerja polisi: “Sekali lagi gue tanya, kalian sebagai aparat negara yg dibayar melalui pajak rakyat tugasnya apa?”

“Apa yang diharapkan dari polisi di negara ini?” tulis akun @aribu****

Akun lainnya, @lelenopitr*** menyoroti soal tindakan Joker yang mendekati istri korban: “Joker proaktif mendekati korban” woiii, bukannya korban harusnya dilindungi dan dijauhi dr tersangka yaa? Dah gila. Itu mah bukan proaktif mendekati tp MENGANCAM.”

Berulang Kali Unjuk Rasa, Polisi Bergeming

Sejak kasus ini mencuat pada April, kelompok aktivis di Sikka berulangkali mengger aksi unjuk rasa, mendesak penanganan cepat kasus ini dan menahan Joker.

Namun, Polres Sikka memilih bergeming, mengabaikan desakan massa.

Karena itu, dalam aksi pada 26 Agustus, mereka menuntut agar Kapolres Sikka, AKBP Hardi Dinata mundur dari jabatannya karena dinilai tidak mampu menangani kasus ini.

“Dia tidak layak menjadi Kapolres di kabupaten ini dengan kasus TPPO yang setiap tahun meningkat,” kata salah satu orator saat aksi itu.

Ia menyatakan, Kapolres Sikka “melakukan pembiaran kepada seorang pelaku kejahatan luar biasa untuk dilantik menjadi seorang anggota dewan.”

Pastor Vande Raring, SVD menyebut “para penegak hukum turut merayakan kemenangan Yuvinus Solo sebagai anggota dewan.”

“Perjalanan panjang para korban dalam menuntut keadilan pun semakin terjal dan jauh di negeri yang katanya menjadikan hukum sebagai panglima bagi orang-orang kecil,” katanya.

Tindakan lamban dan permisif, katanya, memuluskan langkah  Joker “menuju gedung DPRD,” tanpa “mempertimbangkan betapa korban TPPO adalah manusia bermartabat yang harus dipulihkan hak-haknya.”

Suster Fransiska Imakulata, SSpS, Koordinator Tim Relawan Kemanusiaan untuk Flores [TRUK-F] kecewa terhadap pemerintah daerah Kabupaten Sikka yang tahu kasus ini sejak awal, namun “tidak ada satu suara pun yang berpihak kepada korban yang seharusnya mereka lindungi dan perjuangkan hak-haknya.”

“Sekali lagi saya katakan bahwa TPPO adalah kejahatan luar biasa. Tidak ada toleransi bagi siapapun pelaku kejahatan ini,” katanya.

Pasal yang Menjerat Joker

Menurut keterangan polisi, Joker dijerat dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang TPPO juncto pasal 55 ayat 1 KUHP atau pasal 186 ayat 1 UU TPPO  juncto pasal 35 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juncto pasal 55 ayat 1 KUHP.

Pasal 2 ayat 1 UU TPPO mengatur antara lain perekrutan seseorang dengan pemalsuan, penipuan untuk tujuan eksploitasi di wilayah negara Indonesia. Ancaman hukumannya antara 3-15 tahun dan denda antara Rp120.000.000 – Rp600.000.000.

Sementara pasal 35 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 mengatur ketentuan kewajiban memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja.

Pasal 55 ayat 1 KUHP berbicara soal mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman, penyesatan.

Menurut KUHAP, tersangka dengan ancaman hukuman penjara lebih dari lima tahun seharusnya ditahan.

Polres Sikka telah menyerahkan berkas kasus ini ke Kejaksaan Negeri Sikka pada 13 Juni, namun dikembalikan untuk dilengkapi.

Kepala Seksi Humas Polres Sikka, AKP Susanto berkata kepada Floresa pada 21 Agustus, penyidik sudah melengkapi berkas sesuai petunjuk jaksa dan sudah mengirimnya kembali.

NTT menjadi daerah darurat perdagangan manusia di Indonesia, menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Polda NTT mencatat 256 kasus TPPO pada 2023, kendati kelompok peduli TPPO  meyakini jumlah sebenarnya bisa beberapa kali lebih tinggi.

Setidaknya 516 pekerja migran dari NTT meninggal di Malaysia pada 2018-2022, menurut Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia cabang NTT.

Dari jumlah tersebut, 499 adalah “pekerja migran non-prosedural,” yang berarti mereka tidak mengikuti prosedur resmi saat direkrut.

Tahun lalu, jenazah 151 pekerja migran dikembalikan ke kampung halaman mereka di NTT, jumlah tertinggi dalam lima tahun terakhir.

Hingga Agustus, jenazah 68 pekerja migran dipulangkan selama tahun ini. Di antara mereka, hanya satu pekerja migran prosedural, sementara yang lainnya non-prosedural.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA