Floresa.co – Polisi di Kabupaten Nagekeo menahan seorang pegawai tata usaha di salah satu SMA yang dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap peserta didik.
Berbicara kepada Floresa pada 17 Mei, Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Nagekeo, Iptu Leonardo Marpaung berkata, pelaku yang berinisial PP “sudah ditahan di Polres Nagekeo,” kendati tak merinci waktu penahanannya.
Sebelumnya, PP, 45 tahun, seorang pegawai tata usaha di sebuah SMA di Kecamatan Wolowae dilaporkan melecehkan seorang siswi kelas X.
PP, kata Leonardo, dijerat dengan Pasal 76E juncto Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
Ia berkata, kasus itu terjadi pada di ruangan tata usaha pada 25 Februari.
Kala itu, kata dia, PP memanggil korban agar mengembalikan sapu ke ruangannya.
Sebelumnya, sapu itu dipinjam korban untuk membersihkan teras kantor sekolah.
Saat korban hendak menaruh sapu, PP langsung menggapai pergelangan tangan kirinya, kemudian menyentuh alat vital korban dengan lengan tangan kanannya.
“Hal itu dilakukan oleh pelaku sebanyak dua kali,” kata Leonardo.
Sehari kemudian, JM, paman korban melaporkan kasus tersebut ke Polres Nagekeo.
Kejadian itu membuat korban “sangat trauma” dan sempat langsung mengadu ke Guru Bimbingan dan Penyuluhan.
YE, Guru Bimbingan dan Penyuluhan sekolah itu berkata, korban mengaku telah dua kali dilecehkan oleh pelaku yang sama.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Nagekeo, Ernesta Lokon mengklaim dinasnya sudah mengunjungi rumah korban dan saksi, serta ke sekolah untuk mencegah bullying terhadap korban dan saksi.
Pelaku Mesti Ditindak Tegas
Pakar pedagogi, Pastor Vinsensius Darmin Mbula, OFM berkata, pelecehan seksual di sekolah merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa karena pelaku seharusnya menjadi teladan dan pelindung bagi anak-anak dalam proses pendidikan, baik secara rohani, moral, maupun spiritual.
Karena itu, menurutnya, pelaku harus dikeluarkan dari institusi pendidikan agar kejadian serupa tidak terulang.
Pelecehan seksual, kata dia, tidak hanya mencederai fisik dan psikologis korban, tetapi juga menghancurkan masa depannya dan menciptakan trauma jangka panjang yang sulit disembuhkan.
Karena itu, “pegawai tata usaha itu harus diproses secara hukum” dan “pendampingan terhadap korban harus dilakukan secara utuh dan menyeluruh dalam usaha menghilangkan trauma.”
“Kebijakan penanganan pelecehan seksual di sekolah adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen pendidikan. Karena itu, dibutuhkan pendampingan dan pencegahan secara yang serius, humanis dan holistik,” katanya kepada Floresa pada 17 Mei.

Darmin berkata, penyelesaian kekerasan secara holistik dilakukan dengan menempatkan keselamatan dan pemulihan korban sebagai prioritas utama melalui prinsip kebijakan perlindungan anak atau safeguarding.
Prinsip-prinsip safeguarding, kata dia, mencakup upaya perlindungan proaktif terhadap anak dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan melalui kebijakan, pengawasan dan edukasi yang ketat.
Ia berkata, pendekatan holistik dan humanis dalam menyelesaikan pelecehan seksual di sekolah adalah pendekatan yang memandang korban sebagai individu utuh dengan kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan spiritual yang harus dipulihkan secara menyeluruh.
Pendekatan ini, menekankan empati, perlindungan serta pemulihan martabat dan kepercayaan diri korban, “bukan semata-mata penegakan hukum terhadap pelaku.”
Karena itu, selain elemen sekolah, ia juga mendorong keterlibatan pemerintah daerah dan kepolisian untuk mencegah kekerasan seksual yang melibatkan “orang dekat” di sekolah.
“Urusan pelecehan seksual jangan dilimpahkan kepada sekolah saja, tetapi pemerintah daerah dan Polres juga harus menjadi pelindung masyarakat,” kata Darmin, yang juga Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik.
Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Nagekeo
Kasus ini menambah deretan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Nagekeo.
Erna berkata, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Nagekeo menerima delapan laporan kasus kekerasan terhadap anak selama tahun ini.
Empat kasus dengan korban perempuan dewasa dan empat kasus lainnya dengan anak di bawah umur.
“Dari empat kasus anak itu, dua kekerasan seksual, satu kekerasan fisik, dan satu terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” katanya.
Ia menjelaskan, faktor ekonomi masih menjadi pemicu utama kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Nagekeo, selain perselisihan dalam rumah tangga.
Erna mengklaim “meningkatnya laporan kekerasan menunjukkan kesadaran masyarakat yang semakin tinggi dalam melaporkan kasus.”
Editor: Herry Kabut