BBKSDA NTT Klaim Perubahan Mutis Jadi Taman Nasional untuk Perlindungan Kawasan dan Legalkan Aktivitas Warga Adat, Ada Rencana Pemanfaatan untuk Pariwisata

Pimpinan lembaga itu mengklaim aktivitas warga adat selama ini ilegal, dan bisa dikenai pidana sesuai ketentuan perundang-undangan

Floresa.co – Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] NTT menampik keresahan warga soal dampak perubahan status kawasan hutan sekitar Gunung Mutis dari cagar alam menjadi taman nasional, mengklaim langkah itu untuk perlindungan kawasan dan justru akan memberi payung hukum bagi aktivitas warga adat yang selama ini “ilegal.” 

Di sisi lain, BKKSDA juga mengakui kawasan itu akan dikembangkan untuk pariwisata, berdasarkan sistem zonasi yang penetapannya akan melibatkan masyarakat setempat.

Pernyataan Arief Mahmud, Kepala BKKSDA NTT itu merespon laporan Floresa tentang kekecewaan warga di sekitar Mutis terkait langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] yang disebut sepihak sehingga mengagetkan mereka.

BBKSDA NTT ditunjuk oleh KLHK sebagai pengelola sementara Taman Nasional Mutis Timau sebelum pembentukan Balai Taman Nasional Mutis Timau yang berada di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

Arief berkata, penetapan taman nasional itu bertujuan mengakomodasi berbagai kepentingan, termasuk perlindungan lingkungan dan situs-situs budaya masyarakat.

“Yang dicemaskan [warga] itu ketakutan yang tidak berdasar, ketakutan yang belum terjadi, pemerintah itu kan gak ingin merusak, kawasan mana yang pemerintah mau merusak?” katanya dalam wawancara via telepon.

Ia berkata, dengan perubahan statusnya menjadi taman nasional, pemerintah bermaksud melakukan pengelolaan dengan sistem zonasi, di mana terdapat beberapa zona seperti “zona inti, zona rimba, zona rehabilitasi untuk bagian kawasan yang telah rusak dan zona pemanfaatan tradisional.”

Zona lainnya, kata Arief, adalah “zona religi” yang dikhususkan untuk melindungi situs-situs budaya tempat masyarakat adat biasa melakukan ritual.

“Kalau tetap jadi cagar alam kita nggak bisa menetapkan zonasi, pemanfaatan untuk kebutuhan adat pun jadi ilegal,” katanya.

Pada 26 September, Arief juga mengirimkan sebuah pernyataan tertulis merespons pertanyaan-pertanyaan Floresa.

Dalam pernyataan itu ia menegaskan bahwa dengan perubahan menjadi taman nasionall, luas hutan konservasi di Mutis justru bertambah karena taman nasional merupakan gabungan dari kawasan hutan yang sebelumnya merupakan Kawasan Lindung Mutis Timau dan Kawasan Hutan Konservasi Cagar Alam Mutis Timau. 

Keduanya masing-masing seluas 66.473,83 [mencakup wilayah di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara] dan 12.315,61 hektare [mencakup wilayah di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara].

Dengan perubahan ini, katanya, “justeru terjadi penambahan luas kawasan Hutan Konservasi Taman Nasional menjadi 78.789 hektar.”

Ia menambahkan kekhawatiran soal ancaman terhadap kawasan itu, seperti membabat hutan alam Ampupu untuk diganti dengan tanaman budidaya “sama sekali tidak benar.”

“Justru salah satu pertimbangan dilakukannya perubahan fungsi taman nasional adalah keberadan hutan alam Ampupu. Dalam pengelolaan taman nasional sebagai hutan konservasi, tidak dimungkinkan untuk melakukan penanaman jenis tanaman budidaya selain jenis asli yang ada dalam kawasan taman nasional,” katanya, merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya [UU KSDAHE].

Ia menyatakan, setelah ditetapkan menjadi taman nasional, masyarakat sekitar juga masih memiliki akses ke dalamnya.

“Akses tersebut berupa pelaksanaan ritual adat di dalam zona religi, pengambilan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi di dalam zona pemanfaatan tradisional melalui skema kemitraan konservasi serta keikutsertaan di dalam kegiatan pengusahaan pariwisata melalui skema perizinan jasa dan sarana wisata alam sesuai ketentuan,” katanya. 

Ia menambahkan, masyarakat akan dilibatkan dalam konsultasi publik pada proses penyusunan zonasi kawasan taman nasional.

Arief juga menekankan bahwa selama berstatus sebagai cagar alam, beberapa aktivitas masyarakat sebelumnya yang “mengambil madu hutan, mengambil kayu bakar, mengambil lumut dan jamur, aktivitas ritual adat serta penggembalaan ternak sapi dan kuda” sebenarnya dilarang.

“Sebagian masyarakat umum juga secara terbatas sudah melakukan aktivitas wisata berupa pendakian gunung, trekking/hiking, mengunjungi beberapa objek tertentu untuk aktivitas wisata. Masyarakat dan pemerintah setempat – Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara – juga sudah melakukan aktivitas pemanfaatan air.”

Aktivitas tersebut, kata dia, seharusnya “tidak memungkinkan” jika mengacu pada UU KSDAHE.

Hukuman penjara dan denda dapat dikenakan kepada orang atau korporasi yang melanggar ketentuan tersebut, katanya.

Ia mengakui bahwa dalam penetapan zonasi, akan ada pemanfaatan untuk pariwisata.

Namun, ia menampik kecemasan warga akan kerusakan alam akibat aktivitas wisata, mengklaim “tidak semua bagian kawasan akan dijadikan sebagai zona pemanfaatan untuk kepentingan wisata.”

Ia juga mengatakan “kawasan eks cagar alam sedapat mungkin akan menjadi zona inti.”

“Proses pengaturan ruang ini harus benar-benar dilakukan dengan memperhatikan kriteria dan kondisi di lapangan serta masukan para pihak. Aktivitas pemanfaatan untuk wisata dilakukan dengan seminimal mungkin membuka hutan,” katanya.

Ia juga menjelaskan, dalam pengembangan pariwisata masyarakat akan terlibat dalam layanan jasa wisata berupa pemandu wisata, jasa transportasi pengunjung, penyediaan souvenir dan penyediaan makanan dan minuman, penyewaan peralatan, informasi wisata dan perjalanan wisata.

Dalam pengemasan paket wisata, katanya, dapat dilakukan penjualan baik berupa obyek wisata alam maupun obyek budaya – tarian adat, kain tenun, situs budaya, penyewaan kain untuk fotografi, aktivitas sehari-hari masyarakat berupa agrowisata dan lain-lain.

“Dalam pengelolaan pengunjung wisata terutama pendakian, masyarakat juga dapat menyediakan jasa penitipan kendaraan, penginapan dan porter,” katanya.

Sementara dalam upaya rehabilitasi kawasan hutan yang rusak, kata Arief, masyarakat juga akan dilibatkan dalam kegiatan pemulihan ekosistem dengan skema kemitraan konservasi.

Ia menjelaskan permohonan perubahan status kawasan ini diajukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat pada 13 Januari 2023, sedangkan perubahan fungsi diajukan oleh Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

Mengacu pada permohonan tersebut, kata dia, dibentuk tim terpadu, dengan latar belakang ilmu dan kompetensi bidang biofisik, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan.

Klaim Sudah Libatkan Komunitas Adat

Dalam percakapan telepon, Arief kesal dengan warga yang menilai KLHK mengambil kebijakan secara sepihak, meminta Floresa untuk tidak melaporkan pernyataan “dari suara-suara yang tidak mewakili kelompok adat.”

Ia mempersoalkan salah seorang narasumber, Aleta Kornelia Baun, yang disebutnya hanya “orang yang mengaku-ngaku” sebagai tokoh adat setempat.

“Aleta Baun itu termasuk ketua adat atau bukan?” tanyanya yang meminta Floresa untuk menghubungi orang yang “mewakili adat betulan.”

Selain Aleta, ia juga menyebut Alfred Baun, saudara Aleta yang disebutnya pernah terlibat dalam suatu kasus, tanpa menjelaskan kasus yang dimaksud.

“Kita tahu siapa dia kok, memang kalian gak tahu siapa dia, kasus apa yang pernah terjadi dengan Alfred Baun itu, coba diinvestigasi, coba cek jejak digitalnya, kasus apa yang pernah dia lakukan,” katanya.

Arief mengklaim dalam percakapan telepon tersebut bahwa pihaknya sudah melakukan sosialisasi dengan semua komunitas masyarakat adat.

Dalam pernyataan tertulis ia juga menyebut bahwa tim terpadu yang dibentuk KLHK untuk penetapan taman nasional juga terlibat dalam dialog dengan komunitas masyarakat di tujuh desa dan kelurahan.

Ketujuhnya antara lain Desa Fatumnasi [masyarakat dan tokoh adat Kefetoran Nunbena]; Desa Mutis [masyarakat dan tokoh adat Kefetoran Mutis Nuapin], Desa Netemnanu [masyarakat dan tokoh adat Kefetoran Mutis Honuk], Kelurahan Lelogama, Desa Oh Aem, Desa Tasinifu [masyarakat dan tokoh adat Kefetoran Aplal] dan Desa Bonleu. 

Namun, kata Arief, “tentu tidak dapat menafikan sebagian masyarakat yang masih belum menerima inisiatif perubahan fungsi” dan “pemerintah menghormati pendapat setiap warga masyarakat.” 

Ia mengklaim perubahan fungsi Hutan Lindung Mutis Timau dan Cagar Alam Mutis Timau “dilakukan dengan menempuh prosedur sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan khususnya pasal 327 sampai dengan pasal 341.”

Sementara saat deklarasi taman nasional pada 8 September, ia mengatakan “tidak semua komunitas adat diundang” karena “memperhatikan lokasi, waktu serta pertimbangan lain.”

Dalam wawancara via telepon, Arief menekankan dampak positif perubahan status itu untuk komunitas adat, menyebut secara khusus warga adat Nenas dan Desa Mutis di dalam kawasan bekas cagar alam.

Warga tersebut, kata dia, hingga kini belum memiliki akses listrik, jalan raya, dan informasi, hal yang diklaimnya akan terbantu setelah kawasan itu berubah menjadi taman nasional.

“Kita manusiawi gak membiarkan mereka seperti itu?” katanya.

“Mereka sangat bodoh, tidak ketemu sekolahan, coba, karena gak bisa apa-apa di dalam situ. Itu hak warga negara lho,” lanjutnya.

Diprotes Warga Adat

Penetapan Taman Nasional Mutis Timau diumumkan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar pada 8 September.

Pengumuman dilakukan secara daring bersama Tim Bezos Earth Fund [BEF] – lembaga filantropi berbasis di Amerika Serikat – melalui teleconference dari Denpasar, Bali.

Dalam kesempatan tersebut, di mana sekelompok warga yang mengenakan pakaian adat ikut serta dari salah satu titik di kawasan Mutis Timau, Siti mengklaim, taman nasional itu “menjadi paru-paru bagi Nusa Tenggara Timur.” 

Ia juga menyebutnya simbol sekaligus implementasi penting upaya “melindungi, mengawetkan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, berkeadilan dan bertanggung jawab demi generasi mendatang.”

Deklarasi taman nasional tersebut menuai kritikan warga adat yang menyebut KLHK mengambil keputusan sepihak seperti “pencuri yang mau mengambil sesuatu dari Mutis.”

“Negara mau ambil apa dari hutan ini?” kata Aleta Kornelia Baun, aktivis perempuan asal Lelobatan, Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

“Hutan itu hutan keramat bagi masyarakat adat, karena di dalamnya ada tempat-tempat ritual,”  katanya.

Sementara itu, Dicky Senda, penulis dan aktivis pangan dari Komunitas Lakoat Kujawas, Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan berkata, akar dari keputusan sepihak KLHK adalah “pemerintahan yang korup,” yang membuat aturan-aturan untuk “kepentingan dan niat jahat di kawasan Mutis.”

Kecurigaan warga beralasan karena “sudah banyak pengalaman kebijakan, undang-undang dan berbagai aturan yang dibuat sepihak, minim sosialisasi dan tidak melalui kajian yang melibatkan publik,” katanya.

Kritikan juga datang dari Forum Sejarah dan Budaya Timor Pusat [FSBT] yang meminta KLHK meninjau kembali putusannya.

Sekretaris Umum FSBT, Eben Tusalakh mencap kebijakan KLHK sebagai “tamparan keras terhadap tatanan adat, kearifan lokal budaya Mutis sekaligus keberlangsungan alam Mutis bagi generasi Timor pada umumnya.”

Akademisi: Warga Adat Wajar Marah

Novadona Bayo, akademisi asal Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang memiliki fokus kajian politik dan masyarakat di Pulau Timor menilai kemarahan warga adat merupakan hal yang wajar.

“Bagi orang Timor, Mutis adalah mama,” katanya kepada Floresa pada 25 September.

Karena itu, kata Nova yang kini sedang menempuh studi doktoral di Australia, KLHK seharusnya tidak buru-buru mengambil keputusan, tanpa melalui sosialisasi menyeluruh dengan semua elemen masyarakat adat.

Nova mengatakan belajar dari wisata super premium di kawasan Taman Nasional Komodo, “kepentingan bisnis pariwisata dalam banyak hal meminggirkan masyarakat lokal atau masyarakat adat.”

“Inilah yang menjadi ketakutan masyarakat, dan kekhawatiran publik itu sangat valid karena mereka juga banyak mendengar tentang pengelolaan Taman Nasional Komodo, misalnya tentang bagaimana susahnya Ata Modo melakukan klaim terhadap tanah dan ruang hidup mereka sendiri,” katanya.

Ia berkata karakter jasa dari sektor pariwisata akan membuka kemungkinan yang hanya menjadikan masyarakat lokal sebagai buruh di sektor pariwisata, sehingga yang terjadi adalah justru “proletarianisasi petani.”

“Padahal, dari dulu Timor dikenal dengan sektor peternakannya, salah satunya sapi. Bukanlah lebih baik negara mengembangkan sektor peternakan sapi maupun babi dan pertanian lahan kering untuk warga Timor?”

Dari sisi pemerintah daerah, ia menduga hal tersebut berhubungan dengan upaya menggenjot Pendapatan Asli Daerah [PAD], “misalnya melalui tiket dan retribusi wisata.”

Keberadaan taman nasional tersebut, kata dia, akan menjadi sumber pemasukan bagi Kabupaten Timor Tengah Selatan yang masih bergantung kepada pemerintah pusat.

“Jika menilik realisasi PAD Kabupaten TTS di tahun 2023, dari total APBD sebesar 1,6 triliun, Pemda hanya mampu berkontribusi lewat PAD sebesar 31 miliar. Artinya, ada ketergantungan finansial yang luar biasa besar pemda TTS terhadap pemerintah pusat.”

Floresa sempat menanyakan kepada Arief Mahmud soal apakah nasib Taman Nasional Timau akan seperti Taman Nasional Komodo, di mana KLHK mengutak-atik zonasi lalu memberi karpet merah bagi korporasi untuk berbisnis di dalam kawasan.

Ia berkata, “terdapat zona-zona yang sudah diatur yang memungkinkan masyarakat tinggal dan memanfaatkan kawasan itu.”

“Memang ada yang dirugikan dengan Taman Nasional Komodo? Coba hitung sekarang, berapa investasi yang terjadi di Labuan Bajo, berapa orang  yang mendapatkan manfaat dari Labuan bajo?” tanyanya.

Saat Floresa menjelaskan konsesi ratusan hektare sejumlah perusahaan untuk pembangunan hotel dan resor yang dikhawatirkan mengancam habitat komodo, sementara warga ada hanya diberi akses di 17 hektare, ia merespons: “kalau itu nanti tanya langsung ke Taman Nasional Komodo, mereka punya datanya yang lebih akurat. Kalau saya yang jawab, nanti salah.”

Sementara dalam penjelasan tertulis ia mengklaim “peran investor dalam proses pembangunan sarana wisata pada kawasan taman nasional sesuai ketentuan peraturan perundangan memang dimungkinkan.”

Ia menambahkan, selain aktivitas investor, pada zona pemanfaatan juga dimungkinkan pula pembangunan sarana lain, “seperti pembangunan jalan, jaringan listrik dan komunikasi, pertahanan keamanan serta kegiatan lain sepanjang untuk kepentingan yang bersifat strategis dan tidak dapat dielakkan serta untuk penanggulangan bencana dan pemenuhan hajat hidup masyarakat.”

Nova menambahkan ia menduga penetapan Taman Nasional Mutis Timau jangan-jangan berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional Observatorium Nasional atau Obnas Timau yang saat ini sedang dibangun di Amfoang, Kabupaten Kupang.

Menduga-duga, katanya, karena tidak mendapatkan akses pada dokumen hasil kajian tim terpadu.

“Obnas ini rencananya akan menjadi koridor bagi astronomy tourism di Timor, seperti Observatorium Boscha yang ada di Lembang, Bandung,” katanya.

Penetapan taman nasional tersebut, lanjutnya diduga untuk menjaga zona inti Obnas Timau, “maka perlu wilayah-wilayah penyangga yang disebut sebagai Taman Langit Gelap di sekitaran Obnas Timau agar bebas dari polusi cahaya.”

“Dalam logika pemerintah pusat, Obnas Timau ini penting karena ia juga dibutuhkan negara untuk menjaga pertahanan negara, memprediksi cuaca dan sejenisnya,” katanya.

Di tengah kontroversi ini, Nova mengingatkan pentingnya membaca logika berpikir di balik keputusan pemerintah, yakni “wacana kesejahteraan melalui kapitalisasi Mutis untuk bisnis wisata” dan “wacana konservasi yang diintervensi negara” dan tidak dikendalikan oleh warga adat sendiri.

“Wacana kesejahteraan adalah alasan klasik yang sering dipakai negara untuk menjustifikasi kebijakan agar diterima oleh masyarakat lokal,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA