Proyek Geotermal di Flores: Mengentaskan atau Mereproduksi Kemiskinan?

Narasi-narasi kapitalistik yang mereduksi makna tanah hanya dari segi ekonomi melanggengkan praktek perampasan yang disokong kekuasaan lewat ketentuan legal-formal

Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila

Dalam masyarakat agraris, tanah tak hanya bernilai ekonomi. Tanah juga punya nilai kultural dan sosial. Nilai ini membentuk relasi masyarakat dengan tanah dan alam secara keseluruhan.

Masyarakat Manggarai misalnya memiliki ungkapan “gendang’n one lingko’n peang, natas bate labar, uma bate duat” yang menjelaskan keterkaitan antara kampung sebagai tempat tinggal dengan tanah sebagai tempat untuk mencari sumber penghidupan.

Hal ini sekaligus mengungkap kedalaman relasi masyarakat dengan tanah dan ekosistem alam yang membentuk cara hidup mereka.

Konsepsi semacam itu juga hidup dalam komunitas masyarakat lainnya, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di belahan bumi lain.

Sayangnya, dalam narasi tentang proyek-proyek investasi yang dikampanyekan pemerintah, makna tanah disempitkan hanya dari sisi nilai ekonominya.

Hal ini telah memicu polemik seperti dalam proyek investasi geotermal di Flores yang hari-hari ini ramai dibicarakan.

Dengan dalih warga yang pro dengan proyek itu sudah menyerahkan tanahnya, pemerintah dan korporasi menganggap urusan selesai.

Padahal, masyarakat sebagai sebuah komunitas adat memiliki pemahaman tersendiri tentang hidup mereka, termasuk dalam memaknai tanah.

Mereka juga memiliki visi kemajuan versi mereka.

Alih-alih hanya mengikuti visi kemajuan pemerintah dan korporasi yang disokong agenda kapitalisme-neoliberal yang berciri eksploitatif dan ekstraktif dan untuk akumulasi keuntungan ekonomi, masyarakat melihat proyek pembangunan dalam kaca mata yang lebih luas, dengan memperimbangkan aspek kultural dan sosial dari tanah.

Karena itulah, muncul perlawanan terhadap proyek-proyek investasi karena meyakini bakal mengganggu ruang hidup dan cara hidup mereka; tanah dan segala nilai yang melekat padanya.

Cara Kerja Perampasan Lahan 

Proyek-proyek pembangunan ini berjalan beriringan dengan klaim dan narasi akan membawa kemajuan, demi pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan seterusnya.

Di NTT, dengan status sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia, sumber daya manusia yang rendah dan tingginya angka gizi buruk, narasi semacam itu amat laku sehingga terus digaungkan.

Narasi-narasi itu menjadi alasan yang kemudian menjustifikasi praktik yang dalam studi kritis tentang agraria disebut sebagai perampasan lahan atau land grabbing.

Emilianus Y. S Tolo [2014] dalam artikelnya di Indoprogess.com, menyebut land grabbing biasanya dilakukan oleh kaum kapitalis dengan tujuan ekonomi politik. 

Agar tujuan ini tercapai, mereka beraliansi dengan negara agar mendapat legitimasi legal-formal dalam proses pendudukan tanah rampasan. 

Praktik land grabbing memang berkelindan dengan relasi kekuasaan.

Negara lewat birokrasi dan aparaturnya membentuk jalinan ‘kuasa’ melalui ‘aturan legal formal’, narasi dan jargon seperti proyek strategis nasional, dan pengerahan aparat keamanan untuk mengintimidasi warga. 

Praktik seperti ini yang difasilitasi oleh negara membuatnya bisa dibaca sebagai perpanjangan tangan dari kapitalis.

Kita bisa mengambil contoh konkrit pola ini dalam kasus geotermal Poco Leok, lewat penetapan SK Penetapan Lokasi oleh Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit pada 1 Desember 2022.

Penetapan SK itu yang menurut warga dilakukan diam-diam, tanpa sepengetahuan mereka, bekerja dalam bingkai praktik land grabbing yang difasilitasi negara.

Melalui aturan legal-formal itu, tanah yang sifatnya kolektif dalam pandangan masyarakat adat Poco Leok dan Manggarai umumnya digeser pada isu kepemilikan yang sifatnya kapitalistik – eksploitatif dan ekstraktif.

Lewat cara ini, tanah sengaja dilepaskan dari nilai kultural dan sosialnya dari warga. Ada upaya menegasi hubungannya dengan konteks kehidupan warga sebagai suatu komunitas adat.

Inilah awal dari penghancuran ruang hidup serta peminggiran warga Poco Leok dari relasi dengan tanah, sebagaimana yang menjadi landasan gerakan penolakan mereka.

Di Poco Leok – dan di tempat lain di Flores -, negara juga terlibat aktif dalam merusak ikatan sosial yang hidup di tengah warga. 

Cara ini diciptakan dengan membenturkan hubungan kekerabatan sosial warga, lewat upaya konfrontasi atau seperti politik adu domba, devide et impera ala rezim kolonial Belanda.

Hal ini misalnya terjadi dengan munculnya narasi bahwa “warga telah menerima uang ganti rugi” dan karena itu tidak ada lagi orang yang boleh menentang proyek itu. Narasi itu direproduksi di tengah resistensi penolakan warga.

Kalimat ini secara implisit dapat dibaca sebagai upaya membungkam penolakan dan resistansi yang makin hari makin tinggi. 

Kalimat “mereka sudah terima uang ganti rugi” sebetulnya tak dapat dipisahkan dari cara negara untuk mempercepat praktik land grabbing.

Kekerasan oleh aparat keamanan, termasuk penangkapan terhadap warga yang terlibat dalam aksi protes dan jurnalis yang berupaya mengangkat suara warga, adalah upaya terang benderang demi memuluskan land grabbing

Reproduksi Cara Orde Baru

Konsepsi tentang negara yang berwenang dalam menentukan visi kemajuan dan yang punya otoritas untuk mengatur kehidupan sosial, harus diakui, berhasil diterima begitu saja atau taken for granted oleh sebagian kalangan.

Hal ini berangkat dari asumsi bahwa negara tahu segalanya, punya kewenangan untuk menentukan bagaimana masyarakat harus hidup, diatur dan direkonstruksi.

Negara dalam cara pandang ini masih dominan dipahami oleh banyak orang, termasuk di Flores.

Lantas, mereka yang menolak menyerahkan tanah untuk pembangunan dicap anti-pembangunan, membangkang dari tujuan bernegara.

Sebaliknya, proyek-proyek investasi diyakini sepenuhnya sebagai ‘perhatian negara,’ bahkan ‘budi baik negara’ untuk memajukan masyarakat.

Hal seperti ini hanyalah reproduksi dari apa yang pernah dipraktikkan pada masa Orde Baru di bawah rezim otoriter Soeharto.

Bersama kroninya, Soeharto berhasil membentuk konsepsi bahwa apapun yang dilakukan negara sudah pasti untuk kepentingan umum.

Konsepsi ini dilanggengkan untuk tujuan pembungkaman terhadap mereka yang menolak proyek pembangunan atau mengambil sikap kritis terhadapnya. 

Mereka pun dicap tak Pancasilais, komunis dan anti terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Padahal, berkebalikan dari ini, negara justru memelopori dan memfasilitasi praktik perampasan tanah warga melalui berbagai skema, dengan dalih kepentingan umum.

Inilah yang juga sedang terjadi di Poco Leok dan di semua tempat yang belakangan ini sedang menjadi lokasi proyek skala besar.

Kritisisme Kolektif

Dengan cara pandang kritis terhadap cara kerja pembangunan yang mengabaikan aspirasi warga setempat, kita bisa menyebut bahwa ini merupakan awal dari reproduksi kemiskinan, alih-alih upaya mengentaskannya.

Dengan hilangnya tanah sebagai penyangga utama ekonomi warga, sementara tidak ada jaminan pasti bahwa proyek investasi itu akan berdampak bagi kesejahteraan, mereka berada dalam kerentanan akan kehilangan masa depan, terutama di dalamnya tanah sebagai sarana produksi yang bisa diwariskan ke anak cucu.

Karena itu, di tengah konteks ini, penting membangun sikap kritis, untuk tidak begitu saja mengamini narasi-narasi yang digaungkan pemerintah dan korporasi.

Sikap ini mesti dihidupi secara bersama-sama oleh berbagai elemen, dengan memeriksa secara kritis: seperti apa cara kerja proyek-proyek investasi ini, apakah itu akan memicu kerusakan ekologi, apakah jaminan-jaminan yang diberikan pemerintah tentang klaim manfaat benar-benar terukur atau itu hanya bualan semata demi melanggengkan perampasan tanah.

Kesadaran kritis semacam ini tidak bisa hanya menjadi tugas para aktivis, mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, lembaga keagamaan, tetapi perlu menjadi pilihan sikap kita semua.

Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila adalah alumnus Program Studi Administrasi Publik Universitas Merdeka Malang.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya