Floresa.co – Seorang warga di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi tersangka kasus penghinaan terhadap bupati, hal yang menurut para aktivis menambah deretan warga sipil yang dipidana dengan undang-undang yang kontroversial.
Saverius Suryanto atau Rio, warga Desa Macang Tanggar, Kecamatan Komodo mendapat surat penetapan sebagai tersangka pada 11 September karena dituding melakukan penghinaan lewat Facebook terhadap Bupati Edistasius Endi.
Dalam surat polisi yang salinannya diperoleh Floresa pada 18 September, Rio disebut melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Piter Ruman, pengacara Rio mengatakan kliennya itu mengunggah sejumlah gambar wajah Edi di Facebook pada 9 Mei.
Gambar-gambar itu, yang juga diperoleh Floresa, memperlihatkan foto Endi ditimpa dengan gambar kaki. Gambar lainnya memperlihatkan ada tanduk di kepalanya.
Pada setiap gambar itu, terdapat sejumlah pernyataan kritikan. Salah satunya adalah Endi dianggap mengabaikan hak kelompok warga di Desa Macang Tanggar untuk mendapat sertifikat atas tanah mereka. Rio adalah termasuk warga desa itu.
Kepolisian Resor Manggarai Barat menyatakan Endi melaporkan Rio pada 19 Mei, hal yang diragukan Piter.
“Saya tidak tahu apakah pelapor datang sendiri atau tidak. Dalam delik aduan, korban pencemaran nama baik harus membuat pengaduan langsung [ke polisi],” katanya.
Floresa menghubungi Polres Manggarai Barat pada 18 September guna mengonfirmasi pemberitaan terkait pelaporan langsung Endi, tetapi tak direspons. Edi juga tidak merespons Floresa yang dihubungi dengan telepon dan pesan WhatsApp.
Piter mengkritisi penetapan tersangka kliennya lantaran bukan Rio yang membuat gambar-gambar itu.
Gambar-gambar itu, kata dia, “lebih dulu beredar luas di media sosial” sebelum Rio melakukan tangkapan layar (screenshot) dan membagikan ulang lewat Facebook.
“Jangan sampai terjadi error in persona, karena bukan klien saya yang produksi [gambar-gambar itu],” kata Piter.
Konteks peradilan mengenal error in persona sebagai kekeliruan terhadap orang yang diajukan sebagai tergugat.
Ia mengingatkan apa yang terjadi pada kliennya bisa saja menimpa warga lain: hanya mengunggah ulang foto suntingan dan malah dijerat pasal-pasal pidana yang ia sebut sebagai “pasal karet.”
Bentuk Kritik
Dalam wawancara dengan Floresa pada 18 September, Rio menjelaskan, dirinya memang bukan pihak yang pertama kali mengunggah gambar yang dipermasalahkan Endi.
Ia menyatakan gambar-gambar tersebut “pertama kali diunggah akun Instagram Serikat Pemuda NTT” yang disiapkan menjelang aksi demonstrasi menolak KTT ASEAN di Labuan Bajo pada Mei.
Ia mengatakan memilih ikut menyebarkannya karena merupakan salah watu warga Desa Macang Tanggar yang haknya diabaikan untuk mendapat sertifikat atas lahan mereka.
Menurut Rio, warga desa itu yang adalah transmigran lokal dari daerah lain di Flores barat sudah berjuang untuk mendapat sertifikat sejak 1996.
Ia mengatakan, dari informasi yang ia peroleh, 200 sertifikat lahan usaha dan 200 sertifikat hak milik milik warga desa sudah ada di Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, tetapi tidak kunjung diserahkan kepada mereka.
Karena memperjuangkan sertifikat itu, kata dia, unggahannya bukanlah pencemaran nama baik, melainkan suara warga yang sedang menuntut hak.
“Saya tegaskan bahwa apa yang saya lakukan bukan merupakan penghinaan dan pencemaran nama baik, tetapi mengkritik Pemerintah Daerah agar sertifikat kami segera dibagikan,” katanya.
“Kami tak akan meminta apa yang bukan menjadi hak kami,” katanya.
Ia pun menganggap tindakan Endi sebagai “bentuk pembungkaman terhadap suara kritis warga.”
Maraknya Pemidanaan dengan UU ITE
Sesuai surat polisi, Rio dijerat Pasal 45 ayat 3 Jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Pasal tersebut mengatur pelaku penghinaan dan atau pencemaran nama baik dan dapat dipidana paling lama empat tahun atau denda maksimal Rp750 juta.
UU ITE telah lama menjadi sasaran kritikan organisasi masyarakat sipil karena dinilai rentan dipakai untuk mengkriminalisasi mereka yang bersuara kritis terhadap pemerintah.
Southeast Asia Freedom of Expression Network [SAFENet], lembaga yang fokus pada advokasi kebebasan berekspresi, termasuk di ranah digital, mencatat selama periode 2013-2023 terdapat 490 orang yang dituntut pidana dengan UU ITE.
Tahun lalu, lembaga itu mencatat 97 kasus yang melibatkan 107 orang terlapor. Jumlah ini meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan 30 kasus dengan 38 orang korban pada 2021.
“Jumlah yang meningkat drastis ini sekaligus menempatkan tahun 2022 sebagai tahun dengan jumlah pemidanaan terbanyak dalam 9 tahun terakhir,” demikian menurut SAFEnet dalam laporannya.
Berbicara soal kasus Rio, Damar Juniarto, direktur eksekutif SAFEnet menyatakan, sebetulnya tindakannya adalah ekspresi kemarahan spontan akibat haknya dan komunitas warga Desa Macang Tangga dilanggar pemerintah.
“Kemarahan spontan” seperti itu, kata Damar kepada Floresa, “‘bukanlah tindakan kriminal dan tak layak dipidanakan.”
Ia mengatakan dalam kasus pidana penghinaan dan pencemaran nama, pertama-tama yang perlu diperiksa apakah orang tersebut memiliki mens rea atau niat jahat.
Damar juga menyoroti muatan Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang “jelas-jelas menyebutkan korban sebagai pelapor harus perseorangan dengan identitas spesifik” alih-alih institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.
Bila laporan terhadap Rio dibuat oleh Endi dengan posisinya sebagai pejabat, “maka laporan tak dapat dilanjutkan karena tidak sesuai panduan berperkara yang diatur UU ITE.”
Ia memberi catatan bahwa UU ITE memang kerap “digunakan secara paksa hanya karena pelapornya merupakan orang-orang berkuasa dan merasa penting.”
Padahal, yang pertama-tama dan utama dalam proses hukum adalah keajekan fakta, alih-alih dengan mudahnya melaporkan dugaan pencemaran baik maupun penghinaan.
Dalam kasus ini, kata Damar, alih-alih mempidana Rio, Endi seharusnya “mengundang Rio dan warga yang selama ini bernasib sama, kalau perlu bersama awak media, untuk mencari akar masalah dan menyelesaikan secara bersama-sama.”
Bagian Dari Kebebasan Menyampaikan Pendapat
Sementara itu, Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI] mengatakan “tak layak seorang pejabat publik menggunakan kekuasan untuk menjerat masyarakat yang menyampaikan kritik.”
Ia menyatakan, pejabat seharusnya melihat cara yang dilakukan Rio “sebagai bentuk partisipasi, seni dalam menyampaikan pendapat.”
“Orang-orang yang mengkritik dan berjuang untuk hak asasi manusia dan pejuang demokrasi seharusnya dilindungi,” katanya kepada Floresa.
Ia mengatakan, kasus seperti ini menjadi alasan kuat untuk melakukan revisi UU ITE yang kini sedang digaungkan di tingkat nasional karena “terbukti membungkam suara publik.”
Isnur pun menyarankan agar Endi mencabut laporan karena tindakan Rio adalah bagian dari demokrasi.
Dan, katanya, “kritik yang disampaikan oleh Rio adalah tertuju pada jabatan Endi sebagai bupati, bukan pada pribadinya.”