PerspektifAnalisisKemiskinan Perkotaan dan Penataan Ruang

Kemiskinan Perkotaan dan Penataan Ruang

Sayangnya, berbagai dokumen perencanaan, khususnya yang bersentuhan lagsung dengan penataan ruang seperti Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan (RTRK) masih belum sepenuhnya menyentuh masalah kemiskinan. RTRK masih bertolak pada masalah fisik, misalnya kondisi sumber daya alam.

Hal ini bukan mengkerdilkan aspek fisik, namun kecenderungan bertolak dari aspek fisik dan mengabaikan problem sosial kemiskinan malah akan berdampak serius pada kondisi fisik kota itu sendiri. Misalnya, fenomena menjamurnya permukiman kumuh dan liar di kota-kota besar kita. Tahun 2015 tercatat 3771 kawasan kumuh yang dihuni oleh 973,823 jiwa di tujuh kota  antara lain Jakarat, Surabaya, Bandung, Palembang, Medan, Semarang, Denpasar. Ini belum termasuk permukiman liar yang bertebaran di bantaran rel kereta api, kolong jembatan dan bantaran sungai.

Kemudian, Rencana Tata Ruang kota kita masih bersifat teknis dan minim data elemen sosial, terutama mengenai implikasi rencana tersebut terhadap kehidupan masyarakat miskin. Dipahami bahwa perubahan spasial mempunyai ekses pekerjaan, transportasi, pendidikan, dan tempat tinggal. Dengan demikian, perencanaan tata ruang, entahkan itu sifatnya awal perencanaan atau revisi diharapkan mempertimbangkan aspek kemiskinan.

Problem sosial yang disulut masalah peruntukan lahan kota sangat menonjol di daerah yang ‘sedang membangun’. Ada kecenderungan daerah lebih memperhatikan pembangunan fisik didukung kuatnya minat investor, tak jarang pemetaan ekses sosial kemasyarakatan diabaikan.

Penolakan masyarakat terhadap alih fungsi lahan pribadi atau komunal  untuk kepentingan segelintir orang sebaiknya dinilai sebagai cerminan dilangkahi elemen sosial dalam perencanaan ruang.

Kegigihan kalangan masyarakat sipil di Kabupaten Manggarai Barat-Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) mempertahankan Ruang Terbuka Pantai Pede misalnya, harus menjadi bahan refleksi dan input baik bagi pemangku kepentingan setempat untuk ditindaklanjuti.

Selain itu, masih terjadinya dikotomi antara instansi urusan penataan ruang dan urusan kemiskinan menjadi PR pemerintah kita. Problem penataan ruang seakan-akan hanya diurusi oleh Badan Perencanaan Daerah dan kemiskinan urusan Dinas Sosial. Ego sektoral ini perlu dihilangkan, dan memulai mengatasi sesuatu secara lintas sektoral sehingga tercapai solusi yang komprehensif.

Pengentasan Kemiskinan

Berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah atau lembaga non pemerintah untuk pengentasan kemiskinan perkotaan masih pada tataran adaptasi—meminimalisasi dampak kemiskinan, misalnya program bantuan langsung tunai, perbaikan rumah atau bentuk bantuan social lainnya. Perencanaan kota dengan mengakomodasi aspek kemiskinan yang sifatnya mitigasi—mencegah penyebab kemiskinan perkotaan, belum sepenuhnya diadopsi dalam kerangka pembangunan kota kita.

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA