Hancurnya Pendidikan Kita

Bobroknya pendidikan di NTT bukan karena daerah ini kekurangan orang pintar, tapi lebih karena korupsi dan buruknya tata kelola pendidikan yang dilakukan oleh tuan-tuan besar para pengambil kebijakan.

Oleh: A Jefrino Fahik

Seperti banyak masalah lain di Nusa Tenggara Timur (NTT), kehebohan selalu muncul dalam derap ruang maya. Salah satu kehebohan itu menyangkut kebijakan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat yang beberapa waktu lalu mewajibkan beberapa SMA/SMK di Kupang masuk sekolah pukul 05.00 subuh.

Sebagaimana ramai diberitakan media, heboh itu meluas hampir di seluruh Nusantara. “Aneh dan tidak nyambung,” begitu komentar Anggota DPR Komisi Pendidikan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahmy Alaydroes pada Rabu, 1 Maret terhadap kebijakan itu.

Bagi warga NTT yang sudah lama mengenal Laiskodat, sebetulnya itu bukan cerita baru. Keanehan hari ini hanyalah satu dari sekian banyak drama yang lahir dari kebijakannya. Sebelumnya, pada tahun 2022, kebijakan  menaikan tiket ke TN Komodo menjadi 3.75 juta rupiah, juga mengundang kehebohan hingga memicu resistensi dari publik luas.

Menurut saya, kebijakan Laiskodat ini amat tepat jika dicap sebagai gejala megalomania seorang pemimpin yang pada satu sisi secara ugal-ugalan menerapkan kebijakan, sambil mengingkari hal yang paling kasat mata seperti rusaknya gedung sekolah, kurangnya teknologi belajar, sampai masalah gaji guru yang hari ini masih menjadi cerita pilu bagi banyak guru di NTT.

Jauh dari Akar Masalah

Mengapa saya berani menyimpulkan program sekolah jam 05.00 subuh ala Laiskodat sebagai sebuah kebijakan yang hanya lahir dari legalitas seorang gubernur, lantas jauh dari soal utama pendidikan di NTT? Setidaknya ada dua penjelasan utama.

Pertama, secara akademik, tak ada studi yang merekomendasikan bahwa ada hubungan yang positif antara jam sekolah subuh dengan peningkatan mutu peserta didik sebagaimana yang diklaim Laiskodat. Ia memang bermimpi bahwa dari kebijakan itu suatu saat NTT melahirkan putra dan putri daerah yang memiliki etos kerja yang baik, disiplin yang tinggi, serentak dapat bersaing di perguruan tinggi terkemuka di dalam negeri maupun luar negeri.

Sejauh ini belum ada kajian akademis yang menjelaskan keterkaitan kausal antara sekolah lebih pagi dapat meningkatkan prestasi anak. Jika kita belajar pada negara lain yang selalu berada di peringkat atas pendidikan dunia, Singapura misalnya, mereka justru memberlakukan waktu masuk sekolah lebih lambat dari Indonesia yaitu 07:30. Bahkan, para pakar di negara itu pun masih keberatan dan mengusulkan agar waktunya diundur lagi.

Sementara itu, siswa sekolah menengah di Finlandia, negara yang banyak dipuji karena sistem pendidikannya, juga menempati peringkat atas dunia, menerapkan jam masuk sekolah rata-rata pukul 09.00 dan hanya menghabiskan lima jam di dalam kelas.

Alasannya adalah berbagai penelitian menunjukan bahwa performa siswa di sekolah dikaitkan dengan kecukupan tidur, yang merupakan waktu ketika otak menyegarkan diri sehingga siap untuk beraktivitas kembali. Menurut kajian sains, anak remaja perlu tidur 8-10 jam sehari supaya bugar.

Maka, terhadap heboh kita hari-hari ini, paling jauh hanya bisa dikatakan bahwa ide itu layak diberi kesempatan. Namun, karena isinya menyangkut masa depan suatu generasi, kebijakan itu sebaiknya dikonsultasikan seluas mungkin serta dikawal ketat oleh media.

Kedua, kebijakan ini jauh dari tantangan riil pendidikan di NTT. Dalam hitungan kasar, mutu pendidikan di NTT belum mencapai apa yang diharapkan, yaitu delapan standar nasional pendidikan yang mencakup kompetensi lulusan, standar isi, standar proses lulusan, penilaian pendidikan, sarana dan prasarana, tenaga kependidikan, pengelolaan, dan standar pembiayaan.

Tidak tercapainya standar-standar di atas salah satunya terekam melalui rendahnya capaian literasi di banyak Kabupaten di NTT. Menurut data Rencana Strategis Balai Penjaminan Mutu Pendidikan NTT edisi Agustus 2022, secara umum tingkat kemampuan literasi pada jenjang SMA di bawah kompetensi minimum [dasar], dengan nilai 1,69 pada rentang 1-3. Nilai tersebut lebih rendah dari rata-rata nasional 1,8.

Dari 22 kabupaten dan kota di NTT, 15 di antaranya yang memiliki tingkat literasi di bawah kompetensi minimum dan hanya 7 yang tingkat literasinya mencapai kompetensi minimum [cakap], yaitu Kabupaten Ende, Flores Timur, Lembata, Nagekeo, Ngada, Sikka dan Kota Kupang.

Soal Tata Kelola

Berangkat dari situasi ini,  saya mengusulkan agar pemerintah lebih menaruh pikiran dan hati pada persoalan-persoalan mendasar terkait krisis pendidikan di NTT.

Yang paling utama mulailah dari masalah paling sederhana dan kasat mata. Masalah perubahan jam sekolah hanya satu dalam semesta persoalan pendidikan di NTT.

Persoalan lain yang hemat saya jauh lebih penting adalah kualitas guru, teknologi belajar, manajemen birokrasi pendidikan, biaya dan gaji, kurikulum, perpustakaan, sampai soal jaminan atas hak untuk mengakses pendidikan.

Kita sudah memiliki kapasitas, sebab terlebih dahulu Laiskodat  telah mengalokasikan anggaran yang begitu besar dalam sektor pendidikan di NTT.  Jika  regulasi pusat mengharuskan anggaran pendidikan paling sedikit 20% dari APBN/APBD, Provinsi NTT tak tanggung-tanggung mematok paling sedikit 43% APBD [2,2 triliun lebih] untuk anggaran pendidikan. Dari semua sektor pembangunan di NTT, sektor pendidikan mendapat porsi paling banyak.

Pertanyaannya, mengapa dengan anggaran yang begitu besar, mutu pendidikan kita tetap mengkhawatirkan?

Hemat saya ini soal tata kelola kebijakan yang amburadul. Kurangnya visi para pemangku pendidikan dalam mengeksekusi apa yang baik bagi masa depan di NTT, salah satunya tercermin melalui fenomena korupsi dalam dunia pendidikan di NTT yang kian marak.

Bobroknya pendidikan di NTT bukan karena daerah ini kekurangan orang pintar, tapi lebih karena korupsi dan buruknya tata kelola pendidikan yang dilakukan oleh tuan-tuan besar para pengambil kebijakan.

Menyebut beberapa di antaranya adalah korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan tahun 2019 yang dilakukan oleh mantan Kepala Dinas Pendidikan (Kadis) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kabupaten Alor (Victorynews.id, 29 September 2022). Selain itu adalah penggelapan dana Program Indonesia Pintar (PIP) sampai dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang banyak melibatkan oknum kepala sekolah (Pos-Kupang.com, 17 September 2022).

Atas dasar itu, para pemangku kepentingan perlu bekerja keras untuk menerjemahkan ide-ide besar di atas hingga menjadi menjadi lebih operasional, rasional, terukur  dan dapat dipertanggungjawabkan, baik secara saintis, teknis, dan etism sesuai dengan konteks NTT.

Tiang-tiang dasar penggerak pendidikan, mulai dari Dinas Pendidikan, sekolah-sekolah hingga orang tua perlu meningkatkan kolaborasi untuk memikirkan strategi terbaik mengembangkan pendidikan di NTT.

Satu hal yang jelas bahwa kegelisahan Laiskodat mengenai ketidaksesuaian hasil pendidikan di NTT dengan  besaran 43% APBD sebetulnya bisa menjadi bahan disermen dan refleksi pribadi gubernur. Soalnya bukan pada waktu belajar atau jam masuk sekolahnya, tetapi kemiskinan visi dan kekacauan tata kelola pendidikan oleh pemerintah.

A Jefrino Fahik adalah mahasiswa Sosiologi pada Program Studi Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Artikel Lainnya