Oleh: Melky Nahar
Di tengah gelombang penolakan oleh rakyat, Gereja Katolik dan kelompok masyarakat sipil, pemerintah pusat dan daerah kian memantapkan langkah memaksakan tambang panas bumi di Flores.
Terbaru, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung dan Dirjen EBTKE Eniya Listiani Dewi menggelar rapat koordinasi di Kupang dengan mengundang seluruh bupati se-NTT, pejabat PT PLN, serta pelaksana proyek.
Rapat pada 28 April 2025 itu, menurut isi surat dari Sekretaris Daerah NTT, adalah untuk “mempercepat pengembangan geotermal di Flores.”
Dalam surat undangan resmi bernomor BU.000.1.5/83/ESDM/2025, pertemuan ini diklaim sebagai upaya untuk “membahas strategi dan langkah sinergis” antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, DPRD, dan korporasi—PT PLN, PT Sokoria Geothermal Indonesia, PT Daya Mas Nage Geothermal, hingga PT Geo Dipa Energi.
Rapat itu berlangsung setelah sebelumnya Gubernur NTT, Melkiades Laka Lena menyatakan niatnya menghentikan sementara operasi geotermal.
Dalam rapat bersama Bupati se-NTT pada 9 April, ia juga menyatakan akan membentuk “tim investigasi” guna mengevaluasi proyek-proyek geotermal di Flores.
Ia menyampaikan bahwa pembentukan tim investigasi menjadi langkah penting agar “tidak ada yang mengklaim benar sendiri.”
Tim ini, katanya, akan melibatkan semua pihak terkait—baik perusahaan, pemerintah, tokoh adat, tokoh agama, maupun ahli lingkungan—untuk turun langsung ke lapangan.”
Saat ini, proses pembentukan tim investigasi tersebut tengah berlangsung. Gubernur mengklaim sedang menunggu usulan nama-nama anggota tim dari keuskupan dan pihak lain yang dianggap relevan.
Laka Lena mengklaim langkahnya merupakan respons terhadap tekanan sosial yang semakin meningkat—termasuk dari para uskup dan berbagai kelompok masyarakat sipil yang menolak keras proyek-proyek tersebut.
Siasat Licik Berkedok Investigasi
Klaim-klaim tentang penghentian sementara operasi geotermal dan pembentukan “tim investigasi” yang disampaikan Gubernur Laka Lena sekilas terdengar sebagai respons progresif terhadap tekanan sosial.
Namun jika diperiksa lebih saksama, ini tak lebih dari strategi manipulatif untuk menenangkan resistensi yang membesar.
Pengumuman pembentukan tim yang katanya akan “melibatkan semua pihak” justru mengundang ironi besar: bagaimana mungkin evaluasi yang objektif diharapkan dari tim yang anggotanya terdiri dari mereka yang justru menjadi bagian dari masalah—perusahaan pelaksana proyek, pejabat pemerintah, dan aktor-aktor yang memiliki kepentingan langsung dalam kelanjutan proyek?
Apa garansi bahwa tim investigasi ini akan bekerja secara independen? Apakah mungkin tim ini akan mampu memberikan evaluasi yang objektif dan tanpa bias, sementara otoritas politik lokal dan para pelaksana proyek—yang menjadi sumber konflik dan penolakan—justru memegang posisi kunci dalam tim tersebut?
Sejumlah pertanyaan ini menjadi semakin relevan mengingat klaim penghentian sementara yang dilontarkan oleh Gubernur Melkiades Laka Lena justru berbeda dengan kenyataan di lapangan.
Operasi proyek terus berjalan tanpa henti, dan penghancuran atas ruang hidup warga juga terus berlanjut.
Di Poco Leok, misalnya, terjadi kriminalisasi terhadap warga yang menggelar aksi di depan kantor Bupati Manggarai pada 3 Maret 2025, hal yang semakin menegaskan bahwa klaim penghentian sementara itu hanya retorika kosong.
Di sisi lain, di tengah situasi ini, Laka Lena bersama Kementerian ESDM dan seluruh bupati se-NTT, pejabat PLN, serta pelaksana proyek, menggelar rapat koordinasi di Kupang pada 28 April dengan tujuan “mempercepat pengembangan geotermal di Flores”.
Dari judul pertemuannya saja, jelas terlihat bahwa tujuan utama rapat tersebut adalah untuk memastikan proyek geotermal tetap berjalan.
Dengan kata lain, pertemuan itu adalah siasat licik sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian publik, alih-alih mencari solusi konkret bagi dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkan oleh proyek geotermal.
Jangan Mau Dimanipulasi
Pada titik ini, klaim untuk menghentikan proyek geotermal hanya tampak sebagai sebuah deklarasi semu, yang lebih berfungsi untuk meredakan ketegangan sementara, tanpa ada niat sungguh-sungguh untuk menghentikan perampasan ruang hidup rakyat Flores.
Janji investigasi yang dilontarkan oleh gubernur hanyalah kedok untuk menutupi fakta bahwa proyek-proyek ini sudah lebih dulu mendapatkan lampu hijau dari tingkat nasional dan tidak akan dihentikan hanya dengan alasan protes rakyat dan elemen sipil, termasuk Gereja Katolik.
Sejarah panjang proyek ekstraktif di Indonesia menunjukkan pola yang berulang; ketika konflik sosial membesar, negara kerap merespons dengan membentuk tim, satgas, atau forum dialog yang dibungkus jargon “partisipatif.”
Namun, ujung dari semua itu hampir selalu berakhir pada satu hal: pembenaran terhadap kelanjutan proyek. Evaluasi yang dijanjikan seringkali tak lebih dari prosedur administratif yang menegaskan status quo.
Contoh nyata terlihat dari tragedi di Mandailing Natal, Sumatera Utara, akibat operasi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP).
Setelah berulang kali terjadi kebocoran gas beracun hingga semburan lumpur panas yang merusak lahan warga, pemerintah hanya sekali mengambil langkah penghentian sementara—dan itu pun tanpa ada perubahan struktural terhadap proyek atau pertanggungjawaban hukum yang memadai. SMGP tetap beroperasi, ancaman terhadap keselamatan warga tetap dibiarkan.
Pola ini tampak hendak diulang di Flores. Sembari mengumbar janji pembentukan tim investigasi, pemerintah pusat dan daerah malah memantapkan koordinasi percepatan proyek geotermal. Proyek jalan terus, penolakan rakyat diabaikan, dan retorika “evaluasi” hanya menjadi kedok.
Maka, wajar jika publik mencurigai, dan harus mencurigai, bahwa “tim investigasi” ini sejatinya hanyalah alat manipulasi, bukan mekanisme penyelesaian.
Tolak Partisipasi Kosmetik
Situasi ini menuntut sikap tegas dari semua elemen gerakan rakyat. Dalam skema politik ekstraktivisme seperti ini, partisipasi yang ditawarkan negara kepada masyarakat sipil dan komunitas akar rumput bukanlah ruang partisipasi yang sejati.
Yang ditawarkan adalah partisipasi kosmetik—sebuah partisipasi semu yang hanya berfungsi untuk memberi legitimasi kepada proyek yang sejak awal sudah diputuskan tanpa persetujuan rakyat.
Bergabung dalam forum-forum semacam ini, tanpa perubahan struktur kekuasaan yang adil dan demokratis, hanya akan menjadikan gerakan rakyat sebagai stempel palsu bagi perampasan ruang hidup.
Oleh sebab itu, partisipasi dalam kerangka yang dibangun oleh negara dan korporasi justru berisiko memperlemah gerakan, membingungkan solidaritas, dan menyuburkan ilusi seolah-olah negara sedang “mendengarkan.”
Padahal, kenyataannya negara terus menjalankan agenda industrialisasi energi yang menghancurkan lingkungan.
Untuk itu, penting bagi seluruh komunitas basis, jaringan gerakan rakyat, dan organisasi masyarakat sipil di NTT untuk mengambil sikap jelas dan berani.
Pertama, menolak terlibat dalam forum-forum yang hanya menjadi kosmetik prosedural; kedua, menolak berperan sebagai legitimasi palsu atas proyek-proyek perampasan ruang hidup dan ekologi; dan ketiga, menegaskan kembali bahwa perjuangan melawan ekstraktivisme tidak tunduk pada kerangka kekuasaan yang memanipulasi partisipasi rakyat.
Saat ini, bukan waktunya untuk bernegosiasi dalam ruang-ruang palsu. Ini adalah saat untuk menguatkan gerakan rakyat dari akar, memperluas solidaritas antarwilayah, dan mempertegas bahwa kedaulatan rakyat atas tanah, air, dan lingkungan hidup tidak dapat dikompromikan.
Dengan kata lain, bukan partisipasi semu yang kita butuhkan. Yang kita butuhkan adalah penghentian total proyek geotermal yang merampas ruang hidup rakyat Flores, dan perubahan fundamental atas tata kelola sumber daya alam di NTT, agar berpihak kepada rakyat, bukan korporasi.
Melky Nahar adalah Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang
Editor: Ryan Dagur