Floresa.co – Pungutan dana Rp 1 juta untuk pelantikan kepala desa (Kades) mencerminkan tata kelola pemerintahan yang buruk di Kabupaten Manggarai Timur (Matim).
Pemda, melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), beralasan, biaya makan minum saat pelantikan tidak dianggarkan dalam APBD Matim.
Alasan ini tentu sulit diterima akal sehat publik mengingat Pilkades bukan kegiatan yang ujug-ujug terjadi.
BACA: Di Matim, Kades Terpilih Diminta Kumpul Dana Rp 1 Juta untuk Biaya Pelantikan
Lebih menggelikan lagi, biaya pelantikan ini, menurut Pemda, ada dalam anggaran Pilkades sebesar Rp 20 juta dan sudah dialokasikan ke desa.
Artinya, Pemda “meminta kembali” lima persen dari dana tersebut untuk membiaya pelantikan. Jika yang dipungut, benar dari alokasi tersebut, mengapa sejak awal tidak diatur sedemikian sehingga dana (khusus pelantikan) diolah Pemda sehingga tidak perlu dialokasikan ke desa?
Namun, jika pungutan tersebut diambil dari dompet pribadi Kades terpilih, Pemda sebetulnya telah melakukan pungutan liar (illegal).
Poinnya jelas, pungutan ini tidak memiliki dasar hukum. Bagaimana Pemda mempertanggungjawabkan dana yang dipungut tanpa dasar legal yang jelas?
Pemda berdalih, pungutan ini didasarkan pada kesepakatan dengan sejumlah kades.
BACA: DPRD Matim Desak Pemkab Evaluasi Pungutan untuk Pelantikan Kades
“Kepala desa senang semua maka mereka bersepakat untuk menanggung biaya pelantikan,” kata Paskalis Sirajudin, Kepala DPMD.
Ini tentu sebuah simplikasi yang secara etika publik sulit dipertanggungjawabkan.
Karena, di sini, Pemda sebetulnya bisa diduga memanfaatkan euforia kemenangan para Kades terpilih untuk menutup ketidakmampuan Pemda dalam mengelola anggaran.
Lebih dari itu, pungutan ini memberi teladan yang buruk bagi para Kades. Di kemudian hari, Kades berpotensi melakukan kebijakan serupa dalam penyelenggaraan pemerintahaan desa.
BACA: Terkait Pungutan untuk Pelantikan Kades, Netizen Sebut Pemkab Matim Aneh
Para Kades bisa melakukan pungutan di luar regulasi. Tentu ini sebuah kebijakan yang diindikasi sebagai tindak pidana korupsi.
Karena itu, Pemda Matim perlu mengevaluasi kembali kebijakan pungutan ini. Sampai saat ini, publik masih menunggu cerita baik dari Manggarai Timur. Cukup sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membuat masa penantian itu semakin panjang.
Masyarakat Matim butuh perubahan. Perubahan terjadi apabila Pemda mampu menata kelola kebijakan (anggaran) dengan baik. (Redaksi Floresa)