Epithumia dan Program Makan Bergizi Gratis

Apakah program itu jadi obat mujarab untuk mengatasi masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia?

Oleh: Randi Rasman

Filsuf Plato menggambarkan kekuasaan yang otoriter, rakus dan cenderung koruptif sebagai epithumia. Istilah ini merujuk pada hasrat manusia untuk memiliki kebutuhan material yang lebih seperti makanan, minuman, seks dan uang.

Dalam tiga konsep Plato tentang jiwa manusia, epithumia terletak pada bagian perut ke bawah.

Dua lainnya adalah thumos yang berarti keinginan akan prestise yang terletak pada bagian sekitar dada dan logistikon yang terletak pada bagian kepala atau rasio (A. Setyo Wibowo, 2017: 221).  

Menarik bahwa konsep epithumia Plato sangat relevan untuk menggambar karakteristik kekuasaan politik di Indonesia.

Kekuasaan seringkali digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan epithumia para pemimpin dalam bentuk korupsi dan relasi antara penguasa dengan oligarki yang bermuara pada kepentingan segelintir pihak.

Problem demikian telah kita alami dan rasakan semenjak Indonesia digaungkan sebagai negara merdeka.

Selain kasus korupsi, patologi politik Indonesia juga ditandai dengan relasi intim antara penguasa dan oligarki yang terbingkai dalam simbiosis mutualisme.

Relasi tersebut seringkali dikonstruksikan untuk memuluskan kepentingan sebagian orang, dalam kelompok yang terbatas.

Hal ini dapat kita lihat pada bagaimana pemerintah memeras sumber daya alam, memarginalisasi masyarakat dan merampas hak publik demi memuluskan jalan ekspansi oligarki.

Tanah ulayat masyarakat adat dirampas untuk menjadi wilayah operasi tambang, geotermal, tempat wisata dan lain-lain.

Semuanya dijalankan dengan iming-iming menyejahterakan masyarakat dan menjanjikan kehidupan yang baik (good life). 

Kenyataannya tidaklah demikian. Keuntungan yang besar hanya diperoleh para penguasa dan oligarki, sementara warga kebanyakan hanya remah-remahnya.

Untuk memuluskan hal ini, mereka mengabaikan pertimbangan rasional dan etis soal dampaknya.

Hannah Arendt menggambarkan gejala menganggap praktik seperti ini sebagai hal yang normal dengan istilah banalitas kejahatan (banality of evil).

Karena sering dilakukan, efek kengerian dari kejahatan tak lagi dirasakan. Perbuatan destruktif sebagai sesuatu yang wajar, sah-sah saja.

Ini semuanya terjadi karena orang fokus pada pemuasan hasrat pribadi dan kelompok, yang direpresentasikan epithumia dalam bahasa Plato.

Makan Bergizi Gratis: Untuk Apa?

Saya melihat salah satu contoh paling konkrit dari epithumia akhir-akhir ini adalah langkah pemerintah menerapkan Program Makan Bergizi Gratis [MBG] yang jadi primadona rezim Prabowo-Gibran.

MBG diklaim untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguatan gizi bagi anak sekolah.

Namun, apakah program itu jadi obat mujarab untuk mengatasi masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia?

Saya lebih melihat program ini hanya untuk melayani janji kampanye, ketimbang dampaknya bagi peningkatan kualitas manusia Indonesia.

Apalagi, baru beberapa bulan dijalankan, di sejumlah daerah telah muncul banyak masalah dalam implementasi program ini.

Beberapa di antaranya adalah ketidakjelasan dalam skema pembiayaan antara Badan Gizi Nasional Republik Indonesia (BGN RI) dengan mitra program MBG. Hal ini menyebabkan lambatnya alokasi dana dan berdampak pada kelancaran operasional program. 

Selain itu, menu makanan yang disediakan program MBG belum sepenuhnya memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan cita rasa makanan dianggap hambar oleh banyak siswa. 

Di sisi lain, awalnya MBG menjanjikan pemberian susu gratis setiap hari, namun dalam pelaksanaannya, susu hanya diberikan sekali seminggu, sehingga program ini tidak memenuhi janji awalnya. 

Koordinasi antar instansi terkait MBG juga belum berjalan optimal, yang menyebabkan masalah dalam distribusi dan pelaksanaan program ini. 

Ada yang lebih substantif yang menjadi masalah MBG.

Persoalan rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia sebetulnya dipicu oleh seabrek masalah dalam institusi pendidikan, mulai dari kualitas guru, hingga sarana prasarana yang masih sangat timpang antara daerah yang satu dengan yang lain.

Jadi, mengatasi masalah ini dengan memberi makan, apalagi dengan makanan kemasan pabrik sebagaimana yang dipraktekkan di sejumlah daerah, bukanlah solusi.

Siswa-siswi yang diharapkan sebagai generasi penerus bangsa bukan disuguhkan dengan pendidikan yang berkualitas, malah disuguhkan makanan yang sebenarnya bisa mereka dapat di luar sekolah.

Politik “Roti dan Sirkus”

Program ini membuat saya teringat dengan istilah politik “roti dan sirkus” yang diperkenalkan Juvenal, penyair Romawi kuno.

Ia menggunakan istilah itu untuk menggambarkan bagaimana kekuasaan menenangkan masyarakat dengan makanan dan hiburan agar mereka tidak kritis dan peduli dengan kebijakan pemerintah.

Masyarakat dijinakkan agar mereka hanya fokus pada makanan dan hiburan, lalu lupa mengkritisi pemerintah.

Mengapa MBG bisa diidentikkan sebagai politik “roti dan sirkus”?

Bahaya dari program ini adalah menenangkan para pelajar agar hanya fokus pada hal-hal yang material (makanan), daripada membangun kesadaran dan nalar kritis.

Memang jiwa manusia terdiri dari beberapa bagian seperti yang dikonsepkan Plato, yakni logistikon, thumos dan epithumia. Ketiganya membutuhkan asupannya masing-masing.

Namun, alangkah baiknya bagian logistikon (akal budi) dan thumos (moralitas dan harga diri) mesti diprioritaskan daripada bagian epithumia (uang, seks dan makanan).

Ini sangat penting dalam menciptakan generasi muda berkualitas yang bisa membawa bangsa ke arah yang lebih maju. Generasi muda perlu dibangun menjadi generasi yang cerdas berkarakter.

Perlu Sikap Kritis

Berhadapan dengan laku pemerintah semacam ini, kesadaran internal dalam diri setiap generasi muda tetap penting, terutama untuk tidak menerima begitu saja setiap program, kebijakan yang populis, namun sebetulnya tidak membawa dampak signifikan.

Rasionalitas mesti dikedepankan dalam menilai sesuatu apakah hal tersebut bermanfaat atau tidak.

Generasi muda jangan terbuai dengan program seperti MBG. Makanan yang disajikan itu cukup hanya jadi penyemangat untuk belajar, bukan alasan untuk hadir di sekolah.

Socrates, filsuf Yunani klasik mengingatkan bahwa “orang bijaksana menjadikan makan-minum hanya untuk hidup, sebaliknya orang yang tidak bijaksana menjadikan hidup hanya untuk makan-minum”.

Menjadi pribadi yang bijaksana memang hal yang tidak mudah. Namun, kita sekurang-kurangnya bisa berusaha mencintai kebijaksanaan tersebut.

Randi Rasman merupakan mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING