BerandaREPORTASEMENDALAMKasus di Lembor Selatan...

Kasus di Lembor Selatan Jadi Ujian Cara Penegak Hukum Posisikan Hukum Adat dalam Sengketa Tanah

Dalam kasus tanah antarwarga ini, ada perbedaaan klaim pihak yang mendapat legitimasi dari sejarah dan hukum adat dengan yang sudah mengantongi sertifikat kepemilikan.

Floresa.co – Berbekal pesan ayahnya dan kesaksian pemangku adat di kampungnya, keluarga Fransiskus Delis berusaha mengambil alih lahan yang bertahun-tahun dikuasai kerabatnya, keturunan dari Siprianus Saur.

“Bapak berpesan: ‘Tanah yang dikerjakan Kakek Siprianus Saur itu tanah kita,’” katanya, mengenang pesan ayahnya Stanislaus Sta sebelum meninggal kala ia masih duduk di Sekolah Dasar.

Fransiskus, kini berusia 43 tahun, menyebut tanah yang dimaksud ayahnya itu terletak di lahan komunal (lingko) Bengkok Kembo II, bagian dari Kampung Amba, Desa Watu Rambung, Kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat.

Stanislaus adalah anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Barnabas Naha dan Veronika Lanom, yang menurut Fransiskus, menjadi pemilik awal lahan itu. Ketiga adik Stanislaus adalah Bernadeta Nut, Stefanus Hamid, dan Anastasia Mimuk.

Hingga kini lahan sawah tadah hujan seluas 18.018 meter persegi itu masih dikuasai anak dan cucu ahli waris Siprianus Saur, yakni Simon Sabut, Rofinus Gau, Laurensius Jujur, dan Tobias Jemali. Siprianus merupakan saudara kandung Veronika, atau ipar Barnabas.

Upaya Fransiskus mengambil alih tanah itu berpuncak pada Desember 2021. 

“Saya ke sana semprot semak-semak untuk kerjakan lahan itu, mau tanam padi,” katanya kepada Floresa.

Fransiskus Delis, warga Lancang-Dumar, Desa Lalong, Kecamatan Lembor Selatan, ahli waris Barnabas Naha.(Foto: Jefry Dain/Floresa)

Namun, langkah itu membuat ia kemudian dilaporkan ke Polsek Lembor pada 3 Januari 2022 dengan delik “penyerobotan tanah.” 

Alasannya, ahli waris Siprianus Saur sudah memiliki sertifikat atas tanah itu, dengan nomor HM.00238/Munting.

Pada Juli 2022, ia pun ditetapkan sebagai tersangka.

Polsek Lembor sempat melimpahkan persoalan ini ke Pemerintah Desa Watu Rambung untuk proses mediasi, namun gagal karena pihak keturunan Siprianus Saur tidak menerima tawaran Kepala Desa, Konstan Selama untuk membagi tanah itu secara adil.

Romanus Mahun, Tu’a Teno [kepala pembagian tanah ulayat] Kampung Amba menjelaskan, “tidak ada kesepakatan” saat mediasi yang ikut dihadiri Tua Gendang, Babinsa, dan Bhabinkamtibmas itu.

“Salah satu permintaan Kepala Desa Watu Rambung saat itu adalah membagi rata tanah itu supaya adil, karena mereka ini keluarga dekat,” katanya.

Dua bulan setelahnya, pada 13 September 2022, keluarga Fransiskus menggugat secara perdata ahli Siprianus Saur ke Pengadilan Negeri Labuan Bajo, dengan delik “perbuatan melawan hukum.”

Dalam gugatannya, Fransiskus menganggap proses penerbitan sertifikat lahan itu “dilakukan tanpa itikad baik, tidak berdasar, serta tidak sesuai dengan prosedur dan aturan perundang-undangan yang berlaku.”

Turut tergugat adalah Badan Pertanahan Nasional yang menerbitkan sertifikat.

Sementara proses perdata mulai bergulir, pada 19 Oktober 2022, Polsek Lembor mengeluarkan surat perintah penghentian sementara kasus dugaan penyerobotan tanah itu.

Majelis hakim di Pengadilan Negeri Labuan Bajo mengeluarkan putusan pada 27 April 2023, menyatakan bahwa gugatan keluarga Fransiskus “tidak dapat diterima” atau Niet Ontvankelijke Verklaard karena nama-nama pihak tergugat tidak lengkap.

Fransiskus merespons putusan itu dengan mengajukan gugatan ulang dan melengkapi pihak tergugat, berharap pengadilan mengusut aspek materiil kasus ini.

Gugatan telah didaftarkan pada 15 Juni dan pemeriksaan pertama dijadwalkan pada 13 Juli. 

Sejarah Tanah

Floresa menemui Fransiskus di rumahnya di Kampung Lancang-Dumar, Desa Lalong pada 13 Juni sore, saat ia bersama istrinya Ursula Bunga [36] sedang sibuk bersama para tukang membereskan potongan kayu pembuatan plafon.

Ibunya, Sebastiana Jut [60], tinggal di rumah itu, yang menurut Fransiskus pembangunannya dibantu adik bungsunya, Roi Perdi Nandos yang saat ini merantau ke Kalimantan.

Sebastian Jut, ibu dari Fransiskus Delis. (Foto: Jefry Dain/Floresa)

Kepada Floresa, Fransiskus mengisahkan bahwa tanah yang disengketakan itu merupakan  pemberian tetua adat Kampung Amba.

“[Tanah itu] bentuk ucapan terima kasih atas partisipasi Barnabas Naha yang ikut membangun selokan untuk persawahan di Amba sebelum tahun 1961,” katanya.

Ia mengatakan, ada 20 orang warga Lancang-Dumar yang ikut mengerjakan selokan itu, termasuk Barnabas.

Ketika Barnabas meninggal dunia pada 1967, kata dia, istrinya Veronika Lahom sempat menyewakan lahan itu dengan sistem bagi hasil kepada seorang kerabat jauh bernama Matias Abur.

Matias, kata dia, mengolahnya hingga tahun 1972, berhubung ia kemudian pindah ke Kampung Lalong “karena ada tanah yang diberikan keluarga di sana untuk ia kerjakan.”

Setelah itu, jelasnya, Siprianus Saur meminta izin kepada Veronika untuk menggarap tanah itu.

Permintaan itu, kata Fransiskus, “disertai dengan perjanjian bahwa tanah itu harus dikembalikan ketika anak-anak Veronika  sudah dewasa.”

Pada 1983, kata dia, Veronika dan dua anaknya – Stanislaus Sta dan Stefanus Hamid – pernah meminta secara resmi kepada Siprianus untuk mengembalikan tanah itu, namun ditolak.

Beberapa kali upaya setelahnya, kata dia, juga gagal.

Hal itu, jelas Fransiskus, membuat ia pada tahun 2021 bersama Stefanus Hamid kembali mendatangi anak dan cucu Siprianus Saur, termasuk Simon Sabut, meminta mengembalikan tanah itu.

Simon, kata dia, menyuruhnya untuk menanyakan keberadaan dan sejarah tanah tersebut kepada Lambertus Hatem, Tua Gendang Sambir.

“’Kalian tanya Lambertus Hatem yang tahu tentang tanah itu. Dia saksi tanah itu,’” jelas Fransiskus, menirukan Simon.

Ia juga mengaku diminta menanyakan kepada tokoh adat di Lancang-Dumar bernama Pius Ludung – ahli waris Niram “yang tahu sejarah tanah itu.” 

Karena itu, Fransiskus menghadap sejumlah pihak yang disebut itu, termasuk Tua Gendang Amba, Tobias Taok, meminta masukan mereka.

Mereka, kata dia, semuanya mengakui kepemilikan tanah itu oleh Barnabas Naha dan memintanya menguasainya.

Hal itulah, kata Fransiskus, yang menjadi alasannya menduduki lahan itu pada 27 Desember 2021.

Pengakuan Tokoh Adat

Floresa menemui sejumlah tokoh yang disebut Fransiskus untuk mengonfirmasi pengakuannya.

Lambertus Hatem yang ditemui di rumahnya di Sambir, Desa Wae Mose, Kecamatan Lembor Selatan membenarkan cerita Fransiskus bahwa tanah yang dikuasai ahli waris Siprianus Saur merupakan tanah milik Barnabas Naha.

“Saya ada saat pembagian tanah itu. Semua orang tahu sejarahnya,” katanya.

“Di Tembong Sambir dan Tembong Amba orang tahu, tidak ada nama Siprianus Saur dalam pembagian tanah itu,” tambahnya.

Lambertus Hatem, warga Sambir, Desa Wae Mose, Kecamatan Lembor Selatan, saksi sejarah tanah di Gendang Amba. (Foto: Jefry Dain/Floresa)

Ia mengatakan, sejak pembagian dan pembukaan lahan baru di Lingko Bengkok Kembo II itu, ia juga selalu melihat Barnabas Naha bekerja di lahan itu.

“Tanah saya ada di bagian barat [tanah sengketa itu]. Di bagian timur ada tanah Tadeus Numpal,” katanya. 

“Saya tahu persis tanah Naha. Tana hitu dempul wuku tela toni de Naha,” katanya menukil peribahasa dalam Bahasa Manggarai: Tanah itu hasil keringat dan kerja keras Naha.

Kesaksian Lambertus diperkuat oleh Dominikus Humat [73], ahli waris Tadeus Numpal.

Ia mengatakan, “saya masih ingat waktu masih di Sekolah Dasar, Naha berkebun di lahan itu.”

“Saya sendiri punya tanah di situ di bagian timur. Saya tahu jelas Naha yang kerjakan tanah itu dulu,” katanya.

Senada dengan cerita Fransiskus Delis, kata dia, Barnabas Naha adalah salah satu dari 20 orang yang mendapat tanah dari Amba sebagai balas jasa pembangunan saluran air. 

Di Lingko Bengkok Kembo itu, kata dia, ada 13 orang yang mendapat lahan, termasuk Bernabas Naha, sementara tujuh orang lainnya mendapat jatah di Lingko Bengkok Kasa Mese.

“Yang punya tanah di Lingko Bengkok Kembo itu Waul, Nonggong, Nungkar, Maun, Niram, Numpal, Naha, Hatem, Haman, Santeng, Lugam, Mahar dan Nabar,” katanya.

“Sementara di Lingko Kasa Mese adalah Gaspar Arom, Makar, Ruka, Langgom, Ngutam, Hawan, dan Naur,” tambah Dominikus.

Dominikus Humat, warga Sambir yang juga mempunyai lahan di bagian timur, berbatasan langsung dengan tanah sengketa. (Foto: Jefry Dain/Floresa)

Dari 20 orang tersebut, jelasnya, saat ini 18 orang tinggal di Sambir, sementara dua orang  tinggal di Lancang-Dumar.  Yang di Lancang – Dumar, kata dia, termasuk keturunan Barnabas Naha dan Niram, yaitu Pius Ludung.

Romanus Mahun [69], Tua Golo Amba juga menjelaskan bahwa ada tiga lingko di Amba, yakni Lingko Sambir Meragung dengan Tua Teno Malur, Bengkok Kembo dengan Tua Teno Makarius Magar, dan Lingko Bengkok Kasa Mese dengan Tua Teno Hubertus Hadam.

“Di tiga lingko itu, tidak ada pembagian atas nama Siprianus Saur,” jelas bapak empat orang anak itu.

Ia menjelaskan, sebagai Tua Golo, dia bertugas  mengurus tanah ulayat yang ada dalam Tembong Amba, “termasuk Lingko Bengkok Kembo II yang bermasalah.”

Sementara itu, menurut Tobias Taok [55], Tua Tembong Amba, saat pembangunan rumah adat pada tahun 1999, mereka pernah merapikan data kepemilikan tanah dari orang di luar Gendang Amba yang kemudian ditulis dalam sebuah buku.

Di dalam buku itu, yang dilihat langsung Floresa, Barnabahs Naha tercatat sebagai salah satunya dan tidak ada nama Siprianus Saur.

Daftar 20 anggota penerima tanah di Bengkok Kembo yang ditulis Tua Gendang Amba pada tahun 1999. (Foto: Jefry Dain/Floresa)

Ahli Waris Siprianus Saur: ‘Yang Kami Tahu Pegang Sertifikat’

Sementara Fransiskus dan tetua adat berpegangan pada sejarah tanah itu, bagi keturunan Siprianus Saur, kunci bagi mereka adalah sertifikat.

“Saya tidak tahu sejarah tanah itu. Yang kami tahu pegang sertifikat,” kata Ansenius Sales [43], salah satu cucu Siprianus Saur, yang ditemui di rumahnya pada 13 Juni.

Ayah empat orang anak itu menjelaskan, mereka sudah 30 tahun lebih menguasai dan bekerja di tanah itu.

“Kami punya bukti sertifikat. Tidak mungkin tanah itu ada sertifikat tanpa ada penyerahan adat,” katanya sambil menunjukkan sertifikat tanah tersebut.

Ansenius Sales, cucu Siprianus Saur. (Dokumen pribadi Ansenius Sales)

Dalam sertifikat itu, yang ditandatangani Kepala Kantor Agraria Kabupaten Manggarai, Marthinus Naar, pada 1986, tertulis pemilik lahan adalah Simon Sabut.

“Nama anak pertama [yang tercatat] dalam sertifikat itu,” katanya.

Tapi, kata dia, mereka mendapat pesan bahwa tanah itu dibagi kepada semua ahli waris.

Ia juga menjelaskan bahwa mereka memiliki saksi yang memperkuat klaim kepemilikan atas tanah itu.

Putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada April, kata dia, juga membuat pihaknya tetap “menguasai” lahan itu.

“Sekarang kami menang. Kami menguasai lahan itu,” katanya.

Ignas Babur [38], anak Simon Sabut yang ikut hadir di rumah Rofinus Gau mengatakan, bukti kepemilikan tanah di Bengkok Kembo itu adalah sertifikat.

Ia mengklaim, keluarga ahli waris Barnabas Naha “hanya omong sejarah.”

“Tidak ada bukti [kepemilikan lahan itu],” katanya.

Dokumen sertifikat tanah sengketa yang dimiliki oleh ahli waris Siprianus Saur. (Foto: Jefry Dain/Floresa)

Floresa sempat mendatangi rumah Laurensius Jujur dan Tobias Jemali, dua ahli waris lainnya yang menguasai tanah itu, di Kampung Sambir, namun mereka tidak ada di tempat.

Seorang warga di kampung itu berinisiatif untuk menelepon Laurensius untuk memastikan keberadaannya. Dari seberang telepon, ia mengatakan sedang berada di sawah di Lalong.

Melalui sambungan telepon itu pula, Floresa  menanyai sejarah tanah sengketa itu. Ia menjawab akan berdiskusi dengan keluarga dan pihak pengacara untuk menjawab pertanyaan itu.

Penyerahan Kembali

Putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada April berbunyi gugatan “tidak dapat diterima” yang dalam istilah hukum berarti gugatan mengandung cacat formil, berbeda jika dinyatakan “ditolak,” yang berarti penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya.

Itu berarti, putusan itu belum memasuki wilayah materiil atau pokok-pokok gugatan.

Meski demikian, bagi tetua adat Sambir dan Amba, putusan itu menjadi tamparan bagi mereka, menganggapnya tidak menghargai hukum adat dan sejarah tanah itu.

Karena itu, sebagai bentuk protes, pada 30 April, Lambertus Hatem, Tua Tembong Sambir menyerahkan kembali tanah itu kepada Tua Tembong Amba, Tobias Taok.

Ia mengaku tidak ingin lahan itu dikuasai oleh pihak yang tidak seharusnya mendapatnya.

Dalam dokumen berita acara penyerahan itu yang salinannya diterima Floresa, Lambertus menegaskan bahwa tindakannya merupakan “bentuk tanggung jawab menegakkan kebenaran dan keadilan, memulihkan dan memperkuat eksistensi dan sistem hukum adat yang berlaku serta wewenang yang melekat  pada para pemangkunya, serta untuk mencegah konflik dan ketidakharmonisan hubungan antargendang dan antarwarga masyarakat.”

Ada 13 saksi dari Tembong Sambir, dan 6 saksi dari Tembong Amba yang masuk dalam berita acara yang ditandatangani Lambertus itu.

Baliho yang dipasang di lahan sengketa di Amba, Lembor Selatan, usai penyerahan dari Gendang Sambir ke Gendang Amba. (Dokumen Gendang Amba)

Tobias Taok menyambut penyerahan tanah itu dengan memasang sebuah baliho di lahan tersebut, bahwa lahan itu adalah milik Gendang Amba.

“Kami pasang baliho karena secara hukum adat, demikian. Sudah diserahkan Tua Tembong Sambir ke kami,” katanya kepada Floresa.

Namun, kata dia, baliho yang saat pemasangannya disaksikan oleh warga Amba itu hilang keesokan harinya.

“Tidak tau siapa yang ambil,” katanya.

Ansenius, ahli waris Siprianus Saur mengatakan bahkan akan melaporkan pihak yang memasang baliho di lahan itu, “termasuk fungsionaris adat yang tertulis dalamnya.”

“Mereka tidak menghargai proses hukum yang memenangkan kami. Kan sudah ada putusan dari pengadilan,” katanya.

Ujian Bagi Penegak Hukum

Sementara berkas gugatan ulang kasus ini sudah berada di meja pengadilan, keluarga yang pro pada ahli waris Barnabas Naha berharap agar penegak hukum mempertimbangkan dan mengakui tata cara dan sejarah adat perolehan tanah yang berlaku di Manggarai.

Lambertus Hatem menyatakan, salah satu warisan penting dalam pembagian tanah di Manggarai adalah fakta sejarah yang diakui bersama.

“Itu yang mestinya juga dihargai,” katanya.

Dominikus Humat berharap majelis hakim mendengarkan sejarah tanah itu “karena itu yang benar dan diakui oleh semua orang.”

“Semua orang di sini tahu sejarah tanah itu,” katanya.

Ia  mengatakan kaget bahwa tanah itu secara sepihak disertifikatkan oleh Siprianus Saur.

“Kami baru tahu. Dia tempatkan nama anaknya Simon Sabut di sertifikat. Simon Sabut itu satu angkatan dengan saya,” jelasnya.

Sementara Romanus Babun khawatir, jika sejarah dan hukum adat diabaikan maka kasus ini akan menjadi preseden buruk ke depan.

“Orang jadi bebas buat sertifikat secara diam-diam di tanah orang. Dia pasti menang di pengadilan karena ada bukti [sertifikat], padahal sejarah tanahnya saja tidak tahu,” katanya.

Jalan ke Sambir, Desa Wae Mose, Kecamatan Lembor Selatan. (Foto: Jefry Dain/Floresa)

Kalau hukum adat Manggarai diabaikan dalam penyelesaian sengketa tanah, “bisa jadi ke depan terjadi tumpah darah karena hal-hal begini, pemerintah tidak akui hukum adat,” katanya.

Tobias Taok berencana melakukan demonstrasi apabila hukum adat diabaikan dalam proses sengketa tanah ini.

“Kalau kalah lagi urusan di pengadilan, kami pergi demo saja, biar orang tahu sejarah tanah di Manggarai,” katanya.

Praktisi hukum Gregorius Garu mengatakan, hal yang penting dalam kasus ini adalah menelusuri asal-usul tanah itu karena sertifikat yang sudah diterbitkan atasnya “bukan akhir dari segala-galanya.”

“Boleh saja sertifikat ditulis di atas tinta emas, tetapi asal usulnya dari mana, itu yang harusnya ditelusuri sampai ke akar-akarnya, harus terang-benderang,” katanya.

Ia mengatakan, keberadaan sertifikat itu merupakan “sumber persoalan dalam kasus ini.”

“Maksim atau postulat adat Manggarai harus dihargai dan dipegang teguh, Eme Dite, Dite Tu’ung, Eme Data, Data Tu’ung atau Neka Daku Ngong Data yang intinya berarti jangan pernah klaim apa yang bukan milikmu,” kata Gregorius.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga